Angkringan Sebagai Mimbar Pancasila pada Bulan Ramadan
Eduaksi | 2022-04-04 08:19:10Bulan Ramadan merupakan salah satu momentum besar bagi bangsa Indonesia. Secara khusus bulan Ramadan adalah perayaan suci bagi umat Islam, tetapi secara umum bulan Ramadan juga menjadi evokasi bagi seluruh masyarakat dalam berdinamika sebagai saudara. Saya sendiri sebagai nonmuslim turut merasakan daya evokasi bulan Ramadan kali ini. Terlebih, bulan Ramadan kali ini, saya merasakannya jauh dari kampung halaman saya. Namun, daya evokasi Ramadan yang kental tetap saya jumpai seperti kegiatan membangunkan sahur oleh anak-anak, suara azan yang hangat menggema, hingga lantunan ayat suci Alquran membuat nuansa Ramadan tetap kental terasa.
Saya lantas mencoba mengkesplorasi lebih jauh daya evokasi Ramadan yang saya rasakan di tempat tinggal saya yang baru. Pikiran saya lantas teringat ke sebuah tempat makan sederhana khas kampung yang disebut angkringan. Bagi yang belum tahu ihwal angkringan, saya akan mengulasnya secara singkat. Angkringan adalah tempat makan yang penjualnya menggunakan gerobak untuk lapak makanan dan minuman yang disajikan. Angkringan biasanya bisa kita jumpai di pinggir jalan. Bagi kita yang tinggal di kota-kota Pulau Jawa—lebih-lebih Yogyakarta dan sekitarnya—akan mudah kita jumpai angkringan menjamur di sepanjang jalan. Adapun, menu-menu yang tersaji di angkringan adalah menu-menu khas kampung atau khas daerah. Kalau di kota kelahiran saya (Kota Surakarta), angkringan lazim disinonimkan dengan HIK (Hidangan Istimewa Kampung).
Sebuah kebetulan kecil sebab kota tempat perantauan saya juga masih bagian dari Pulau Jawa, meski jaraknya sudah berjam-jam dari Kota Surakarta. Kebetulan kecil yang saya maksud adalah di kota ini saya masih bisa menjumpai angkringan. Lebih-lebih, seperti yang saya sampaikan tadi, angkringan kali ini akan menjadi tempat eksplorasi saya untuk menemukan daya evokasi Ramadan secara lebih mendalam. Saya memilih angkringan karena tempat makan ini amat multidimensional, ikatan emosional sangat hidup, dan pelbagai kultur individu serta eksistensi manusia hadir. Sebuah realitas yang kadangkala nihil di tempat makan kelas-kelas premium yang para pengunjungnya lebih asyik dengan gadget, sibuk dengan dirinya yang belum juga selesai, dan terjebak dalam sublimasi semu bernama gengsi.
Azan buka puasa yang menggema pada hari pertama Ramadan, membuat saya melangkahkan kaki menuju angkringan. Ah, barangkali terlupa, daya evokasi Ramadan yang ingin saya cari di angkringan adalah sebuah identitas kemasyarakatan yang bersifat komunal artinya ada proses dialogis, proses sambatan, dan enkulturasi dari pelbagai paradigma berpikir individu yang nangkring di sana. Sebuah pola yang sejak kecil saya jumpai di kampung halaman. Angkringan yang saya tuju hanya berjarak ratusan meter dari tempat asrama saya. Seperti definisi umum tadi, angkringan tersebut terletak di pinggir jalan raya dengan gerobak kokoh yang berdiri.
Setiba di sana, seorang bapak paruh baya langsung menggeser tempat duduknya untuk mempersilahkan saya duduk di sebelahnya. Persitiwa yang mendadak mengingatkan kita pada sila kedua Pancasila yaitu sikap kemanusiaan penuh adab. Belum lama saya duduk, penjual angkringan memanggil dua orang anak yang berjalan. “Lhe, rene, tak kek i teh anget karo gorengan” artinya, ‘Nak, kemari, saya beri teh hangat dan kudapan’. Perstiwa kecil ini mengingatkan saya akan ucapan budayawan bernama Cak Nun bahwa letak keindahan memberi adalah ketika kita memberi tanpa diminta. Saya lagi-lagi tercenung bukankah ini bagian dari sikap kemanusiaan sila kedua yang begitu luhur?
Saya kemudian memesan sebuah teh hangat dan mencicipi beberapa kudapan yang tersaji. Tatkala saya sedang nikmat menguyah sepotong pisang goreng, seorang bapak driver ojek online datang dengan wajah sumringah. Kemudian, seorang pengunjung yang lain bertanya, “Rame po kok ketok seneng banget?” ( Banyak pelanggankah sehingga kamu tampak bahagia?) tanyanya. “Iyo, tapi tetep buka disik, ngibadah nomer siji”( Iya, tapi berbuka puasa dan ibadah tetap nomor satu) jawabnya. Saya yang selesai menguyah pisang goreng serasa bertambah manis menyaksikan peristiwa religius yang amat sederhana dan sesuai dengan sila pertama Pancasila.
Saya mereguk teh hangat yang tersaji dengan lezat. Sebuah sudut pandang baru saya temukan. Angkringan rupa-rupanya tidak semata tempat makan belaka, tetapi saya jumpai sebuah mimbar Pancasila yang hidup dengan peristiwa-peristiwa bermakna di dalamnya. Sebuah potret tentang kekuatan masyarakat Indonesia yang begitu teguh di tengah keadaan yang tidak mudah. Sebagai guru, saya belajar banyak pada peristiwa kali ini. Selain itu, saya dan kita tentunya berharap spirit semacam ini dapat terus hidup tak hanya di angkringan tapi segala tempat yang kita diami. Lebih-lebih, pada bulan Ramadan ini, semangat toleransi, kemanusiaan, persatuan, gotong royong, keadilan, dapat kita “mimbarkan” di setiap tempat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.