Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatimah Azzahra

Kisah Rara, Gelombang Teta dan Dzikir Semesta

Gaya Hidup | Friday, 01 Apr 2022, 07:46 WIB
Ia membawa mangkuk berwarna keemasan dengan dupa. Komat kamit bibirnya membaca mantra. Ialah Rara Istiani Wulandari, sang pawang hujan yang sering mengawal event-event besar kenegaraan.

Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd

Hujan di sirkuit Mandalika sore itu tak kunjung reda. Padahal, dari pagi hingga siang panas begitu membara. Sampai panitia mengurangi jumlah lap pada race Moto2. Tiba-tiba seorang wanita berambut panjang dengan topi proyek putihnya turun ke lintasan paddlock.

Ia membawa mangkuk berwarna keemasan dengan dupa. Komat kamit bibirnya membaca mantra. Ialah Rara Istiani Wulandari, sang pawang hujan yang sering mengawal event-event besar kenegaraan.

Pawang Hujan

Indonesia terletak di garis khatulistiwa, cuacanya kini tak terkira. Pagi siang panas, sore hujan deras. Ini akibat global warming katanya. Tapi, perhetalan akbar internasional akan digelar. Cuaca harus bisa dikendalikan. Jangan sampai perhelatan akbar ini gagal karena cuaca yang menggalau. Akhirnya, atas rekomendasi pak menteri BUMN, dipanggilah seorang perempuan bernama Rara. Ialah sang pawang hujan.

Dilansir dari laman republika (22/3/2022), Rara diketahui beberapa kali mendapat tugas serupa seperti vaksinasi masal dan kampanye akbar Presiden Jokowi 2019 lalu juga dalam upacara pembukaan upacara pembukaan Asian Games 2018 lalu di Jakarta.

Aksinya di paddlock lintasan sirkuit Mandalika menjadi sorotan publik dalam negeri hingga internasional. Apakah kita harus berbangga atau berduka atasnya?

Memaksa Rasional

Saking viralnya sang pawang hujan, akun media sosial kemendikbud pun ikut membahasnya. Berdasarkan info dari laman republika (28/3/2022), akun kemendikbud.ri menulis bahwa pawang hujan menggunakan gelombang otak teta untuk ‘berkomunikasi’ dengan semesta ketika sedang melaksanakan tugasnya.

Pernyataan ini menuai pro kontra masyarakat. Sebagai negara muslim mayoritas, sebagian besar masyarakat sepakat aksi yang dilakukan oleh sang pawang hujan tidak diajarkan dalam syariat. Bahkan dianggap sebagai kesyirikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa syirik adalah dosa besar.

Tak ingin dicap mengamini kesyirikan, dosa besar, pemerintah memaksa merasionalkan dan mengilmiahkan aktivitas yang dilakukan oleh sang pawang hujan. Komunikasi gelombang teta katanya.

Lantas timbulah pertanyaan dari masyarakat, "Apa gunanya belajar meteorologi dan geofisika? Apa gunanya ada BMKG? Apa gunanya Badan Riset? Jika semuanya bisa disolusikan dengan komunikasi gelombang teta?

Mengapa pemerintah yang notabene orang pintar, lulusan dengan nilai yang baik, orang terdidik, berakal, malah lebih percaya pada 'shaman' daripada intelektual dan peneliti?

Karakter Sekular

Walau menjadi negara mayoritas muslim, Indonesia termasuk negara yang memisahkan kehidupan dari agama alias sekular. Agama hanya dibahas di ranah tertentu saja, seperti masjid dan saat kajian. Di luar itu, agama seolah tabu untuk dibawa, dianggap tidak kompeten dalam bahasan ekonomi, sosial, hukum juga budaya. Inilah karakter sekular.

Hasilnya, diakui atau tidak, agama menjadi pemanis belaka. Tertulis di status kartu identitas, tapi minim pemahaman juga amal tentangnya. Ya, hal ini memang membuat sedih.

Saat budaya diangkat, agama harus diam seribu bahasa. Tak boleh berkomentar meski itu tak sesuai dengan syariatNya. Walau aktivitasnya termasuk dosa besar seperti menyekutukan-Nya.

Percaya dengan dukun, ramalan, atau orang 'pintar' yang katanya bisa mengetahui masa depan, mengubah keadaan termasuk kesyirikan. Tak pantas muslim mempercayainya, apalagi berstatus penguasa.

Dzikir Semesta

Hujan bukanlah ancaman, inilah bukti ketundukan alam. Dzikir yang dilakukan semesta yang tunduk pada Rabb Sang Pencipta. Hujan adalah kabar gembira bagi makhluk Tuhan. Hujan adalah anugerah dan rezeki dari Allah swt.

Bukan hanya hujan, seluruh semesta bergerak dengan izin dan kuasa Sang Pencipta. Inilah ibadah yang semesta lakukan dalam rangka ketundukan. Sama seperti manusia saat sholat, berdzikir dan ibadah lainnya. Semua ada dalam kendali Tuhan.

Memang ada beberapa orang yang bisa mengendalikan angin dan hujan. Bisa jadi mereka adalah nabi atau orang Soleh yang Allah beri karomah, sebagaimana nabi Sulaiman as. Yang pasti, mereka percaya penuh pada kuasa Tuhan, tunduk, taat, dan patuh pada perintah-Nya. Tak menggantungkan harapan, atau percaya bahwa semesta akan berubah karena kuasa insan.

Tak perlu memaksa ilmiah pada suatu kesyirikan. Mengubah yang hitam menjadi abu-abu sehingga samar yang tampak di tengah masyarakat. Sudah jelas mana yang haq dan batil dalam koridor syariat.

Belajar dari Hujan

Mari belajar dari hujan yang jadi bukti ia tetap turun karena tunduk pada kuasa-Nya, walau pawang hujan berkomat-kamit membaca mantra untuk menghentikannya. Hujan hanya patuh pada perintah sang Penguasa Alam. Kalau hujan saja bisa begitu, mengapa kita manusia yang Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk tak bisa berbuat demikian?

Bukankah seharusnya kita mampu tunduk lebih pada Allah karena dibekali akal? Akal yang menuntut kita berpikir, siapa yang menggenggam dan menguasai setiap fenomena alam ini. Harusnya akal ini menambah keimanan setiap insan.

Sayangnya kesombongan hadir menjadi godaan. Menggoda iman setiap insan dengan menghembuskan kepercayaan diri bahwa diri lebih layak untuk mengatur. Bahwa manusia lebih baik untuk menentukan segala sesuatunya. Bahkan tak masalah jika harus menabrak ketentuan Rabbnya. Astagfirullah.

Cukuplah sudah semua cobaan hadir di negeri inj sebagai pengingat. Jangan kita tambah lagi dengan dosa kesyirikan ini. Mari belajar dari hujan, yang tunduk dan taat pada perintah Allah swt.

Wallahua'lam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image