Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Aini

Negeri Klenik Yang Penuh Polemik

Curhat | Friday, 25 Mar 2022, 20:21 WIB

Belum reda pro kontra ritual klenik di proyek IKN, masyarakat kembali disuguhi unjuk kekuatan berbau klenik dalam ajang balapan di Sirkuit Mandalika. Apalagi kalau bukan pelibatan pawang hujan dalam perhelatan internasional baru-baru ini. Ada yang bangga dengan prestasi pawang hujan yang digadang-gadang telah berhasil memindah hujan, bahkan konon katanya sampai viral hingga kancah internasional. Namun ada pula yang masih berpikir rasional, baik beranggapan atas dasar sains atau pun berdasar logika sederhana. Hujan memang bisa diprediksi awal akhirnya, pun juga hujan pasti berakhir tanpa adanya pawang.

Memang banyak yang berdalih, ritual membawa tanah dan air dalam proyek IKN serta keberadaan awang hujan di Mandalika sebagai bagian dari kearifan lokal, kearifan lokal yang harus dilestarikan dan bagian dari budaya yang tak bisa dipisahkan dari bangsa ini. Ya, kearifan lokal yang selalu dijadikan dalih atas aktivitas yang tidak berdasar aturan atau undang-undang yang berlaku di negeri ini. Hingga akhirnya dianggap sah-sah saja melakukan ritual dalam agenda negara maupun agend nasional lainnya. Dan hampir dipastikan, ritual-ritual klenik akan berakhir dengan pro kontra untuk kemudian menghilang dengan sendirinya. Seolah ada kesengajaan membuat kegaduhan di tengah masyarakat, agar masyarakat sibuk membahasnya, agar masyarakat sedikit lupa dengan masalah utama yang mendera bangsa ini.

Untuk saat ini, ada dua pelemik yang mendera. Pertama, adanya ritual klenik yang mengarah pada perbuatan syirik. Pengumpulan tanah dan air di titik nol IKN jika disertai dengan harapan dan keyakinan bahwa aktivitas tersebut menjadi pendukung keberhasilan pembangunan IKN

. Maka bisa dipastikan aktivitas tersebut adalah kesyirikan. Karena menganggap ada kekuatan lain yang menjadi penentu keberhasilan, seolah ada yang berkuasa selain Allah, jelas ini adalah kesyirikan, menyekutukan Allah. Begitu pula dengan ritual pawang hujan di sirkuit Mandalika. Mengalihkan, bahkan menolak hujan yang telah dikaruniakan Allah, melakukan ritual doa campur aduk antar agama, merasa berkuasa atas langit, jelas pula ini sebuah kesyirikan. Jika beralasan memang bukan budaya Islam, tapi tetap saja bisa dipastikan banyak muslim yang menyaksikan. Tentu ada kewajiban untuk mencegahnya, minimal

tidak mendukungnya. Bukan malah memfasilitasi. Memang negara ini bukan negara islam, namun penduduk negara ini adalah mayoritas islam. Sungguh ironi, kesyirikan begitu mudahnya terjadi. Padahal tidak ada perbedaan pendapat syirik adalah kedzaliman yang besar, dosa besar. Bagaimana akan turun berkah dari langit dan keluar dari bumi jika dosa besar dibiarkan.

Masalah kedua yang mendera adalah melambungnya harga berbagai macam kebutuhan, terutama minyak goreng. Mafia minyak goreng dikambinghitamkan padahal kebijakan negara lah akar masalahnya. Penyerahan lahan sawit kepada swasta, kalahnya pertamina pada kebijakan

pemerintah untuk memproduksi B20 dan B30 yang membuat bahan minyak goreng berkurang, belum lagi kelakuan para pengusaha eksportir yang memilih mengekspor sawit daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri saat harga sawit melambung.

Apakah mahalnya minyak goreng menjadi satu-satunya masalah? Jelas tidak, di lapangan para emak semakin kelimpungan, banyak barang yang harganya juga ikut naik. Sudahlah pendemi berakibat menurunnya pendapatan, masalah baru datang menghampiri, melambungnya berbagai macam barang kebutuhan pokok dan pernak-pernik keperluan rumah tangga. Jadilah pusing tujuh keliling, uang belanja yang tak bertambah namun pengeluaran meningkat. Uang lima puluh ribu, seratus ribu hanya bertahan sebentar di dompet.

Yang memprihatinkan, di saat masalah mendera, ada yang membanggakan keberhasilan pawang hujan mengendalikan hujan, seolah itu adalah prestasi luar biasa, padahal jelas sebuah kemaksiatan. Melenakan sejenak dari karut-marutnya perekonomian.

Sungguh ini adalah sebuah peringatan, banyak masalah mendera seharusnya membuat bangsa ini semakin mendekat kepada Allah, bertaubat dan memohon agar keberkahan senantiasa diturunkan. Kita seharusnya malu, anak-anak saja terus diingatkan akan dosa kesyirikan sebagaimana pesan Lukman kepada anaknya, agar kesyirikan dihindari sejak dini. Bukan malah dilestarikan apalagi dibanggakan.

Mari terus mengingat kalam Allah dalam surah al A'raf ayat 96, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Ketika ayat tentang syirik diabaikan, ketika syariat dipermainkan, masihkah berharap keberkahan diberikan?

Wallahu a'lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image