Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Logical Fallacy (Kesesatan Berpikir) dan Jenis-jenisnya

Eduaksi | 2022-04-12 18:46:39

Pernahkah pasangan atau selingkuhan kalian mengutarakan pertanyaan, “Mengapa cinta itu ada?” dan kalian menjawab dengan, “Ya, karena ada kamu”. Sekilas memang dapat dikatakan romantis — jika tidak ingin dikatakan gombalan yang sedikit membosankan, tetapi jika dideteksi dari kerangka berpikir logika, jelas ini adalah kesesatan berpikir atau Logical Fallacy. Proses berargumen adalah upaya seseorang untuk mengungkapkan pendapat yang ada di dalam alam pikirannya dan dituangkan dalam bahasa.

Namun, terkadang, seseorang tidak melewati alur kerangka pemikiran yang lurus dan jernih. Mungkin, untuk mendukung argumennya dan mempertahankan posisi ke-eksklusif-an seseorang tersebut, rela melanggar struktur logika yang mengakibatkan ketidakaturan pendapatnya, yang dinyana, adalah wujud dari cara berpikir dari memandang segala sesuatu. Ringkasnya, kesesatan berpikir atau Logical Fallacy adalah kesesatan logika berpikir yang timbul karena terjadi ketidaksesuaian antara apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk merumuskan pokok pemikiran.

Penalaran yang sesat ini dapat terjadi apabila susunan premis yang ada tidak menghasilkan suatu kesimpulan yang benar. Dalam artian kesesatan atau fallacy muncul Ketika suatu argumen terbentuk dari premis-premis yang tidak berkaitan dengan argumen yang ada. (LaBoissiere, 2010:1)

Ada beberapa macam bentuk logical fallacies yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari:

Appeal to the Mind

Appeal to Authority

Anggap sesuatu benar hanya karena disampaikan oleh pihak dengan gelar / otoritas tertentu, walau belum tentu qualified / reputable

“Materi ini ditulis oleh seorang guru yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun” —> Taunya, Guru Silat

Appeal to Anonymous Authority

Mengutip informasi dari “sumber terpercaya” tanpa identitas yang dapat dipertanggungjawabkan, dan dianggap benar.

“Saya pernah dengar dari akun palsu instagram yang vokal, bahwa ada konspirasi cinta untuk menghancurkan hubungan kita!”

Appeal to Ignorance

Sebuah klaim dianggap benar, apabila sejauh yang ia ketahui, tanpa berusaha mencari tahu, belum terbukti salah.

“Loh, tapi kan teori evolusi itu hanya teori, tidak terbukti benar? Apa? Baca biochemistry? Saya ga pernah. Yang jelas evolusi itu salah!”

Appeal to Common Practice

Percaya sesuatu benar karena sudah terbiasa dilakukan.

“Kamu itu juga selingkuh. Dari zaman Belanda juga kirim pesan ke yang lain udah biasa, bukan hanya urusan pekerjaan saja. Ga usah ajari aku segala lah”

Appeal to Popular Belief

Klaim sesuatu benar karena dipercaya oleh mayoritas orang sebagai keyakinan umum.

“Pada umur sekarang, kalau belum menikah ya aneh banget. Show off sesekali juga perlu dong, lagian kamu doang yang belum menikah!”

Appeal to Novelty

Menganggap sesuatu yang baru pasti lebih baik dari pada yang lama.

“Kok lo masih olahraga lari? Sekarang itu lebih happening naik sepeda, lebih sehat dan lebih bisa kumpul juga. Lebih OK sepedaan lah daripada lari”

Appeal to Money

Seseorang yang lebih kaya / sesuatu yang lebih mahal dianggap lebih benar.

“Udah ga usah sok gaya kritik si pengusaha sebagai pendukung oligarki segala. Buktinya, dia lebih kaya dan sukses dari lo. Omongan dia lebih bisa dipercaya lah!”

Appeal to Tradition

Anggap sesuatu benar karena telah dilakukan dan dijaga secara turun-temurun.

“Gini ya dek, dari zaman guru di sini jadi murid baru, MOS udah kayak gini! Junior harus nurut dan hormat sama senior! Paham!?”

Appeal to Probability

Hanya karena sesuatu “mungkin” terjadi, walau dengan “kemungkinan sangat kecil”, pasti akan terjadi kepada dirinya.

“Dunia itu adil. Anak orang paling miskin pun pasti bisa PhD Harvard dan jadi 10 orang terkaya. Jangan salahkan keadaan. Yuk bisa yuk!”

Appeal to Incredulity

Hanya karena sesuatu rumit dan sulit dipercaya, maka dianggap mustahil.

“Gimana caranya coba scientist tahu kalau >90% DNA Manusia sama seperti Simpanse? Gimana coba cara baca DNA? Terlalu rumit lah. Ngarang aja itu!”

Appeal to Emotion

Appeal to Fear

Menganggap suatu argumen benar berlandaskan rasa takut yang besar terharap pihak lain.

“Ini kok lambang + di pelajaran matematika mirip tanda salib? Lambang PMI juga? Ini pasti bentuk kristenisasi!”

Appeal to the Consequences of a Belief

Menganggap sesuatu salah karena bertentangan dengan apa yang selama ini dipercaya.

“Guru saya tidak mungkin sampaikan sesuatu yang salah. Dia guru teladan yang baik, dan saya percaya padanya. Orang seperti dia tak mungkin keliru!”

Appeal to Wishful Thinking

Percaya sesuatu benar akan terjadi hanya karena sungguh berharap itu akan terjadi.

“Walau ada pandemi, bulan depan ekonomi kita akan tumbuh melesat lebih dari 5%! Vaksin bulan depan ketemu dan diproduksi! Semua baik-baik saja!”

Appeal to Spite

Anggap klaim seseorang layak dibantah karena membencinya.

“Jangan dengarkan dia! Semua pejabat, pengusaha, kelas menengah, siapapun mereka yang bukan kita, tidak usah didengar karena pasti berpihak pada kepentingan kapitalis!”

Appeal to Flattery

Gunakan pujian yang tidak relevan untuk selipkan klaim yang tidak berdasar.

“Bagi orang dengan kecerdasan dengan tingkat pendidikan setidaknya setara master di Ivy League akan memahami bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar”.

Appeal to Nature

Klaim bahwa sesuatu lebih benar dengan menggunakan analogi tentang apa yang seharusnya ada di alam.

“Pemimpin itu sudah sewajarnya harus laki-laki, karena di alam pun, binatang mamalia berkelompok seperti Singa dan Gorilla pasti dipimpin yang jantan”.

Appeal to Ridicule

Mengejek argumen yang berseberangan dengan membuatnya terdengar absurd.

“Bumi yang kompleks terbentuk secara kebetulan dari tabrakan benda langit padat saat awal terbentuknya matahari? Bukankah itu sama saja bilang ada mobil yg kebetulan terakit sendiri?”

Appeal to Pity

Menggunakan rasa kasihan untuk menggiring pendapat lawan.

“Memang betul pejabat itu ada salah dan khilaf sudah ambil uang yang bukan haknya. Namun, apa kita tidak kasihan, umurnya sudah tua, pengabdian selama ini tidak sedikit. Bukankah kita seharusnya pemaaf?

Data Fallacies

Cherry Picking

Memilih dan menggunakan data secara selektif agar sesuatu dengan hasil yang diinginkan.

“Menurut riset opini dengan sampel 90% pengusaha energi fosil, mayoritas nyatakan bahwa energi fosil ramah lingkungan dan memajukan ekonomi”

Data Dredging

Klaim bahwa pattern data menunjukkan korelasi tertentu tanpa sebelumnya mengajukan hipotesis yang jelas.

“Saat saya memimpin, ekonomi tumbuh. Oh ya, jangan semata dihubungkam dengan harga komoditas yang kebetulan sedang boom, pokoknya karena saya memimpin”.

Survivorship Bias

Menarik kesimpulan hanya berdasarkan data yang “selamat” dan bisa dianalisis.

“Dari jumlah lubang tembak di pesawat yang pulang perang, paling banyak ada di sayap. Ini bagian pesawat paling rawan!” -> padahal yang ketembak di bagian fuel langsung jatuh”.

Cobra Effect

Menciptakan insentif yang justru akibatkan hasil sebaliknya dari yang diharapkan.

“Di kota ini banyak Kobra. Kita buat insentif, siapa yang bisa bunuh dan serahkan bangkai kobra, akan dibayar pemerintah” -> bukannya berkurang, warga malah jadi ternak Kobra!”.

False Causality

Kesalahan asumsi bahwa 2 hal yang terjadi pasti saling menyebabkan satu sama lain.

“Data tunjukkan naiknya penjualan ice cream menyebabkan naiknya jumlah perenang di laut yang digigit hiu!” -> padahal keduanya hanya sama-sama terjadi saat summer

Gerrymandering

Manipulasi kumpulan data dengan mengatur batas pengelompokkan untuk mengubah hasil.

“Hillary menang secara total suara pemilih nasional, tapi Trump menang berdasarkan jumlah daerah yang dimenangkan”

Sampling Bias

Menarik kesimpulan dari sampling data yang tidak representatif untuk gambarkan populasi yang ingin dimengerti.

“Berdasarkan survey opini Indonesia tentang pembangunan di Papua, dengan 95% sampel hidup di Jakarta, nyatakan bahwa pembangunan Papua sudah OK”.

Gambler’s Fallacy

Anggap sesuatu yang sudah terjadi lebih sering sebelumnya tidak akan muncul lagi.

“Di game lempar koin ini, sudah 10x berturut-turut muncul ‘head’, jadi pasti selanjutnya ‘tail’ yang akan muncul”.

Observer Effect

Tindakan mengamati mempengaruhi / mengubah perilaku subjek yang diamati.

“Katanya kinerja PNS malas. Nyatanya tidak. Buktinya, saat saya lakukan kunjungan terjadwal, semua sedang sibuk kerja dengan serius”.

McNamara Fallacy

Hanya memperhitungkan data yang mudah diukur sehingga kehilangam gambaran utuh.

“Negara kita pertimbuhan GDP nya bagus kok. Index Kebahagiaan? Itu sulit diukur dengan reliable. Toh, kalau GDP tumbuh seharusnya kebahagiaan secara umum juga naik kan?”

Publication Bias

Riset yang menarik lebih banyak dibaca sehingga membentuk persepsi terhadap realitas.

“Lebih baik fokus ke riset pengembangan obat dan vaksin COVID-19. Apa? Sebelumnya sudah ada riset yang prediksi pandemi? Kok ga pernah dibahas sebelum pandemi terjadi ya?”.

Faulty Deduction

Anecdotal Evidence

Mereduksi standar pembuktian untuk buat / bantah klaim dengan gunakan pengalaman pribadi / orang lain.

“Aneh kalau ada survey yang bilang lebih dari 70% siswa tidak suka belajar di sekolah. Saya pribadi sangat suka. Bagi saya sekolah menyenangkan!”

Undistributed Middle

Anggap bahwa 2 hal yang menggunakan atribut yang sama maka pasti saling berhubungan.

“Teori itu kan bisa salah, lah itu Evolusi kan cuma Teori. Makanya Teori Evolusi itu tidak terbukti benar”

Composition Fallacy

Anggap bahwa karakteristik dari suatu kelompok menggambarkan kelompok secara keseluruhan.

“Kebanyakan pelaku kriminal di sini itu kan imigran. Makanya imigran itu pasti cenderung berperilaku seperti kriminal!”

Spotlight

Pengamatan terhadap suatu hal yang menjadi sorotan menggambarkan sesuatu secara keseluruhan.

“Kan sudah banyak yang bilang COVID-19 itu konspirasi. Berapa orang? Wah gatau juga, tapi kan itu rame dibicarakan sama artis dan musisi? Konspirasi lah itu!”

Design Fallacy

Anggap bahwa sesuatu yang didesain dengan bagus / indah lebih mungkin benar.

“Infografis bagus dari akun anonim facebook ini bagus sekali. Coba bandingkan dengan grafik di paper ilmiah ini, ruwet, jelas lebih meyakinkan infografis ini lah!”

Sweeping Generalization

Mengeneralisir sesuatu dengan terlalu luas.

“Semua ketertinggalan kita, dari segi ekonomi maupun teknologi, disebabkan karena anak muda kita kurang bermoral dan terlalu sering berbuat mesum”.

Division Fallacy

Anggap karakteristik dari suatu kelompok pasti diikuti oleh seluruh anggota kelompoknya.

“Saya sering lihat di TV kalau yang jenggotan dan celana cingkrang itu pasti setuju poligami. Kamu jenggotan dan pakai celana cingkrang, kamu pasti mau poligami ya?”.

Relativist Fallacy

Menolak suatu klaim karena percaya bahwa kebenaran relatif bagi setiap kelompok.

“Kamu percaya vaksin medis untuk anak itu penting, saya percaya madu herbal sudah cukup. Ya sudah, kita anggap saja keduanya benar menurut kepercayaan masing-masing”.

Hasty Generalization

Mengambil kesimpulan hanya dari sampel yang sangat kecil.

“Aku dulu pernah pacaran satu kali, terus aku diselingkuhin. Emang semua cowok brengsek!”

Perfectionist Fallacy

Anggap kebenaran hanya ada di posisi yang sempurna / mutlak. Segala yang di luar itu salah.

“Jadi posisi kamu menentang kebijakan ini atau tidak? Percuma kalau cuma klarifikasi, itu sama saja dengan mendukung!”

Jumping to Conclusions

Menarik kesimpulan terlalu cepat tanpa bukti yang cukup.

“Ngapain perempuan muda keluar malam kayak gini? Kamu pasti perempuan penghibur ya?”

Middle Ground

Anggap bahwa sesuatu yang saling bertentangan pasti memiliki titik tengah.

“Untuk kasus pemerkosaan ini, sudah jangan diperpanjang secara hukum. Sebagai jalan tengah, pemerkosa bersedia tanggung jawab dengan menikahi korban”.

Manipulating Content

Unfalsifiability

Membuat klaim yang tidak bisa dibuktikan salah atau benar.

“Anak ini jadi gay karena kemasukan setan, harus dikeluarin ini setannya. Bukti? Ya ga ada bukti, setan mana kelihatan. Masa kamu ga percaya sama saya?”

Ad Hoc Rescue

Membela terus hal yang dipercaya dengan terus merevisi argumen.

“OK lah, membantu mudahkan hidup, tingkatkan produktivitas, gerakkan ekonomi, permudah konektivitas, tidak ada kan dampak positif teknologi untuk manusia?”

False Dilemma

Menyajikan hanya 2 alternatif solusi yang bertentangan dan menyembunyikan alternatif lain.

“Pilihan kita hanya lockdown sementara atau membiarkan ekonomi berjalan. Tidak ada opsi lain, dan lockdown akan hentikan ekonomi. Bantuan pemerintah? Itu bukan opsi!”

Misleading Vividness

Menjelaskan sesuatu dengan sangat detail, walaupun jarang terjadi, sehingga sangat meyakinkan sebagai kebenaran.

“Ini adalah Budi Setiawan. Dia adalah anak tukang becak yang lulus dari MIT dan bekerja di Google. Kisahnya sejak bayi blablabla ”

Red Hearing

Mengalihkan pembicaraan dengan topik yang menarik kita ke kesimpulan lain.

“Memang betul anggota partai kami ada yang korupsi, tapi kan lebih banyak koruptor di partai sebelah? Coba, skandal besar korupsi partai sebelah sudah sampai mana?”

Slippery Slope

Menggunakan satu langkah untuk menarik rentetan kesimpulan yang seolah pasti akan terjadi.

“Kalau kita terapkan standar kurikulum seperti kampus top di Eropa, nilai Barat akan masuk. Barat itu liberal, nanti anak muda kita jadi pro sex bebas!”

Garbled Cause and Effect

Post Hoc Ergo Propter Hoc

Karena suatu hal terjadi setelah suatu hal, maka keduanya memiliki hubungan sebab akibat.

“Habis kucing hitam menyeberang jalan, aku langsung jatuh dari motor karena menabrak tepi jalan. Kucing hitam memang pembawa sial!”

Circular Logic

Mengambil kesimpulan dari premis yang telah memiliki kesimpulan.

“Hanya orang yang ingin sex bebas yang tidak setuju aturan mempidanakan pelaku sex bebas. Kamu tidak setuju, maka kamu pasti pelaku sex bebas!”

Two Wrongs Make a Right

Anggap bahwa suatu kesalahan dapat menjadi benar dengan tunjukkan kesalahan lain.

“Memang pelaku pemerkosaan itu jahat, tapi korban juga yang salah karena pakai baju seksi!”

Affirming the Consequent

Anggap hanya ada 1 penjelasan atas fenomena yang sedang diamati.

“Habis menikah, biasanya orang punya anak. Karena itu, orang yang menikah pastilah karena ingin punya anak”.

Cum Hoc Ergo Propter Hoc

Anggap fenomena yang terjadi bersamaaan pasti punya hubungan sebab akibat.

“Orang yang pakai narkoba seringkali bertato. Karena itu, orang bertato pasti pakai narkoba!”.

Ignoring a Common Cause

Anggap A yang menyebabkan B, padahal A dan B sama-sama disebabkan oleh C.

“Anak di SD Negeri non percontohan malas, jadi nilainya jelek” —> padahal anak malas dan nilai jelek sama-sama disebabkan guru tak kompeten mengajar

Denying the Antecedent

Tidak mengakui bahwa penyebab suatu hal bisa lebih dari satu hal.

“Kalau kamu masuk PTN, kamu pasti jadi orang sukses. Kalau kamu gagal masuk PTN, kamu pasti gagal jadi orang sukses”.

On the Attack

(Probably the most common logical fallacy yang sering ditemui dan dilakukan, karena jadi jurus standar saat argumen seseorang terpojok tapi tetap tidak mau kalah)

Ad Hominem

Membantah argumen dengan menyerang pribadi seseorang yang tak berhubungan dengan argumen.

“Halah banyak omong, ga usah sok pinter dan paling paham tentang cinta deh. Lo aja belum menikah”.

Burden of Proof

Si pembuat klaim merasa tak wajib menyajikan bukti dia benar. Anda yang harus buktikan dia salah.

“Loh saya kan cuma share berita kalau si Panjul ini titisan Dajjal. Kamu bisa buktikan saya salah ga? Kalau nggak, ya berarti benar dia titisan Dajjal!”.

Genetic Fallacy

Menyerang sumber dari argumen, bukan argumennya itu sendiri.

“Ya Biologi modern dikembangkan oleh scientist dan kampus yang namanya terkenal tapi pemikirannya liberal dan kebarat-baratan. Mana bisa kita terima Teori Evolusi?”.

Straw Man

Mendistorsi informasi dengan menyempitkan konteksnya sampai kehilangan maksud yang sebenarnya.

“Anda memberi penekanan bahwa mendidik anak dengan cara berpikir scientific itu penting? Berarti anda bilang pendidikan agama itu tidak penting?”

Guilt by Associasion

Menyudutkan argumen dengan mengasosiasikan dengan kelompok yang tidak populer.

“Oh jadi anda ingin memperkuat serikat pekerja, sama seperti keinginan para komunis? Jadi apa anda ini komunis?”.

Circumtance Ad Hominem

Menyudutkan argumen dengan menekankan ada kepentingan si penyampai informasi dalam argumen.

“Tentu saja dokter kampanye rokok buruk untuk kesehatan. Dokter dekat dengan perusahaan farmasi yang jual obat lepas candu rokok. Jadi klaim tak bisa diterima”.

sebagian besar mengambil materi dari Adrian Danar W (@adriandanarw , Tech Business Enthusiast | In Science We Trust)

Sengaja tulis list panjang beberapa jenis logical fallacy, supaya kalau nanti ada yang melakukan logical fallacy, tinggal kutip salah satu dari thread di atas. Sekalian belajar membiasakan diri juga supaya tidak jatuh ke logical fallacy :p

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image