MEMBACA “WAJAH SERIBU RUPA” TENTANG MEMOAR eR-A
Sastra | 2022-04-08 08:26:25Puisiku
Bisa pula sekadar diskusi
Tentang nasib anak negeri
Bahas sejumlah investasi
Dari para pengusaha berdasi
Yang gemar beretorika betapa elok bumi pertiwi
Membaca puisi-puisi penyair Ratna Arlina (eR-A) dalam antologi “Wajah Seribu Rupa” (“WSR”) adalah membuka memoar halaman demi halaman penyairnya. Ada kenangan, kritik sosial, dan segala peristiwa yang memberinya ruang untuk mengungkapnya. Bisa pula sebagaimana kredonya “puisiku/bisa pula sekadar diskusi ... //
***
Suasana paradoks romantis dengan piawai dikemas renyah pada puisi awal antologi “WSR” ini. Betapa komunikasi harmonis sepasang kekasih hendaknya tidak tercemar dengan adanya ketidakharmonisan. Dengan kenes, eR-A, menulis sebuah larik dalam “Apa Sih?” sebagai berikut.
Saat ku merindu
Kau berkata apa sih
Seperti novel romantis
Sebagai wanita penyair, eR-A, mengungkapkan segala curhatannya dengan mengenakan puisi deskriptif sebagai pilihannya. Puisi deskriptif adalah puisi yang mengemukakan tanggapan atau kesan penyair terhadap suatu hal atau keadaan. Tanggapan atau kesan tersebut dapat bersifat kritik maupun sindiran, sehingga dikenal adanya puisi ironi dan satire (kritik).
Puisi bertajuk “Jakarta” merupakan impresi eR-A yang memotret Jakarta dari kisah haru hingga yang memesona. Kisah di balik kopi yang ternyata tidak sekedar minuman khas, namun menyimpan unsur sejarah diungkapkannya dalam “Kopi Gayo”. Dalam puisi “Covid itu Corona yang Mendunia” dan “Bersama Mengawal Mimpi” eR-A kembali mendeskripsikan betapa Pandemi Covid-19 memorakporandakan tatanan dan menciptakan tatanan baru.
Ada pula kritik sosial yang dilontarkan pada larik dalam puisi “Sudah Zamannya” berikut
Sudah zamannya
Murid tak lagi santun pada gurunya
Mungkin terlalu banyak aplikasi atau tonton animasi
Hingga tak peduli suara hati
eR-A juga menyadari bahwa seorang pendidik (baca: guru) hendaknya selalu buka mata buka telinga agar wawasan ilmunya tambah luas. Lewat tokoh lirik “Aku” eR-A mengatakan:
Ku (juga) harus belajar
Bagaimana mengejar ilmu-ilmu
Agar jangan sebatas kata yang indah menggelegar
Di ruang kelas laksana mimbar
Agar hidup umpama acar
Bisa serasi saat disaji hingga serasa segar
Puisi yang dijadikan sebagai judul antologi ini “Wajah Seribu Rupa” mengingatkan kepada pembaca agar mereka tetap istikomah di jalur masing-masing.
***
Setiap penyair akan mapan ketika ia selalu berada melalui rekam jejak puisi yang terus ditekuni dan ditulisnya. Ia terus berkarya hingga alam menyeleksinya.eR-A memiliki peluang untuk itu. Sejumlah puisi yang ditulis dalam “WSR” berhasil memanfaatkan citraan yang menambah kuat imaji pembaca. Pemilihan diksi secara khas: sederhana dan puitis, memberinya bekal dan peluang bahwa eR-A bisa sejajar dengan para wanita penyair terdahulu
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.