Ki Marhali Tokoh dan Pejuang Silat Besi Dadap
Sejarah | 2022-03-19 10:34:15Tujuh puluh enam tahun Indonesia merdeka menyisakan berbagai kisah dan peristiwa. Kisah pencak silat turut andil dalam perjuangan dan pergerakan kemerdekaan tercatat dalam sejarah. Pada masa kolonial Belanda, Kota Batavia dan sekitarnya menjadi arena pertempuran yang dikenal sepanjang masa.
Silat Besi asal Betawi yang berkembang di daerah Dadap, Tangerang yang pada masa Kolonial Belanda masuk dalam Karesidenan Batavia menjadi salah satu media perjuangan masyarakat setempat melawan penjajahan. Tidak sembarangan masyarakat yang mau belajar silat, sebab pada masa itu orang yang berkecimpung dalam dunia silat akan dicurigai dan selalu diawasi oleh penjajah. Oleh karenanya proses latihan pun dilakukan pada malam hari dan sembunyi-sembunyi.
Ki Marhali atau dikenal juga Ki Murhali yang biasa disapa warga Kampung Dadap adalah tokoh yang berperan besar dalam perkembangan Silat Besi. Sosok Marhali dikenal sebagai pembangkit kesadaran masyarakat atas kesewenang-wenangan penjajah Belanda pada masanya sekitar abad 19 akhir sampai dengan masa kemerdekaan. Ki Marhali mendapatkan ilmu bela dirinya dari seorang warga Tionghoa yang menetap di Kampungnya. Menurut Ibnu, juru kunci makam Ki Marhali sekaligus cicit Ki Marhali didampingi juga Wawan, cucu Ki Marhali ketika ditemui di kediamannya Blendung, Kota Tangerang, Banten, mengatakan bahwa Ki Marhali (kakeknya) adalah orang asli Kampung Dadap dan satu-satunya murid pribumi dari Lie Tjeng Ok, guru silat Bhesie (Besi).
Kisah Ki Marhali belajar ilmu bela diri kepada Lie Tjeng Ok bermula ketika Bapak Marhali (ayahnya) yang bernama Sainan bersengketa lahan garapan dengan lahan garapan keluarga Lie Tjeng Ok. Perselisihan sengketa tersebut kemudian disepakati dengan beradu tanding (adu kekuatan jurus silat) dan kedua pihak setuju bahwa jika nanti ada yang kalah maka dia harus belajar kepada yang menang.
Pada waktu itu, Bapak Marhali alias Sainan telah memiliki jurus silat. Adapun Lie Tjeng Ok juga sama memiliki jurus silat yang khas dengan budaya aslinya Tionghoa dengan kombinasi jurus yang dipelajarinya dari Tajidan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Lie Tjeng Ok ahli bela diri kuntao. Sekilas mengenai Tajidan, menurut Ibnu dari keterangan Lie Djie Tong, anak kandung dari Lie Tjeng Ok dikatakan bahwa Tajidan (kalangan silat Besi dan Beksi mengenalnya Ki Jidan) merupakan seorang pengelana sekaligus pendakwah dari Cirebon yang mahir dalam bela diri kemudian singgah di Kampung Dadap karena rehat dalam perjalanan mengembaranya.
Bersambung pada kisah Bapak Marhali alias Sainan yang beradu jurus dengan Lie Tjeng Ok. Pada saat itu, Sainan terjatuh beberapa kali dan mengakui kekalahannya. Berkat kebesaran jiwanya, ia siap belajar kepada Lie Tjeng Ok. Namun karena kondisi usia yang sudah sangat tua, kurang fit dan energik, tidak memungkinkannya untuk belajar dari awal sehingga diutuslah anaknya Marhali atau Murhali yang kemudian belajar kepada Lie Tjeng Ok sebagai jaminannya.
Ketekunan Marhali belajar silat mengantarkannya pada kepercayaannya (pengakuan) Lie Tjeng Ok dan dinyatakan lulus dalam belajarnya meskipun tidak secara formal. Marhali yang sudah menjadi ahli bela diri kian percaya diri akan kemampuannya yang dimiliki. Meski demikian, Marhali tidak sombong karena didikan agama (Islam) ayahnya Sainan. Ki Marhali yang disebut kemudian dikenal sebagai orang yang taat dalam beragama sehingga ketika situasi zaman pada saat itu yang carut marut akan penjajahan pun menambah giroh Ki Marhali untuk menegakkan kebenaran dan keadilan pada masyarakat sekitar kampungnya.
Ilmu silat dan agama menjadi bekal dirinya dalam menebarkan kebaikan dan kemaslahatan umat. Ketika itulah Ki Marhali mengajarkan ilmu bela diri berlandaskan keyakinan agamanya (Islam) kepada masyarakat sekitar kampungnya. Terbukti ia memulainya dengan beberapa orang murid sampai akhirnya berkembang pesat jumlah muridnya. Bahkan, seorang muridnya adalah Godjalih yang usianya lebih tua darinya, seorang warga Kampung Petukangan yang jaraknya cukup jauh dan memakan waktu. Jika diukur saat ini, dengan menaiki kendaraan motor roda dua butuh waktu kurang lebih satu jam dari Kampung Petukangan ke Kampung Dadap, Tangerang. Bisa dibayangkan jika perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki atau menaiki kuda. Godjalih yang selanjutnya dikenal H. Godjalih mengembangkan silat Besi menjadi Beksi di Kampung Petukangan dan menjadi media perjuangan pergerakan rakyat.
Ki Marhali yang semakin beranjak menua justru semakin kuat dalam tekadnya untuk membantu masyarakat kecil melawan penindasan kolonial. Dalam beberapa peristiwa ia seringkali diburu sejumlah pasukan tentara kolonial yang mendatangi rumahnya namun tidak pernah ditemukan dan berakhir sia-sia. Padahal jelas-jelas ia sedang duduk bersantai di halaman depan rumahnya. Pencarian dan penyisiran yang seringkali dilakukan oleh sejumlah pasukan tentara kolonial memaksanya untuk berstrategi secara gerilya. Ki Marhali melakukan taktik nomaden (berpindah-pindah) tempat dari satu kampung ke kampung lainnya.
Ketika berusia sekitar 45 tahun ia singgah di Kampung Belendung, Batu Ceper, saat ini masuk dalam wilayah administrasi Kota Tangerang. Persinggahannya bukan semata-mata untuk menghindari pasukan tentara kolonial tetapi sekaligus menuntut ilmu dari seorang guru (ulama) tersohor di Kampung Blendung yang bernama KH. Mursan. Berkat keilmuan, kedekatan dan kesalehan Ki Marhali dengan sang kyai menuntunnya menikahi seorang perempuan yang masih sedarah (ikatan saudara) dengan KH. Mursan.
Di kampung inilah dirinya semakin mengembangkan ilmu bela dirinya dan semakin mempererat hubungannya dengan H. Godjalih, pejuang dari Kampung Petukangan untuk mengembangkan sayap-sayap perjuangan rakyat. Tercatat dalam sejarah Hadji Godjalih mengembangkan bela diri Ki Marhali yang bernama Besi dengan penamaan barunya dan lebih dikenal luas sampai sekarang yaitu Beksi bahkan telah disahkan menjadi Warisan Budaya Tak benda Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ki Marhali sampai akhir hayatnya dikenal sebagai pejuang dan tokoh silat Besi. Ia dikenal sebagai "jawara ngumpet" alias jawara yang tidak pernah mau menunjukkan sifat kejawaraan dan jagonya. Beliau dalam perjuangannya dikenal sebagai penjual sirih dari kampung ke kampung. Ciri lain Ki Marhali adalah badannya yang cukup tinggi dan kekar sehingga jika ia menghentakkan kakinya ke tanah maka tanah seolah bergetar yang dirasakan lawannya. Selain itu adalah cengkramannya yang menyasar pada kuping lawan dan sulit dilepaskan sehingga banyak lawan kesakitan dan takluk dihadapannya.
Kini, makamnya berada di area pemakaman keluarga di Jl. Darussalam, Kelurahan Belendung, Kecamatan Benda, Kota Tangerang. Banyak peziarah datang dari berbagai daerah terutama dari kalangan pesilat. Ki Marhali jasamu terkenang dalam kening setiap orang sampai mati.
Sumber: Wawancara langsung dengan Bang Ibnu dan Bang Wawan, selaku cucu dan cicit dari Ki Marhali di kediamannya pada 21 Agustus 2021.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.