Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayipudin

Menjadi Guru Masa Kini Bukan Guru Masa Gitu

Guru Menulis | Thursday, 31 Mar 2022, 16:22 WIB
Ilustrasi:Karikatur opini-prokes-republika.co.id

Penguasaan terhadap digitalisasi pembelajaran bagi seorang guru adalah sebuah keniscayaan, jika ingin tetap dianggap berwibawa di hadapan siswa. Guru yang kehilangan kewibawaan di mata siswa adalah sebuah bencana. Oleh karena itu kompetensi mengajar berbasis digital adalah mutlak bagi guru. Konsekuensinya, guru yang tidak mau dan mampu mengikuti perkembangan zaman semakin tertinggal sehingga tidak dapat memainkan perannya secara optimal dalam mengembang tugas dan menjalankan profesinya. Lantas sudah siapkah guru menghadapi digitalisasi pendidikan pada era digital seperti saat ini? Peran guru di era digitalisasi teknologi tentunya menentukan akankah menjadi guru masa kini,atau menjadi guru masa gitu?

Pembenahan Guru

Pandemi COVID-19 telah mengubah kehidupan manusia dalam segala bidang termasuk dunia pendidikan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi pilihan utama dalam proses kegiatan belajar mengajar. Tenaga pendidik sebagai aktor utama dalam pembelajaran harus mengemas pembelajaran jarak jauh agar dapat diakses oleh seluruh peserta didik. Penguasaan teknologi dalam menggunakan laptop, whatsapp, zoom metting dan berbagai jenis platform lainnya sebagai keharusan yang dimiliki guru dalam menunjang pembelajaran. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak ditemukan guru yang belum menguasai teknologi atau bisa disebut gagap teknologi (gaptek) salah satu permasalahan menjadi penghambat ketika bergulirnya kebijakan PJJ.

Akibat kurangnya penguasaan terhadap teknologi, maka terpaksa guru hanya memberikan tugas untuk dikerjakan yang terpenting siswa tetap belajar dari rumah dan tidak menganggur. Guru ‘masa gitu’adalah candaan yang menyindir serta menyiratkan beberapa hal diantaranya adalah adanya perbedaan generasi yakni, generasi digital migran dengan generasi digital natif. Perbedaannya, generasi digital migran adalah generasi tua termasuk sebagian besar guru di Indonesia sementara generasi digital natif adalah mereka yang sejak dini terbiasa dengan media digital dalam aktivitas sehari-hari, bermain, belajar dan kegiatan lainnya.

Pada era teknologi sekarang guru bukan satu-satunya sumber informasi bisa saja siswa lebih dahulu tau dan bisa mengerjakan sesuatu ketimbang gurunya. Segala informasi sangat mudah diakses jika siswa ingin belajar mandiri siswa dapat mencari tutorialnya lewat youtube dan jika siswa ingin mengetahui apa yang sedang viral dan trending bisa membuka media sosial. Artinya internet telah mengubah peran guru secara signifikan itulah mengapa guru hanyalah fasilitator. Namun, sejatinya peran guru tidak bisa digantikan dengan robot sekalipun, bahkan harus diperkuat. Menjadi guru di masa kini tentunya harus mampu mendesain pembelajaran yang kreatif. Kemampuan para guru untuk mendidik pada era pembelajaran digital perlu dipersiapkan salah satunya dengan memperkuat literasi digital. Guru yang berperan sebagai fasilitator ini berarti harus mengubah paradigma bahwa di masa kini pembelajaran berpusat kepada siswa (student center ) Ini berarti guru perlu memposisikan diri sebagai mitra belajar bagi siswa, sehingga guru bukan serba tahu karena sumber belajar dalam era digital sudah banyak dan tersebar, serta mudah diakses oleh siswa dan bahkan masyarakat.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa minat baca di kalangan guru di Indonesia masih tergolong rendah dan bahkan kurang memiliki motivasi untuk membeli buku. Tingkat kepemilikan buku di kalangan guru di Indonesia masih rendah. Bahkan sering terdengar guyonan bahwa penambahan penghasilan guru melalui program sertifikasi guru tidak untuk meningkatkan profesionalisme guru tetapi hanya untuk gaya hidup konsumtif. Sementara guru-guru yang tersertifikasi belum terlihat kontribusinya kepada sekolah patut juga dipertanyakan.

Tanpa melek literasi digital, maka peran guru akan ketinggalan dengan pengetahuan siswanya, sehingga akan menurunkan kredibilitas atau kewibawaan guru. Guru di era digital bukan saja sebagai konsumen pengetahuan, tetapi juga produsen pengetahuan dengan kata lain, guru dalam era informasi sekarang bukan sekadar mengunduh, tetapi juga mengunggah karya tulisnya yang bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran.

Menyikapi Perubahan Gaya Belajar Siswa

Dunia pendidikan perlu terus mentransformasi diri agar bisa menyesuaikan sesuai kebutuhan dan mempersiapkan peserta didik memasuki dunia baru pasca COVID-19. Diperlukan profil guru yang mampu menjalankan peran secara kompleks dan mampu menyesuaikan dengan tuntutan kompetensi guru masa kini. Siswa zaman sekarang tentunya berbeda dengan siswa zaman dulu. Siswa hari ini adalah generasi yang terlahir, tumbuh, dan berkembang pada seiring bertumbuhnya teknologi digital. Jika dulu lembaga sekolah merupakan tempat belajar tetapi kini sumber belajar siswa bebas memilih dan bisa dibawa ke mana-mana. Melalui aplikasi yang ada di smartphone siswa bisa dengan mudah belajar sesuai dengan kebutuhannya.

Karakteristik gaya belajar siswa sudah mengalami perubahan dan ketergantungan terhadap teknologi ini yang perlu disadari oleh pendidik. Menurut Barnie Trilling dan Charles Fadel dalam 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times (2009), terdapat beberapa kecakapan yang harus dimiliki siswa paling tidak ada empat karakteristik yang harus dimiliki siswa pada era teknologi di antaranya, keterampilan dan inovasi, karakter, literasi digital, kecakapan hidup dan kolaborasi.

Pertama, memiliki keterampilan belajar dan inovasi, yakni kemampuan berfikir kritis. Adalah kemampuan siswa untuk berfikir kritis dalam proses belajar. Namun dalam kenyataannya banyak sekali siswa yang kesulitan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan logis dan bahkan takut bertanya. Penyebabnya adalah pembelajaran hanya berpusat kepada guru. Akan tetapi pendekatan pembelajaran di masa kini tentunya sudah tidak cocok lagi. Lebih tepatnya pembelajaran yang sesuai adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (studen centre). Pendekatan ini tentunya harus mengedepankan kemampuan bernalar dan argumentasi siswa.

Kedua, memiliki karakter kreatif dan inovatif. Era digitalisasi menyodorkan pluang untuk mengembangkan industri kreatif maka siswa perlu memiliki kemampuan ide-ide kreatif di mana sektor industri kreatif menuntut berbagai produk yang dihasilkan oleh pikiran dan ide kreatif. Industri kreatif tentunya akan menjadi tumpuan sektor ekonomi Indonesia masa depan.

Ketiga, memiliki literasi digital, jika dibanding dengan guru ternyata kemampuan literasi digital siswa lebih tinggi karena generasi milenial lebih cepat menerima kehadiran teknologi. Keempat, berkaitan dengan kecakapan hidup, teknologi menawarkan temuan baru sehingga siswa dituntut adaptif terhadap inovasi digital yang serba cepat, maka jika tertinggal dengan perubahan akibatnya kurang memiliki akses terhadap pluang yang makin terbuka lebar .

Kelima, kolaborasi di sini siswa dituntut memiliki karakter kecakapan sosial. Siswa bisa berbagi dengan berbagai siswa di seluruh dunia dengan tanpa sekat. Teknologi telah memberikan fasilitas memadai dalam berkomunikasi kepada siapapun baik melalui internet maupun media sosial. Siswa dituntut untuk berkolaborasi dengan lintas disiplin ilmu tentunya diperlukan kreativitas. Misalnya siswa bisa saja berkolaborasi dalam pembelajaran robotik, game, atau isu lingkungan dengan melibatkan beberapa siswa lintas negara.

Karakteristik itulah yang harus dimiliki siswa masa kini dengan platform teknologi yang begitu melimpah maka gaya belajar siswa begitu beragam. Dengan demikian peran guru harus turut serta berubah dan memiliki kompetensi yang menyesuaikan dengan kebutuhan siswa. Generasi digital natif ternyata lebih cepat beradaptasi dengan perubahan sementara generasi digital migran harus mampu mengimbangi perubahan tersebut.

Kesimpulan

Proses pendidikan ibarat merawat tanaman semakin tanaman tersebut disiram, dipupuk dan dijaga maka akan terbentuk pohon ideal yang kita kehendaki, akar yang kuat, berbatang tinggi, bercabang rapi dan berbuah lebat. Begitu juga guru harus memberi wahana terhadap peserta didik untuk mengenali dan mengembangkan potensi dirinya. Untuk memastikan kualitas kompetensi siswa yang diharapkan maka peran dan mutu guru harus diberi drajat dan dukungan lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam proses pembelajaran. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tidak akan bisa dicapai bilamana gurunya sendiri terbelenggu bahkan menjadi olok-olok karena tidak bisa adaptif dengan perubahan. Namun di saat bersamaan tercipta pula berbagai peluang untuk peningkatan kapasitas guru. Dengan menjadi guru pembelajar saya berkeyakinan guru-guru di Indonesia akan mampu melewati perubahan ini dengan bijak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image