Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wisnu Tanggap Prabowo

GURU ARGUMENTATIF, GURU SEGALA ZAMAN

Guru Menulis | Saturday, 26 Mar 2022, 19:02 WIB

Argumentasi ada di sekitar kita dalam keseharian; dari obrolan warung kopi hingga di dalam persidangan, dari iklan di televisi hingga sidang disertasi. Al Quran banyak menyajikan argumentasi mengenai keberadaan dan kebesaran-Nya. Dalam IPTEK, perannya begitu sentral.

Argumentasi merupakan di antara pokok aktivitas intelektual. Ia merupakan salah satu keahlian dasar untuk membantu dalam meraih kesuksesan; baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia akademik, dan dalam karir profesional (Majidi, 2021). Karena perannya sentral dalam perjalanan ilmiah, peserta didik berhak untuk memperoleh pembekalan keahlian ini. Sebab, ia di antara cara menjawab tantangan zaman. Maka tak syak lagi, tumpuan keberhasilan ini terletak pada peran para pendidik sebagai fasilitator dalam mengasah keahlian berargumentasi pada peserta didik.

Argumentasi adalah alat. Tentu, langkah pertama sebelum menggunakannya adalah mempelajari bagaimana cara mengoptimalkannya (Walter and Fogelin, 2013). Sebagai ilustrasi, ada seorang siswa bisa jadi datang mengadu kepada gurunya. Ia berkata bahwa seorang temannya telah berbuat buruk. Sang guru pun bertanya apa alasan dari klaimnya tersebut. Siswa tersebut mengatakan temannya itu telah mencuri pensilnya. Alasan adalah salah satu elemen argumentasi. Namun ia bukan satu-satunya.

Elemen dari argumentasi lainnya adalah bukti. Sang guru tadi akan menagih bukti dari klaim siswanya tersebut.Ternyata, ia tidak dapat memberikan bukti jelas melainkan hanya dugaan. Barulah setelah sang guru melakukan verifikasi, ternyata pensil tersebut terselip di antara tumpukan buku. Alasan dan bukti inilah argumentasi. Kualitas sebuah opini atau klaim tergantung dari kualitas argumentasinya.

Tetapi berargumentasi perlu menimbang adab. Dahulu, Iblis menolak sujud kepada Adam dengan alasan aku lebih baik darinya. Hanya saja dia tidak akan pernah sanggup membawakan bukti atas gugatannya itu. Sebab, Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya, tetapi hamba-hamba-Nya-lah yang akan ditanya. Maka, meski critical thinking memang bertujuan mengritisi, mempertanyakan, memverifikasi, kemudian menimbang, ada ranah dimana akal manusia tidak berperan di dalamnya.

Sehingga berupaya menghilangkan ayat-ayat kitab suci agama lain misalnya, maka sepelik apapun argumen yang disajikan justru kontraproduktif terhadap sila pertama dan kedua Pancasila; berketuhanan dan beradab. Bukan saja tidak logis dan persuasif, ia dapat mencederai toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Oleh sebab itu mengasah kemampuan berargumentasi membantu seorang peserta didik untuk bersikap proporsional, peka terhadap sekitar, dan lebih toleran dalam ranah publik.

Pelatihan menulis dalam Republika Book Fiesta di kantor harian umum Republika, 21/6/2014.

Karena kemampuan berargumentasi merupakan ushul dari aktivitas keilmuan, ia piranti krusial bagi pendidik. Sebab, ia akan senantiasa relevan bagi peserta didik dalam kehidupannya; saat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, di lingkungan kerja, dan di lingkaran sosialnya.

Kemudian faktor sosial. Kemampuan ini mendorong peserta didik untuk lebih persuasif, logis, dan merespon perbedaan dengan jiwa lapang. Sebab, terbiasa berpikir argumentatif memudahkan seseorang untuk menerima kebenaran dari manapun datangnya. Ia fokus pada apa yang diucapkan ketimbang siapa yang mengucapkan. Sikap objektif modal untuk menghindari kekeliruan berlogika (logical fallacy) yang paling lumrah terjadi; ad hominem.

Baik bagi siswa maupun guru, mengasah kemampuan berargumen dapat melatih kemampuan menyelesaikan masalah secara bertahap. Utamanya ketika ia terbiasa menulis argumentatif. Tidak hanya menulis, berpikir runut dan logis membantu peserta didik saat berbicara di depan publik.

Selain merangsang aktivitas kognitif, berpikir argumentatif memberi dampak positif bagi kepribadian peserta didik. Sebab, keahlian berargumentasi mendorong siswa lebih mudah dan berani mengungkapkan gagasannya karena [ia] didasari bukti-bukti yang mendukung (Fatmawati, Harlita, dan Ramli, 2018).

Selain itu, kemampuan berargumentasi dengan benar membantu peserta didik berbaur di tengah masyarakat dengan baik. Mereka menjadi lebih persuasif dan mumpuni saat bertindak sebagai arbitrase tatkala terjadi konflik di tengah dinamika sosial.

Masifnya informasi dan kemudahan akses dalam mendapatkannya memberikan tantangan tidak kecil. Karenanya, pembekalan critical thinking, termasuk menelisik klaim - alasan – bukti (argumentasi), peserta didik dapat memvalidasi keabsahan suatu informasi.

Republika Gelar Pelatihan Menulis di Pesantren Modern La Tansa, 16/7/2017.

Terbiasa berpikir argumentatif dapat membantu siswa untuk belajar mandiri (autonomous learning), kerja kelompok (group discussion) dan belajar di luar durasi KBM di kelas (asynchronous learning). Keahlian ini semakin relevan di saat PJJ.

Tentu, aktivitas menulis merupakan di antara jalan untuk mengasah kemampuan berargumentasi. Meski semua orang dapat menulis, pada kenyataannya menulis bukan untuk semua orang. Berdasarkan pengalaman Penulis baik saat mengajar atau ketika memberikan pelatihan menulis, tantangan yang umum muncul di tengah peserta adalah keahlian mengurai dan merunut ide pokok menjadi narasi argumentatif yang solid.

Adapun tantangan teknis yang lumrah dikeluhkan adalah perbendaharaan kosakata. Terakhir, keengganan untuk memulai dan mengalokasikan waktu untuk menulis (komitmen) juga menjadi kendala yang umum ditemui. Solusi dari ketiga tantangan tersebut bermuara pada pelatihan (teknis), pembiasaan (eksposur), dan komitmen (paradigma).

Tidak hanya bagi guru, menulis mendorong peserta didik lebih aktif. Ia memberikan mereka “wewenang” untuk berkreasi. Sehingga, menulis membentuk satu pola pikir bahwa para siswa tidak harus selalu menjadi konsumen. Mereka dapat menciptakan sesuatu dus berlaku sebagai produsen.

Tidak hanya itu, menulis argumentasi merupakan aktivitas sarat dengan high order of thinking. Semua potensi intelektual siswa (dan guru) “bergerak” secara simultan dalam menyusun sebuah tulisan. Maka, pihak pertama yang merasakan manfaat dari tulisan adalah penulis itu sendiri, selain tentunya sebuah tulisan juga bertujuan menebar manfaat bagi sesama. Maka untuk tujuan itu idealnya guru memang layak melengkapi kompetensinya dengan menulis, khususnya dalam tulisan argumentatif.

Kabar baiknya, para guru relatif “mudah” untuk menyerap pelatihan dan pengasahan berargumentasi dan menuangkannya ke dalam tulisan. Hal ini karena mereka sangat dekat dengan aktivitas keilmuan; mengolah informasi menjadi ilmu dan mentransfernya kepada peserta didik. Kendalanya seringkali bukan terletak pada kemampuan nalar atau perbendaharaan informasi, tantangan terbesar bagi guru adalah motivasi dan komitmen.

Teknologi dapat menjauhkan manusia dari dirinya. Mawar dan duri dunia dapat tersaji secara instan melalui gawai. Dengan mengasah kemampuan berargumentasi, ia dapat menjadi bekal guru untuk meletakkan perkembangan dunia dengan proporsional. Ketika diajarkan kepada peserta didik, keahlian ini membantu mereka untuk menepis pemikiran-pemikiran merusak seperti ateisme, LGBT, ekstremisme, dan pornografi yang menyusup melalui gawai.

Informasi belum tentu ilmu sebagaimana fakta tersaji belum tentu mewakili realita. Ia menjadi ilmu ketika fakta dan informasi itu benar dan mewakili realita. Untuk mengolah itu semua seorang siswa tidak dapat mempelajarinya dari mesin pencarian dunia maya. Mereka membutuhkan penyuluhan dari para pendidik.

Akhirul kalam, kemampuan berargumentasi dengan baik dan benar merupakan salah satu cara menjawab tantangan zaman di ranah pendidikan. Guru sebagai role model, lalu kemudian siswa, semestinya memang intim dengan perangkat intelektual manusia ini, sebab ia sebuah anugerah dan amanah yang Allah sering singgung di dalam Al Quran: Bawakanlah bukti jika kamu orang-orang yang benar [QS.2: 111]. Wallahu A'lam.

***

DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati, D. R., Harlita, & Ramli, M. (2018, Oktober). Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Siswa melalui Action Research dengan Fokus Tindakan Think Pair Share. Proceeding Biology Education Conference, 15(1), 253-259.

Majidi, A. e. (2021). The effects of in-class debates on argumentation skills in second. https://doi.org/10.1016/j.system.2021.102576. Vol. 101. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0346251X21001305?via%3Dihub

Walter, A. S., & Fogelin, R. (2013). Understanding Arguments, An Introduction to Infromal Logic (9th ed.). Boston: Cengage Learning.

Foto: Republika.co.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image