Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Heri Heryana

Tradisi 'Beas Perelek' Orang Sunda Untuk Jalan SDGs

Info Terkini | Thursday, 24 Mar 2022, 19:33 WIB

Tahun 2022 merupakan tahun ke-7 pelaksanaan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Suistainable Development Goals (SDGs). Dideklarasikan oleh hampir 193 Kepala Negara di New York Amerika Serikat pada 25 September 2015, SDGs merupakan lanjutan dari Milenium Development Goals (MDGs) yang ditujukan untuk mengakhiri permasalahan kemanusiaan di dunia sampai dengan tahun 2030 yaitu mengakhiri kemiskinan, melindungi lingkungan, dan menghilangkan kesenjangan.

Dari 17 goals yang dicanangkan dalam SDGs salah satunya adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik, serta mendukung pertanian berkelanjutan (No Hunger). Untuk bisa mensukseskan program SDGs dalam mengakhiri krisis kelaparan di dunia kita tidak bisa hanya berpangku tangan kepada kebijakan-kebijakan pemerintah dan para pemimpin dunia saja. Diperlukan aksi dan pemikiran alternatif dari setiap warga dalam upaya mencapai tujuan kedua SDGs tersebut agar bisa tercapai di tahun 2030 kelak.

Sumber: republika.co.id

Salah satu upaya membuka jalan suksesnya SDGs khususnya dunia tanpa kelaparan (No Hunger) adalah melalui program berbasis kearifan lokal yang datang dari tradisi orang Sunda di Jawa Barat yang dikenal dengan istilah “Beas Perelek”. Sebuah tradisi patungan/urunan warga dalam bentuk sumbangan beras sebanyak genggaman tangan atau satu gelas beras yang hidup dari tradisi leluhur secara turun temurun.

Kearifan lokal seringkali lahir dari kebijaksanaan nenek moyang atau leluhur dari sebuah entitas suku/etnis di suatu daerah yang mampu bertahan dan dilestarikan sampai sekarang. Kuatnya nilai-nilai yang ditanamkan para leluhur membuat tradisi kearifan lokal tertentu mampu bertahan dalam berbagai era karena relevansinya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak lekang oleh zaman.

Setiap tradisi yang berangkat dari kearifan lokal seringkali mengandung filosofi mendalam dalam menjaga keseimbangan antara hubungan manusia dengan alam, hubungan antara manusia dengan manusia, atau hubungan antara manusia dengan Tuhan. Kegiatan Beas Perelek orang Sunda yang dibangun dalam pondasi gotong royong saling membantu sesama warga masyarakat yang kurang beruntung atau tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok sehari-sehari rupanya sangat relevan dengan apa yang dicanangkan dalam tujuan kedua SDGs yaitu hilangnya kelaparan.

Beas Perelek berasal dari dua suku kata yaitu “Beas” dan “Perelek”. Beas dalam bahasa Indonesia berarti beras. Sedangkan Perelek sendiri bukanlah sebuah kata dari sebuah objek/benda. Perelek lebih menggambarkan bunyi ketika beas (beras) dimasukan/dijatuhkan ke dalam wadah biasanya berupa ember atau kaleng oleh warga yang memberi atau berpartisipasi dalam sumbangan Beas Perelek.

Dalam tradisi lisan bahasa Sunda segala bentuk bebunyian benda jatuh biasanya digambarkan dalam sebuah kata/bahasa tertentu untuk menggambarkan sumber bunyi yang ditimbulkan dari suatu benda. Misalnya kata “ngaburusut” untuk menggambarkan sesuatu yang tumpah dalam jumlah banyak ketika barang sedang dipegang. Contoh lainnya “ngabelentrang” untuk menggambarkan bunyi benda keras biasanya dari logam yang jatuh sehingga menimbulkan bunyi ngabelentrang.

Ketika petugas dari Ke-RW-an yang biasanya diwakili ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) berkeliling dari rumah ke rumah untuk menghimpun Beas Perelek, pada saat yang punya rumah menyerahkan berasnya sekepalan tangan atau satu takaran gelas lalu dimasukan ke wadah yang dibawa petugas menimbulkan bunyi “perelek”. Sehingga disebutlah tradisi tersebut dengan istilah Beas Perelek.

Beas Perelek bersifat sukarela dan tidak memaksa. Jumlahnya pun tidak memberatkan karena hanya beras sebanyak genggaman tangan si pemberi sumbangan atau satu gelas. Beras yang terkumpul kemudian dihimpun dan dibagikan kepada warga masyarakat di sekitar yang kurang beruntung secara ekonomi. Biasanya keluarga prasejahtera, anak yatim piatu, atau janda jompo.

Di masa pandemi covid 19 tradisi Beas Perelek terbukti ampuh menyelesaikan permasalahan sosial kebutuhan pangan masyarakat Jawa Barat yang tidak mampu. Di tengah sulitnya ekonomi masyarakat akibat pandemi dan kebijakan PPKM tradisi Beas Perelek hadir menjadi solusi kebutuhan makanan pokok warga masyarakat Jawa Barat yang membutuhkan.

Dari kegiatan Beas Perelek, saya coba asumsikan satu rumah warga atau kepala keluarga (KK) menyumbangkan satu gelas beras. Apabila 1 kilogram (kg) beras terdiri dari 5 gelas beras, Maka dari 5 KK saja sudah bisa terkumpul 1 kg beras.

Umumnya dalam 1 Rukun Warga (RW) terdiri dari maksimal 10 Rukun Tetangga (RT) dan dalam 1 RT terdapat maksimal 50 KK. Jadi dalam 1 RW bisa diestimasikan terdapat 500 KK. Jika dari 500 KK kita anggap 70% (350 KK) masuk kategori ekonomi mampu dan berpartisipasi dalam kegiatan Beas Perelek setiap bulan maka dipastikan dalam 1 bulan 1 RW bisa mengumpulkan 70 kg beras per bulan atau 840 kg per tahun. Kemudian dari 70 kg beras yang terkumpul maka 150 KK yang masuk kategori ekonomi tidak mampu bisa mendapatkan bantuan beras sebanyak 2,14 kg per kepala keluarga per bulan.

Falsafah Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh Orang Sunda

Konsep Beas Perelek dari tradisi orang Sunda di Jawa Barat menyimpan filosofi dan kedalaman kearifan lokal yang mengajarkan hidup silih bantu jeung silih tulungan kucara udunan (saling bantu dan saling menolong dengan cara urunan/patungan) atau dalam istilah kekinian sering disebut crowdfunding. Hal tersebut tidak bisa lepas dari falsafah hidup orang Sunda yang menganut prinsip Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh.

Silih Asah artinya saling mendukung atau saling melatih kepada sesama. Prinsip ini mengajarkan orang Sunda untuk saling mendukung dalam mengasah kemampuan atau keilmuan satu sama lain. Sifat ini menjadikan watak orang Sunda sebagai orang yang mudah berbagi ilmu dan keterampilan.

Silih Asih artinya saling mengasihi atau saling menolong. Tradisi Beas Perelek dengan sangat jelas tergambar dari falsafah ini. Dalam diri orang Sunda harus ada sifat mengasihi kepada sesama. Saling menolong kepada orang yang membutuhkan pertolongan. Sedangkan Silih Asuh artinya saling menjaga atau saling melindungi dan mengayomi. Dalam tatanan hidup bermasyarakat antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Konsep silih asuh dalam falsafah hidup orang Sunda mengandung arti mendalam untuk saling memelihara hubungan antar manusia di masyarakat.

Pemilihan kata Silih dalam konsep Silih Asah, Silih Asah, dan Silih Asuh menjadikan setiap warga dalam posisi yang setara (egaliter). Konsep saling mengasihi dan menolong dengan cara udunan (urunan) dalam kegiatan Beas Perelek menjadikan setiap masyarakat bisa memposisikan diri mereka sebagai pemberi atau bisa juga sebagai penerima. Dalam suatu waktu mungkin saja ada warga yang berada di posisi penerima sumbangan beras karena kondisi ekonominya. Tapi dikemudian hari ketika status dan kemampuan ekonominya membaik, warga tersebut bisa menjadi pemberi sumbangan beras dalam praktik Beas Perelek. Konsep Silih (Saling) memberikan setiap warga kesempatan yang sama dalam berbuat kebaikan dengan cara urunan.

Beas Perelek di Era Digital

Dengan kemasan program kekinian di era teknologi dan digital, Beas Perelek dari tradisi orang Sunda ke depan bisa menjadi program fundamental SDGs yang sejalan dengan tujuan kedua SDGs yaitu “Tanpa Kelaparan” (No Hunger). Dalam perkembangannya, praktik Beas Perelek tidak selalu mensyaratkan sumbangan dalam bentuk beras saja. Apabila warga tidak memiliki stok beras di rumahnya, maka warga bisa mengganti beras dengan sejumlah uang yang telah disepakati atau seikhlasnya. Dengan asumsi 1 kg beras sama dengan 5 gelas sumbangan beras maka jika harga 1 kg beras harganya Rp12.000,- (dua belas ribu rupiah) artinya 1 gelas beras bisa dikonversi menjadi uang senilai Rp2.400,- (dua ribu empat ratus rupiah) per KK.

Di era meningkatnya transaksi digital dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, e-money atau e-wallet bisa menjadi alternatif alat pembayaran sumbangan Beas Perelek baik itu OVO, Go Pay, Shopee Pay, Dana, dan lain sebagainya. Semakin banyak metode pembayaran, maka semakin besar juga peluang program Beas Perelek dalam meningkatkan angka partisipasi warga.

Adanya pandemi covid 19 tentunya memberikan batasan bagi petugas Beas Perelek dalam menghimpun sumbangan beras dari warga secara door to door dari rumah ke rumah. Dengan adanya fasilitas subtitusi metode pembayaran diharapkan program Beas Perelek bisa tetap berjalan menyesuaikan dengan zaman tanpa kehilangan esensi programnya yaitu pengumpulan bantuan beras untuk mengatasi permasalahan krisis kebutuhan pangan.

Tidak semua orang mampu bertahan dengan gempuran pandemi covid 19 dalam dua tahun terakhir. Banyak kelompok usaha gulung tikar dan orang kehilangan pekerjaan serta kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun bantuan sosial pemerintah sudah berjalan, tapi tetap saja harus ada sebuah gerakan alternatif yang lahir dari kepedulian masyarakat itu sendiri. Sebuah gerakan yang mampu mengantisipasi krisis dan turut membantu pemerintah dalam bersinergi menyelesaikan permasalahan sosial kemanusiaan sebagaimana tergambar dalam tradisi Beas Perelek orang Sunda di Jawa Barat.

Satu RW, Satu ATM Beas Perelek

Untuk tertib penyaluran bantuan Beas Perelek diperlukan satu inovasi alat penyaluran bantuan yaitu dengan pembuatan Satu RW, Satu ATM Beras. Pembuatan ATM Beas Perelek memungkinkan pemberi maupun penerima setoran Beas Perelek bisa melakukan transaksi Beas Perelek secara mandiri. Fasilitas pembayaran digital di setiap ATM Beas Perelek seperti scan barcode Qris untuk mobile banking atau scan barcode Go Pay, OVO, dan sebagainya dibutuhkan sebagai support system ATM Beas Perelek digital.

Agar penerima Beas Perelek tepat sasaran, setiap keluarga yang berhak menerima bantuan Beas Perelek bisa diberikan kartu penerima bantuan. Kartu bisa juga diintegrasikan dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) terbitan Kementerian Sosial yang berfungsi sebagai instrumen penyaluran bantuan sosial pemerintah bagi keluarga atau rumah tangga yang kurang mampu.

Tradisi kearifan lokal Beas Perelek orang Sunda di Jawa Barat telah berlangsung lama dalam berkontribusi menyelesaikan permasalahan sosial di masyarakat secara turun temurun. Di beberapa daerah mungkin saja tradisi ini ada yang masih berjalan bisa juga ada yang sudah tidak berjalan. Padahal, kita telah melihat betapa tradisi ini menyimpan potensi manfaat yang sangat luar biasa dalam mengatasi permasalahan kebutuhan pangan di masyarakat.

Sebagai sebuah tradisi kearifan lokal yang telah lama hidup dan dipraktikan rasanya tidak akan sulit jika kemudian setiap entitas masyarakat mengajak kembali orang-orang yang mulai melupakan tradisi ini untuk kembali menghidupkan tradisi Beas Perelek di setiap daerahnya.

Pemaknaan mendalam tradisi Beas Perelek dalam falsafah silih asah, silih asih, dan silih asuh orang Sunda diharapkan mampu membawa kehidupan masyarakat kepada tingkat peradaban yang maju dan sejahtera. Melalui program Beas Perelek dalam skala besar (nasional ataupun global) jalan SDGs untuk menciptakan dunia tanpa kelaparan (No Hunger) di tahun 2030 hanya tinggal masalah waktu saja. Inovasi dan digitalisasi program Beas Perelek tentu diperlukan tanpa menghilangkan esensi tujuan program dan tradisi yang ada.

Melalui partisipasi dan kerja sama masyarakat serta pemerintahan pada level terkecil di tingkat RT/RW sampai dengan Kelurahan dan Kecamatan. Lalu, kemudian melalui pemerintahan level kabupaten/kota hingga provinsi diintegrasikan dengan program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) Kementerian Sosial program Beas Perelek dari tradisi orang Sunda di Jawa Barat adalah salah satu jawaban dan jalan bagi SDGs dalam mewujudkan dunia tanpa kelaparan (No Hunger) melalui pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image