Pentingnya Manajemen Stres Bagi Guru
Eduaksi | 2022-03-25 08:05:00Setiap profesi yang kita jalani pada dasarnya memiliki tantangan tersendiri. Kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas sesuai dengan tupoksinya akan sangat menentukan eksistensinya di lembaga dimana ia bekerja. Demikian halnya dengan guru, sebuah profesi yang memerlukan keseriusan, ketekunan, serta kesabaran dalam menjalankannya dimana tidak semua orang benar – benar mampu melakoni profesi mulia tersebut. Seorang guru tak jarang mengalami stres saat menghadapi anak didik, orangtua, atau bahkan atasannya. Tak heran apabila fenomena teacher burnout dialami oleh sebagian guru kita, terutama di saat pandemi.
Istilah burnout sendiri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Herbert Freudenberger, salah seorang ahli psikologi klinis yang terbiasa menangani remaja bemasalah pada lembaga layanan sosial di New York. Burnout sendiri menunjukkan sindrome dimana seseorang merasa lelah, kecewa serta frustasi sehingga tidak tertarik lagi pada pekerjaan yang dilakoninya. Sindrome semacam ini biasanya dialami oleh mereka yang bekerja pada pelayanan sosial seperti pekerja kesehatan, guru, polisi serta pekerja administrasi.
Dalam salah satu bibliografinya, Kleiber Ensmann mengatakan bahwa dari sekian banyak orang yang menderita sindrome ini sebanyak 32 persennya adalah pendidik yang kemudian kita kenal dengan istilah Teacher Burnout. Adapun untuk konteks Indonesia, ada banyak faktor yang menyebabkan para guru yang mengalami gejala sindrom tersebut. Pendapatan yang (dirasa) kurang, anak didik yang sulit diatur, orangtua yang tidak bisa diajak bekerja, sama sampai dengan para pemangku kebijakan di tingkat sekolah atau yayasan yang dianggap otoriter disinyalir sebagai penyebabnya.
Akibatnya, sekolah tidak lagi dipandang sebagai tempat kerja yang menyenangkan. Sebaliknya, beraktivitas di sekolah lebih dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Tak heran apabila guru yang mengalami sindrome ini mulai sering datang terlambat ke sekolah. Mereka juga terlihat kurang bersemangat dalam menjalankan tugasnya sehingga sering kali pulang sebelum waktunya. Bahkan, saking tidak adanya motivasi mereka untuk bekerja, pengajaran pun mereka lakukan dengan pendekatan CBSA alias Cul Budak Sina Anteng. Celakanya lagi, sindrome ini ternyata dapat “menular” dengan mudah pada guru-guru lainnya yang pada akhirnya membuat iklim kerja menjadi tidak sehat. Alhasil, anak- anak didiklah yang menjadi korban dari buruknya proses pembelajaran yang dijalankan oleh guru-guru semacam ini.
Dalam pandangan penulis, stres merupakan sebuah hal yang wajar dan sangat mungkin dialami oleh siapa saja. Adapun cara kita mengelola stres akan sangat menentukan eksistensi serta kesuksesan kita di masa yang akan datang. Dalam konteks profesi guru, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh guru dalam mengelola emosinya agar tetap sehat dan produktif.
Pertama, bersyukur adalah cara terbaik dalam mengelola emosi kita agar tetap sehat. Merenungkan kembali kebaikan - kebaikan yang telah kita peroleh dari lembaga jauh lebih baik dibandingkan dengan mempermasalahkan apa yang belum kita terima. Pengalaman menunjukkan, kesulitan hidup bukan semata – mata disebabkan oleh “kegagalan” kita dalam memenuhi keninginan, melainkan ketidakmampuan kita dalam mensyukuri nikmat yang ada. Jika di hadapan kita disuguhkan 9 cangkir terisi kopi dan 1 cangkir kosong, sebagian dari kita justru lebih fokus pada cangkir kosong tersebut dibandingkan dengan cangkir yang terisi.
Kedua, lakukan olahraga secara teratur. Berolahraga secara rutin terbukti bukan hanya memberikan dampak positif bagi tubuh, namun juga kondisi psikis kita. Orang yang terbiasa melakukan aktivitas fisik secara teratur cenderung mampu memancarkan aura optimisme dibandingkan dengan mereka yang jarang berolahraga. Selain itu selektif dalam mengkonsumsi makanan juga akan memberikan dampak positif bagi kestabilan emosi kita.
Ketiga, saring informasi secara bijak. Bersikap bijak dalam menyikapi berbagai informasi yang diterima sangat penting dalam menjaga kestabilan emosi. Biasakan untuk mengecek terlebih dahulu kebenaran informasi yang diterima sebelum mengambil keputusan. Carilah referensi dari sumber – sumber lain yang terpercaya.
Keempat, selektif lah dalam memilih teman (bergaul / diskusi). Teman yang baik adalah teman yang senantiasa menguatkan tatkala kita sedang ada dalam kesulitan. Teman yang baik adalah mereka yang senantiasa menebarkan optimisme serta senantiasa mengajak kita untuk senantiasa bersyukur atas kebaikan – kebaikan yang diberikan oleh lembaga. Sebisa mungkin jauhi orang yang senantiasa menceritakan keburukan lembaga atau kerap kali mempermasalahkan kebijakan lembaga. Salah memilih teman hanya akan membuat kita semakin terpuruk dalam menjalani kehidupan sebagai seorang guru dan tidak mampu berkembang serta bekerja lebih produktif.
Kelima, tuangkan ide – ide maupun keluh kesah kita dalam bentuk tulisan. Para ahli sepakat bahwa aktivitas menulis sangat bermanfaat bagi kesehatan mental. Kegiatan menulis juga dapat melatih otak kiri dan kanan sekaligus. Tidak hanya itu, orang yang terbiasa menulis cenderung memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah secara lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah atau jarang sekali menulis.
Keenam, rehatlah sejenak dari berbagai aktivitas. Sesekali manjakan diri anda dengan melakukan aktivitas yang menarik. Pergi memancing, jalan – jalan ke taman ataupun tempat wisata, sampai dengan ngopi bareng teman – teman di luar profesi kita akan membuat pikiran lebih jernih dan tenang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.