Bijaksana dengan Konektivitas
Eduaksi | 2022-04-08 09:30:19Jika di dunia nyata, banyak warga dunia yang kagum dengan keramahan dan kehangatan orang Indonesia, beda halnya dengan hasil survey Microsoft baru-baru ini kepada warga Indonesia di dunia maya. Index Keberadaban Digital atau Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 yang dilaporkan oleh Microsoft belum lama ini, menempatkan Indonesia berada pada peringkat 29 dari 32 negara. Survey ini dilakukan kepada 16.000 responden di 32 negara antara bulan April sampai dengan Mei 2020. Sebagai informasi, “keberadaban” yang dimaksud terkait dengan perilaku berselancar didunia maya dan aplikasi media sosial, resiko terjadinya penyebarluasan berita bohong/hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, cyber bullying, sampai dengan tindakan pelecehan kepada kelompok marjinal (etnis agama tertentu, perempuan, kelompok difabel dan lainnya).
Kita boleh sependapat atau tidak dengan hasil survey rilisan Microsoft ini, namun pesan pentingnya adalah angka ini bisa menjadi medium refleksi yang baik. Bagaimana perilaku dunia maya kita sesungguhnya memegang peranan penting bahwa kita berkontribusi kepada hal-hal yang positif atau sebaliknya.
Sadar atau tidak, fase “perpindahan” komunikasi kita di dunia maya, seakan-akan memang terjadi sangat cepat. Cepat bukan saja karena varian gawai yang tersedia saat ini lebih banyak dan makin murah, jaringan internet juga makin merata (dengan berbagai ragamnya) di nusantara, namun juga disparitas (kesenjangan) terhadap konektivitas antar warga juga makin tak terlihat. Singkat kata, semakin banyak elemen masyarakat yang semakin terkoneksi dengan dunia maya, mereka makin bisa menikmati sejumlah layanan besar dan variatif yang ditawarkan dari internet. Apakah ini berita baik ?, tunggu dulu.
Moore (Hukum Moore) pada tahun 1965 pernah meramalkan bahwa kenaikan kecepatan teknologi mikro chip setidaknya setiap 24 bulan, kecepatan itu akan bertambah dua kali lipat. Pada tahun 2008, 1 mm2 chip bisa menampung 3,3 juta transistor, namun 10 tahun kemudian atau pada tahun 2018, 1 mm2 bisa menampung sampai dengan 100 juta lebih transistor. Artinya teknologi chip ini makin kesini makin lebar, makin cepat dan kabar baiknya ternyata makin murah untuk bisa diproduksi dalam skala banyak. Kecepatan para ilmuwan teknologi ini dalam mengembangkan kecepatan mikro chip, bertemu dengan penemuan internet dan ketemu momentum “ledakan” nya, banyak akselerasi tinggi yang terjadi pada 10 tahun ke belakang sampai dengan saat ini dan tahun-tahun mendatang.
Apa dampak dari ini semua ?, dari beragam rupa kemudahan kecepatan yang didapatkan dari peran teknologi ini, ternyata juga menciptakan “ruang” potensi masalah yang menganga jika tak direspon segera.
1. Pertukaran informasi sangat cepat terasa.
Semenjak era media sosial diperkenalkan setidaknya pada tahun 2006-2007, ada dua peran sekaligus yang dipikul oleh masyarakat internet (yang saat ini populer disebut netizen), fungsi sebagai penikmat infomasi sekaligus sebagai produsen informasi. Penikmat ketika banyaknya “etalase” di ranah maya yang tak terhitung jumlahnya, lalu dengan seleranya masing-masing kita diminta memilih “rasa” apa yang hendak dinikmati. Disisi lain, beragam ide, gagasan, cerita dan inspirasi juga dengan mudahnya kita sebar luaskan. Anda mungkin masih ingat, dimana tahun 2007 ini Facebook mulai dikenal dijagat maya kita, hampi berbarengan dengan saat android pertama kali merebak karena dikembangkan Google and the gank.
Dua peran netizen ini ada yang memainkannya dengan baik, menjadi netizen yang membaca dengan cermat, memilah infomasi yang hendak dikonsumsinya dengan bijak, sekaligus mampu berbagi ruang gagasan dengan sahabat yang akhirnya memanjangkan manfaat. Namun tak disangkal juga tidak sedikit netizen yang “galak”, gemar sumpah serapah dan menyebar berita bohong, yang akhirnya berujung pada penciptaan iklim tak kondusif berinternet.
2. Kecepatan merespon pemerintah selaku pihak yang mengelola perkembangan teknologi ini perlu makin dipercepat
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) semenjak disahkan pada 2008 kerap mendapatkan kritikan keras. Sebab, didalam UU tersebut ada sejumlah pasal yang dianggap membatasi karena sering dijadikan landasan untuk membawa orang yang kritis ke ranah hukum. Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia mencatat ada 381 kasus UU ITE sepanjang 2011 sampai 2019 yang menjerat baik perorangan maupun institusi. Bahkan jika dirujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018.
Laporan ini tentunya membuat kita resah, satu sisi medium yang tercipta saat ini cukup banyak untuk bertukar ide dan gagasan, namun disisi lain ada “petaka” yang siap-siap menghantui jika salah memijit keyboard pada gawai atau laptop Anda.
Kabar baiknya, Presiden Jokowi beberapa waktu belakangan ini menyadari ada yang perlu direvisi dari UU ITE, lalu membentuk tim penyiapan revisi UU ini, semoga tim ini bekerja dengan cepat dan efektif diwaktu-waktu yang tersedia. Sambil berharap kecepatan merespon isu-isu sejenis akan makin cepat dimasa depan sehingga tak makin banyak korban didepan sana.
Tidak hanya respon terkait perkembangan Teknologi Informasi yang sedemikian cepat, edukasi kepada masyarakat agar lebih aware dalam mengkonsumsi TI juga penting, agar tidak banyak lagi yang menjadi “korban” dimasa mendatang, baik menjadi korban karena aksi lapor-melaporkan yang demikian makin marak, juga menjadi korban gagal paham untuk apa informasi digunakan dan diciptakan.
3. Gagapnya sebagian masyarakat kita dalam menata postingan di dunia maya
Menurut Melvin DeFleur (seorang pakar psikologi sosial dari Universitas Washington) dan Sandra J.Ball-Rokeach dalam bukunya Theories of Mass Communication (1989), setidaknya ada lima tahapan komunikasi sehingga antara satu orang bisa berinteraksi dengan yang lainnya. Tulisan selengkapnya bisa dibaca disini.
Kalau fase di negara yang sudah mapan budaya bacanya, terurut “Lisan-Tulisan-Membaca-Berinternet”, maka di sebagian masyarakat kita nampaknya hanya di by pass (lompat) menjadi “Lisan–Berinternet”, sehingga budaya ini tidak utuh kita punyai, karena fase etika “tulisan dan membaca” belum menyatu dan masih rapuh dalam kehidupan kita.
Lalu bagaimana menyikapi hal ini dimasa depan ?, adakah usulan terbaik untuk mengatasi hal ini ?
1. Perbaiki index baca masyarakat
Riset yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, menempatkan Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara lainnya soal minat membaca. Riset ini makin dikuatkan dengan data UNESCO, bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% dari 1000 orang indonesia yang gemar membaca. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Baca dan tulis, ibarat saudara kembar yang tak terpisahkan. Jika budaya bacanya lemah, maka jangan tanyakan dengan cara menulisnya, apalagi isinya. Kita boleh menerka, jika postingan-postingan yang beredar banyak di lini masa kita, yang sebagiannya adalah bahasa tak pantas, maka boleh jadi ini adalah sebagian akibat dari hal ini.
Maka misi kita berikutnya adalah bagaimana agar masyarakat kita jadi lebih gemar membaca, menulis sehingga mengokohkan pondasinya dalam beretika didunia maya.
2. Perbanyak konten positif dan membangun dari para influencer
Meledaknya dunia maya dengan berbagai macam kemudahannya, juga ikut menciptakan “profesi-profesi” baru saat ini, ada vlogger, youtuber dan content creator yang pada akhirnya membentuk “influencer” baru dengan deretan followernya yang loyal.
Raffi Ahmad dan beberapa artis yang masuk sebagai antrian awal penerima vaksin virus covid19 beberapa waktu yang lalu juga bertemu dengan tesis ini, besar harapan jika para artis ini saja mau dan menerima vaksin, harapannya juga bisa diikuti oleh masyarakat lainnya.
Jika dimasa lalu masyarakat mengikuti nasihat dari para leluhur dan tetua adat, saat ini ada figur baru yang mereka ikuti, bahkan hingga membentuk perilaku agar sama dengan idolanya.
Para influencer ini, apalagi yang sudah memiliki follower loyal “garis keras”, memiliki PR tambahan bagaimana agar bisa mengedukasi para penontonnya agar juga makin cerdas, dengan cara apa ?, Menyuguhkan tayangan-tayangan bermutu agar makin memperkaya tontonan berkualitas di ruang jagat maya kita.
3. Makin bijak dengan kemudahan dan konektivitas
Upaya-upaya terbaik untuk perluasan jaringan internet, terus diupayakan baik oleh pemerintah atau pihak swasta. Dimasa depan, dengan harga data yang makin murah, harapannya akan mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan informasi. Hal ini juga menuntut kita, di sisi yang lain, untuk terus berupaya memanfaatkan fasilitas ini dengan sebaik-baiknya.
Masih kuat dalam ingatan, jika dimasa lalu, ketika kita ingin membuka e-mail saja, kita harus mampir ke warnet sebelah, rasanya hal-hal ini, pun jika masih ada, tidak sebanyak dimasa itu. Sehingga alam kemudahan akses saat ini seyogyanya dirayakan dengan cara membijakkan diri, tetap terus positif, dan menyebarkan kebaikan dengan cara yang kita bisa melalui medium ini.
Semoga bermanfaat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.