Kekhawatiran Warga Eropa Jika Perang Rusia vs Ukraina Terus Berlanjut
Politik | 2022-03-24 14:27:58Tak terasa hingga hari ini konflik bersenjata antara dua negara bertetangga di Eropa Timur, yakni Rusia dan Ukraina masih berlangsung. Sejatinya keduanya memiliki hubungan historis dan sosiologis di masa lalu hingga akhirnya berpisah setelah runtuhnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991. Perang yang terjadi saat ini adalah komplikasi gejolak politik yang terjadi sejak lama dan menemukan titik nadir yang dimulai dengan pengerahan ribuan pasukan Rusia ke wilayah territorial Ukraina 24 Februari 2022 lalu.
Mengutip Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan, pada dasarnya kehidupan manusia adalah “solitary, poor, nasty, butish and short.” Tanpa ada hukum yang mengatur kontrak sosial antar masyarakat untuk saling hidup berdampingan satu sama lain, maka sifat egois dan jahat akan merusak stabilitas kehidupan. Bahkan dalam kitab suci Al-Quran dikisahkan tragedi pembunuhan manusia pertama di dunia yang pelaku dan korbannya adalah anak Nabi Adam. Dalam Tarikh Al-Rusul wa al-Muluk, Ibnu Jarir al-Thabari menerangkan Habil dibunuh kakak kandungnya sendiri, Qabil. Konflik keduanya bermula dari tertolaknya kurban Qabil dan diterimanya kurban Habil sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan yang juga dibumbui dengan kecemburuan tentang keputusan calon istri masing-masing. Artinya, manusia cenderung bertengkar jika tidak ada ada “rule of law” diantara mereka. Kasus perang Rusia versus Ukraina adalah bukti bahwa, meskipun ada Piagam PBB dan nilai dasar akan perdamaian antar negara, para elit lebih senang menyelesaikan amarahnya dengan mengangkat senjata tanpa mempertimbangkan efek buruk bagi rakyatnya.
Dampak buruk perang bukan hanya dirasakan oleh warga Ukraina sebagai pusat ajang adu senjata dan strategi militer, atau warga Rusia yang mulai terisolasi dunia akibat sanksi ekonomi yang diberikan NATO dan sekutunya. Namun, warga benua Eropa pun merasakan kekhawatiran hingga kesulitan jika perseteruan senjata berkepanjangan.
Sebagian besar negara-negara Uni Eropa membutuhkan sumber energi dari Rusia. Misalnya, Jerman mengimpor 55 persen gas alam, 35 persen minyak bumi, dan 50 persen batu bara sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Ekonomi Jerman Roberth Habeck. Dengan tegas, Kanselir Jerman Olaf Scholz, menentang seruan yang melarang impor migas dari Rusia sebagai bagian dari sanksi Barat terhadap Moskow. Begitu juga Hongaria sebagai salah satu anggota Uni Eropa dan NATO. Sejumlah 64 persen impor minyak mentah Hongaria berasal dari Rusia serta 85 persen konsumsi gas Hongaria adalah impor Rusia. Secara tegas, Perdana Menteri Viktor Orbán atas nama pemerintah Hongaria mengutuk intervensi militer Rusia dengan mendukung upaya Uni Eropa dan NATO untuk membawa perdamaian. Namun, pemerintah tidak akan membiarkan harga perang dibayarkan kepada keluarga Hongaria dengan memberikan sanksi energi kepada Rusia.
Saat ini Rusia dalam posisi terdesak akibat upayanya menguasai Ukraina stagnan meskipun sudah hampir sebulan menyerang. Kecaman dunia internasional dan sanksi ekonomi yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya dapat mendorong Presiden Vladimir Putin dapat berbuat nekat dengan menyetop penjualan gas ke Uni Eropa. Hal ini mengancam banyak negara Eropa akan menjadi gelap gulita dan kacau akibatnya kekurangan pasokan energi. Meskipun beberapa pemimpin Eropa sudah menjajaki kerjasama dengan Qatar dan Uni Emirat Arab, tetapi jarak tempuh yang jauh menimbulkan persoalan tersendiri dan mungkin tidak dapat dieksekusi dengan cepat.
Lebih lanjut lagi, Ukraina adalah negara produsen produk pertanian di Eropa. Tanaman serealia dan polong-polongan menjadi produksi tertinggi dengan jumlah 85,68 juta ton pada 2021. Lalu kentang yang sebesar 21,35 juta ton. Kemudian, produksi biji bunga matahari sebanyak 16,38 juta ton, bit gula 10,8 juta ton, dan sayuran 9,93 juta ton. Krisis yang saat ini terjadi di Ukraina akibat penyerangan Rusia dikhawatirkan akan mengganggu pasokan pangan global, wabil khusus Eropa.
Sektor usaha dan konsumsi rumah tangga akan mengalami kontraksi akibat terganggunya pasokan impor pangan Ukrainia. Sebagai contoh, mayoritas penduduk Eropa menggunakan minyak goreng yang berasal dari biji bunga matahari. Ukraina adalah penyumbang tujuh belas persen pasokan minyak nabati di dunia yang banyak diekspor ke negara-negara Eropa. Serangan militer tentu menggangu aktivitas pertanian Ukraina bahkan mengentikannya sama sekali. Kelangkaan yang mendorong inflasi harga menyebabkan kekhawatiran hampir seluruh warga Eropa.
Akhirul kalam, perang telah menyulitkan banyak manusia termasuk stabilitas ekonomi rumah tangga penduduk Benua Biru. Apakah pantas warga sipil yang tak terlibat apa pun dalam konflik harus membayar harga perang Rusia versus Ukraina? Semoga kedua negara tersebut segera berdamai dan menemukan titik temu yang mencapai kemaslahatan semua pihak.
Penulis adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Deák Ferenc Doctoral School in Law and Political Sciences, University of Miskolc, Hungary dengan beasiswa Stipendium Hungaricum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.