Peringatan HARSIARNAS, Refleksi Kuatkan Keragaman Konten Lokal
Curhat | 2022-04-01 06:14:07Hari Penyiaran Nasional (HARSIARNAS) diperingati setiap tanggal 1 April. Peringatan HARSIARNAS ditetapkan pada tahun 2019 oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019. Penetapan pada tanggal tersebut karena merupakan tonggak sejarah yang besar dalam penyiaran Indonesia. Pada tanggal 1 April merupakan hari dibentuknya Radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Solo oleh Mangkunegoro VII (1916-1944).
Dikutip dari merdeka.com, SRV pada kala itu mempunyai peran besar sebagai sarana perjuangan politik kebudayaan melalui siaran yang mewakili jati diri bangsa. SRV saat itu menyiarkan beberapa program seperti berita, program agama dan kebatinan, dongeng anak-anak, dan berbagai tayangan lain seperti (memasak, border, dan olahraga) serta musik tradisisonal (Asvi Waman Adam, 2010).
Wajah Penyiaran Indonesia Masa Kini
Penting sekiranya melihat kembali bagaimana lembaga penyiaran (LP) yang ada di negera ini tumbuh. Baik televisi maupun radio semuanya penting untuk dikaji secara berkelanjutan agar mampu memberikan sumbangan pikiran yang konstruktif namun tajam dalam membangun penyiaran yang berkualitas sehingga bisa berjalan dalam koridor yang semestinya. Berbagai isu yang menyoal penyiaran tidak lepas dari sorotan publik. Mulai dari masalah frekuensi hingga regulasi. Kajian media menjadi landasan dalam membahas rumitnya suatu sistem penyiaran. Salah satu isu yang banyak terkait dengan kepentingan masyarakat mengenai penyiaran adalah isu tentang keragaman isi (content) dari media penyiaran.
Wajah penyiaran di era yang sudah 4.0 ini berbeda dengan periode sebelumnya. Berbagai orientasi yang dulu hanya berfokus pada pembangunan, kini berubah (shift paradigm) menjadi lebih terbuka. Pasca reformasi, kekuatan media penyiaran kini tidak lagi terkonsentrasi pada kepentingan pembangunan negara semata. Hingga saat ini hanya TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran yang statusnya masih dikelola negara sebagai lembaga penyiaran publik. Sementara media penyiaran swasta terus tumbuh dan mendominasi di tengah persaingan pasar bebas dengan memperluas cakupanya melalui televisi berjaringan yang sahamnya dimiliki oleh segelintir pemilik modal.
Masalahnya ada di TV Swasta
Televisi menjadi salah satu dari sekian banyak saluran informasi yang paling diminati masyarakat Indonesia. Sifatnya yang yang audio-visual (dapat didengar dan dilihat) memudahkan masyarakat untuk memperoleh berbagai bentuk program siaran. Media ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam masyarakat. Penetrasi telivisi yang begitu kuat bahkan bisa menembus hingga wilayah pribadi (pervasife presence theory). Oleh karena itu pengelolaan frekuensi harus diatur secara ketat (high regulated) untuk menjamin saluran penyiaran tidak melanggar ketentuan dalam melakukan aktivitas penyiaran karena bagaimanapun hal tersebut sedah masuk ke dalam bagian ranah public.
Masyarakat Indoenesia merupakan masyarakat yang multikulural. Namun suguhan yang diperoleh melalui media yang di tonton tidak variatif. Hal tersebut tentu saja sangat bertolak belakang yang membuat cara pandang masyarakat menjadi sempit dan semakin terasing. Apalagi tayangan penyiaran swasta banyak menayangkan tontonan yang kurang mendidik seperti kekerasan, perkosaan bahkan sadisme masih terus menerus manjadi suguhan utama televisi swasta nasional yang ada di Indonesia.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan isi (content) diatur oleh sebuah lembaga pengawasan independen. Lembaga tersebut adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas menetapkan standar program dan memberi sanksi bagi lembaga penyiaran yang melanggar.
Berbagai kajian tentang media penyiaran menunjukkan bahwa kekuatan kepentinggan ekonomi politik merupakan salah satu faktor yang menghambatl hadirnya keragaman konten. Konglomerasi dan kepemilikan modal menentukan arah kebijakan penyiaran masih menjadi masalah serius. kurangnya keragaman konten televisi swasta di Indonesia. Permasalahan pengelolaan televise bukan dianggap sebagai permasalahan sosial namun hanya sebagai masalah bisnis. Meskipun begitu berbagai lembaga penyiaran yang ada di daerah masih terus bertumbuh. Tentu dengan semangat untuk memelihara berbagai potensi baik itu budaya maupun kearifan lokal yang dimiliki agar tidak hilang ditengah modernisasi ini yang membuat integritas bangsa runtuh.
Nasib yang sebaliknya dirasakan oleh para pelaku penyiaran di daerah lokal. Banyaknya berbagai lembaga penyiaran yang ada di daerah tidak didukung dengan tenaga yang memadai. DikutIp dari Humas Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Rektor ULM mengtakan bahwa regulasi penyiaran di Indonesia masih tertinggal dalam hal lokalitas konten dari negera lain yang memiliki peraturan yang lebih ketat. “Australia telah mencapai 55% dari konten mereka yang berisi muatan lokal, dan harus ditayangkan pada waktu slot prime time yang dimulai pada pukul 18.00 hingga malam. Kemudian ada Bulgaria yang porsi muatan lokalnya sudah mencapai 50%, Perancis 40%, dan Malaysia mencapai 80 persen dengan programnya harus menggunakan Bahasa nasional mereka,” menurut rektor dalam sebuah acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Sekolah P3SPS yang diselenggarajan Oleh KPI pada Maret 2019.
Keterbatasan pembiayaan masih menjadi faktor kurang berkembangnya lembaga penyiaran yang ada di daerah. Sumber daya manusia (SDM) yang ada di wilayah lokal sangat berbeda jauh secara kualitas dengan para konten creator yang ada di wilayah kota, akibatnya konten yang disediakan kurang menarik. Keterbatasan tersebut berujung kepada akusisi yang dilakukan oleh perusahaan TV swasta nasional yang mencengkramkan kekuatanya di wilayah lokal dengan membuat televise local menjadi berjaringan. Televisi lokal yang wilayah jangkauan wilayahnya terbatas berada di daerah mau tidak mau harus mengikuti aturan.
Setelah berjaringan, implementasinya penyiaran lokal ternyata tidak seindah yang diharapkan. Kondisi tersebut menyebabkan penyesuaian ulang terhadap program siaran menayangkan konten lokal. Jam tayang program lokal direduksi seminimal mungkin. Dalam peraturan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) ada kewajiban 10% menayangkan program lokal televisi jaringan.
Tidak heran jika masyarakat lebih mengenal konten televisi swasta yang ada di Jakarta yang secara tayangan sangat dominan merepresentasikan berbagai entitas masyarakat dominan yang tidak beragam. Masyarakat lebih paham bagaimana dinamika politik yang ada di Jakarta ketimbang situasi yang ada di wilayah mereka sendiri. Keseragaman konten masih terlihat bagaimana sebuah informasi yang sama disiarkan secara bersamaan di stasiun televisi yang berbeda.
Jam tayang yang diberikan memalui TV swasta nasional dalam penayangan program-program lokal tidak berimbang karena keterbatasan durasi. Program yang memuat konten lokal ditempatkan pada jam-jam yang kosong dimana orang tidak memiliki waktu dalam melihat konten siaran lokal.
Tak jarang juga tayangan impor seperti film, acara musik, telenovela, iklan hingga berita sering menghiasi televisi kita. Bahkan lebih sering kita lihat program tayangan dari luar negeri daripada acara-acara yang bermuatan lokal. Penayangan acara impor tersebut menuruti logika pasar untuk memperoleh rating and share sebanyak mungkin. Penempatan jam tayangnya juga ditempatkan pada waktu istirahat (prime time) dimana orang banyak menonton siaran televisi sehingga masyarakat mau tidak mau disuguhkan secara langsung acara-acara tersebut. Dengan leluasa baik informasi budaya asing tidak lepas dari kehidupan kita sehari-hari
Masyarakat dominan yaitu kelas menengah kebawah lebih terhibur dengan tayangan receh yang disetting sedemikian rupa demi menghadirkan gelak tawa di masyarakat. Adapula program yang selalu menyoroti kondisi mayarkat dengan ekonomi lemah yang seringkali memperlihatkan kesedihan. Berbagai macam hal yang mengundang emosi penonton akan mendapat banyak perhatian sehingga hal tersebut menjadi jaminan suatu tayangan laku di masyarakat. Masyarakat merasa mendapatkan energi kembali setelah seharian bekerja dengan menonton acara-acara yang menghibur. Hal itu membuat televise menjadi sarana yang pas untuk membangkitkan tenaga mereka yang terkuras seharian yang dipakai untuk bekerja.
Generalisasi yang merepresntasikan identitas suatu kelompok tertentu dibentuk ditengah masyarakat seolah realitas tersebut sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Komposisi mayoritas dan minoritas yang ada di masyarakat bagi media penyiaran bukan masalah untuk menjadikan itu sebagai bagian dari plularisme yang ada. Namun, media penyiaran turut serta melanggengkan kelompok dominan (baik dari segi etnis, budaya, dan agama) yang menjadi konsumsi nasional.
Sebuah lembaga penyiaran tidak bisa lepas dari beragam kepentingan pemiliknya, terutama kepentingan terkait politik. keberadaan sebuah media oleh seorang politikus mampu mendukung kepentingan dan ideologi pemiliknya dalam mendulang suara dan mensukseskan agenda besarnya sebagai orang yang terlibat dalam politik secara langsung maupun tidak. Ada beberapa politikus yang merangkap sebagai konglmerat media. Kita melihat dalam sebuah kontestasi pemilu. Aktivitas politik yang ditampilkan dalam berbagai program selalu selaras dengan nilai politik yang dianut sang pemilik media. Berbagai tayangn politik yang ditampilkan dalam sebuah media menjadi pancing untuk menarik perhatian publik.
Dari berbagai kondisi diatas kita bisa memaknai bahwa situasi penyiaran di Indonesia masih belum bisa mencapai titik keragaman bahkan dalam hal utuk menjaga keragaman itu sendiri. Kecenderungan dari sistem yang oligopolistik adalah tidak ingin merugi karena tayangan positif kurang diminati. keragaman konten sampai kapanpun akan sulit terwujud karena persaingan pasar melalui konten-konten yang homogeny dan tereplikasi setiap masing-masing stasiun tv.
keragaman konten terjadi ketika sebuah lembaga penyiaran baik itu publik atau swasta mampu memberikan tayangan berupa program-program yang memiliki universalitas sehingga masyarakat bisa menikmati keragaman tersebut sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Lokalitas kebudayaan di suatu daerah turut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keragaman itu sendiri.
Menurut Komisioner KPI Kalimantan Timur, Andi Muhammad Amdi menjelas bahwa lokalitas konten penyiaran diletakkan ke atas lima perspektif. Pertama konten lokal sebagai amanat regulasi yang wajib ditunaikan. Kedua, konten lokal adalah gambaran wajah masyarakat di daerah. Ketiga, konten lokal bisa membantu mengembangkan potensi yang ada di daerah. Keempat, konten lokal mampu membangun partesipasi kolektif.. dan kelima, konten lokal dapat memenuhi upaya pengembangan potensi sumber SDM (sumber daya manusia) lokal.
Waktunya Konten Lokal Diperkuat
Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai lokal sudah selayaknya harus ditingkatkan lewat saluran-saluran penyiaran yang tersedia. Berbagai potensi daerah sejujurnya telah menunggu, namun TV swasta rasanya setengah hati untuk menjemput bola sekalipun sudah berjaringan. Perlu ada upaya untuk memperhatikan juga bagaimana peluang yang bisa diciptakan ketika produksi konten lokal bisa berkembang. Akan banyak sekali rumah-rumah produksi yang bisa terhidupi karena ikut diberdayakan.
Penting untuk mengedepankan sikap dalam kebhinekaan berbangsa dan bernegara melalui tayangan konten yang penuh keberagaman pada tingkat tertinggi. Berbagai konten bermuatan budaya local harusnya tersecermin dalam setiap tayangan yang diproduksi. Konvergensi media membuat masyarakat akan lebih mudah dalam menikmati budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Kecenderungan tersebut mampu mengikis persatuan dan persaudaraan dengan sesama.
Indonesia akan segera menghadapi migrasi total kepada penyiaran digital. Digitalisai TV dirasa penting dalam rangka menghadapi perubahan zaman. Upaya pemerintah untuk segera melakukan Analog Switch Off (ASO) yang akan terwujud paling lambat pada tahun 2022 ini. Perpindahan dari TV analog ke TV digital akan membuat naiknya kabutuhan akan konten penyiaran. Harusnya ini bisa menjadi momentum bagi penyaluran konten lokal untuk lebih dimaksimalkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.