Mengapa Kasus Infertilitas Identik dengan Pihak Perempuan yang Dikambinghitamkan?
Eduaksi | 2022-04-12 09:18:09Infertilitas terus saja dihubungkan dengan kewajiban seorang perempuan yang tidak terpenuhi. Padahal ada dua belah pihak yang dilibatkan dalam proses reproduksi, lalu bagaimana hal ini dapat terjadi dan berkembang luas di masyarakat?
Dewasa ini, sudah tak heran apabila kasus infertilitas yang marak beredar dalam media sosial, selalu diasumsikan pada gagal atau tidaknya peran seorang perempuan. Stigma dan persepsi yang terbentuk di masyarakat tentang kehadiran buah hati ialah cermin dari kegagahan seorang lelaki, perlu diperbaiki. Konstruksi sosial yang terjadi ini, adalah efek samping dari kegagalan pengenalan identitas gender yang terbentuk dan mandarah daging di masyarakat, yang mana diibaratkan lelaki yang tidak memiliki anak akan selalu merasa inferior, dan perempuan yang tidak subur dicap tidak becus dalam merealisasikan perannya. Pada realisasinya di Indonesia yang dominan semi patriarkal, jika topik ini menjadi topik utama sebuah pembahasan, hal pertama yang akan dipertanyaka adalah peran dari perempuan itu sendiri diukur pada kesuburan dan juga kemampuannya untuk hamil. Hal ini tentu menjadi fokus dalam sebuah hubungan, dan tanpa disadari, bahasan ini menjadi bahasan yang tabu di masyarakat. Dapat diketahui bahwa penyebab hal ini menjadi tabu di masyarakat beragam, mulai dari rasa malu untuk periksa ke dokter, sampai tekanan yang diterima dari pihak keluarga dan masyarakat sekitar. Maka dari itu, kita, sebagai sesama manusia dan masyarakat sosial yang baik, perlu mempertimbangkan untuk menilai fenomena ini bukan hanya fenomena medis, namun juga fenomea sosial dan juga psikologis. Ditambah lagi pada tekanan atau pressure yang lebih memberatkan pihak perempuan, yang umumnya datang dari stigma dan persepsi masyarakat.
Dalam penelitian Grace Stephanie Panggabean pada tahun 2014, stigma yang terbentuk dan tersebar luas di masyarakat erat hubungannya dengan konstruksi identitas gender dari pihak perempuan. Masyarakat awam dengan kejamnya berasumsi sumber dari ketidaksuburan sepasang suami istri tentu berasal dari pihak istri. Tentu saja hal ini secara tak langsung membebankan tanggung jawab akan ada atau tidaknya penerus di atas pundak seorang perempuan. Tak dapat dipungkiri bahwa, infertilitas telah lama dikaitkan dengan peran seorang perempuan. Berawal dari stigma ekspektasi masyarakat terhadap perempuan dengan peran seorang ibu yang saling berkaitan.
Hal ini tentu tak lepas dengan bagaimana ideologi dalam masyarakat sebenarnya terbentuk dan berkembang dari generasi ke generasi. Masyarakat perlu tahu bahwa setiap pasangan punya hak yang sama untuk tidak memiliki atau memiliki anak. Dengan memulai menyebarkan dan menyadarkan sedikit demi sedikit akan pentingnya kesetaraan gender dalam berjalannya sebuah hubungan dalam pasangan, perlu digarisbawahi bahwa dalam sebuah pasangan, ada dua kepala dengan isi yang berbeda, dan di dalamnya juga ada perbedaan pendapat yang harus diselaraskan. Fenomena yang terjadi di masyarakat ini, menunjukkan bahwa sempitnya pemikiran dan stigma masyarakat tentang peran gender dalam masyarakat yang negatifnya, terus menyerang perempuan. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam sebuah kasus infertilitas, seperti kesehatan mental dan fisik, kesehatan reproduksi kedua belah pihak, catatan medis, dan banyak hal lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.