Mengejar Sertifikasi, Mengabaikan Murid
Eduaksi | 2022-03-16 23:35:56Jika ingin pendidikan disebuah negara maju dan berkembang , maka sejahterakanlah gurunya. Posisikan mereka secara terhormat. Bekali dengan beragam kompetensi yang dengan itu mereka mampu mengembangkan potensi murid-muridnya secara maksinal.
Berbicara tentang kesejahteraan guru, tidak lengkap rasanya jika kita tidak memasukkan kebijakan pemberian Tunjangan Fungsional Guru (TPG) atau yang lebih lazim disebut sertifikasi sebagai salah satu langkah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan ini memang diimpikan semua guru, negeri atau swasta. Pengumumannya ditunggu setiap saat, kapan cairnya terlebih selalu menjadi bahan pembicaraan dikalangan guru. Keresahan akan terlihat ketika bulan sudah berlalu namun sertifikasi belum juga cair padahal pos pengeluaran sudah dibuat. Sertifikasi intinya menjadi idaman semua guru. Jika sudah mendapatkannya maka seolah semua aman.
Kebijakan sertifikasi itu sendiri sejauh ini telah mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu. Pada awalnya guru yang akan disertifikasi sesuai dengan namanya memang harus mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya. Semakin banyak semakin besar peluang untuk lulus dan mendapatkan tunjangan. Tidak heran bila kemudian banyak guru yang latah mengikuti seminar ini dan itu yang tujuannya untuk medapatkan setifikat. Bahkan tidak jarang pula mereka sengaja membayar untuk mendapatkan sertifikat tersebut walaupun sama sekali tidak mengikuti kegiatannya. Kebisaan mengikuti seminar atau webinar akhir-akhir ini, berlanjut sampai sekarang. Dan pertanyaan yang lazim diajukan adalah panitia menyediakan sertifikat. Jika seorang guru lulus dengan sertifikat yang dikumpulkannya maka ia berhak mendapatkan tunjangan, jika belum lulus maka wajib masuk diklat selama 1 bulan. Syukurnya ketika itu seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah.
Seiring berjalannya waktu kebijakan pemberian TPG berubah mulai dari cara perekrutan hingga pelaksanaannya yang berbayar. Terakhir sempat diisukan, entah benar entah tidak, guru yang tidak lulus pembelajaran selama pelaksanaan PPG, nama teranyar dari guru yang ingin disertifikasi, maka ia boleh mengulang dengan membayar sekian, sekian. Tidak juga lulus bayar lagi sekian, sekian sampai akhirnya lulus. Jika informasi ini benar maka pelaksanaan PPG ini sepertinya telah menjadi proyek baru bagi segelintir orang. Namun demikian guru yang ingin lulus nampaknya akan bersedia membayar berapapun asal lulus karena ia sudah membayangkan akan menerima tunjangan rutin setiap bulan yang jumlahnya sebesar gaji pokok.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejateraan guru melalui pemberian sertifikasi nampaknya belum sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan tersebut justru mematik keinginan guru untuk semata mengejar sertifikasi tanpa meningkatkan kualitas dan kompetensi mengajarnya. Banyak malah guru yang sebetulnya tidak layak menerima sertifikasi namun karena ia sudah cukup lama mengabdi namanya tercantum juga sebagai calon penerima tunjangan. Bisa dibayangkan jika semakin banyak guru yang seperti ini, maka adalah seseuatu yang sia-sia uang rakyat dikeluarkan untuk membayar guru yang sebetulnya tidak layak menerimanya.
Tahun 2022 ini jumlah calon perserta ditambah jumlahnya oleh pemerintah mencapai 1 juta lebih. Untuk menjaring itu hampir semua guru yang mendaftar ditahap pertama diluluskan. Bejibunnya kuota tahun ini memacu semangat guru untuk ikut. Sayangnya banyak yang melakukan semua itu dengan mengabaikan kewajibannya mengajar. Sibuk melengkapi bahan ini dan itu, anak-anak ditinggal dengan catatan dan tugas. Kemajuan seperti apa yang akan didapat jika sudah begini? Padahal slogannya adalah pembelajaran yang berpihak pada murid.
Sebenarnya berita bagus jika pemerintah meningkatkan terus setiap tahun jumlah penerima sertiikasi. Namun akan lebih baik jika kebijakan tersebut diikuti oleh evaluasi terhadap guru-guru yang telah disertifikasi. Lain halnya jika kebijakan ini hanya untuk sekedar menghabiskan dana triliunan yang dianggarkan APBN untuk sektor pendidikan. Wallahualam..
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.