ANTOLOGI PUISI 'SENJA INI' BIOGRAFI DIRI SANTIYO MARTODIKROM
Sastra | 2022-04-06 23:36:05Apa yang menarik ketika seorang penyair memutuskan untuk menulis puisi? Budiardjo (2019) dalam iqra.id menerangjelaskan, bahwa penyair layaknya menulis puisi berdasarkan pengalaman yang mengristal. Bisa jadi pengalaman ini menjadi lahan yang tak pernah kering. Selain itu, pengalaman yang mengristal tersebut akan menjadi bahan tulisan yang sangat menarik. Jasmani dan rohani penyair yang berolah pikir dan berolah rasa secara intensif dalam mengolah pengalaman tentu dapat menghasilkan karya tulis kreatif puisi yang bukan “puisi instan”.
Santiyo Martodikromo, sang penyair ketika menuangkan ragam pengalaman tentu sadar akan hal tersebut. Keempat puluh dua puisinya dalam antologi bertajuk Senja Ini mencurhatkan aneka tema. Ini tampak dari puisi pertama bertajuk Segantang Air hingga Hujan Pertama Usai Pilkada. Tema sosial, politik, budaya, dan cinta pun diungkap dengan gaya sederhana. Diksi tak dipercantik dan dilenjeh-lenjehkan agar terkesan kenes dan puitis.
Dengan kesahajaannya inilah, penyair Santiyo berhasil menuangkan ragam gagasannya secara apik. Ia tak berpretensi heroik, walau yang diungkapkan adalah kisah lara dalam puisi berjudul Segantang Air. Ada pilu disayat kedunguan ketika melihat di antara mereka gembira dan ekspresi jernih keiklasan tanpa mengeluh. Betapa warga Gunung Kidul sedemikian ulet dan perkasa dalam membangun nasib. Secara merendah dan tak melewah, penyair menggambarkannya: “kami luruh dan pilu disayat kedunguan/di antara mereka gembira/dan ekspresi jernih keiklasan tanpa mengeluh/air segantang beberapa hari ke depan air// tak perlu menggerutu pada pemangku negeri/tak nyaman merengek pada dermawan/menjilat para politisi pandai membuai janji-janji/menjual masa depan/ setidaknya lima tahun ke depan //
Kegelisahannya akan gonjang-ganjing negeri ini dituangkan pada enam judul puisi: Demokrasi Oncom, Demokrasi Tempe Bongkrek dan Oncom, Demokrasi Pabuaran, Luka Koranku Laku, Juru Damaiku, dan Hujan Pertama Usai Pilkada. Dalam bait puisi Hujan Pertama Usai Pilkada, penyair meneroka:
yang susah hanya menepati atau memenuhi janji
tak ada yang kalah tapi banyak yang menang
tak ada visi misi
yang ada karung
dan keranjang rengginang
turun dari kereta Rangkas Bitung
Ada kalanya tragis-ironis, sebagaimana pada puisi Tipiku. Penyair sengaja tidak memungut istilah alih-alih televisi yang disingkat menjadi tivi (dan bukan teve). Ia menjuduli puisinya dengan ucapan khas masyarakat awam (biasanya identik dengan wong cilik) dengan tipi. Puisi yang cerdas ini menggambarkan kisah bagaimana pada awalnya peran televisi yang tidak melulu menjadi tontonan tetapi tuntunan bagi masyarakat. Namun, bagaimana kini? Secara getir penyair sampai pada simpulan:
waktu pada jamannya nanti
pemengaruhan massa makin kental
pemasang iklan pun mulai adu strategi
ada pengusaha ada penguasa
ada usaha penguasa ada usaha pengusaha
ajaib
pudar
acara banyak yang hambar
campur tangan semakin tegar bertebar
tidak lada lagi
tipiku menghibur mencerdaskan dan mencerahkan
Antologi Puisi Senja Ini berisi 42 puisi. Sebagai judul yang diandalkan dalam antologi ini, puisi Senja Ini berisi tentang perjalanan si -aku lirik dari mula menuju akhir. Sebuah biografi diri nan dialami dan disikapi secara kepasrahan. Itu sebabnya, si aku lirik dengan bungah merasakannya.
aku menemukan indahnya perjalanan
senja itu purna bakti purna tugas
ganti pesona ganti peran
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.