Sepi Rebutan Evaluasi Pendidikan dan Jasa Pendidikan
Eduaksi | 2024-11-02 19:48:47Retizen Republika - Pendidikan adalah pola dan proses yang penting untuk dilalui bahkan bersifat wajib untuk dijalani karena memiliki fungsi pengembangan dan peningkatan. Mengapa demikian? karena pada dasarnya manusia senantiasa belajar serta berupaya menganalisis setiap perjalanan hidupnya. Dalam terminologi Islam dikenal dengan pola iqra' yang sebagian cendekiawan menginterpretasikan melalui berbagai sudut pandang.
Penjelasan dari KH. Miftachul Akhyar agaknya penting untuk dibaca kembali mengenai kalimat Iqra' yang menurutnya tidak hanya terpaku pada makna tekstual semata; membaca. Tetapi juga terkait membaca tanda-tanda alam semesta (kauniyah). Pada perspektif ini secara umum dapat bermakna sosiologis dan antropologis. Manusia di satu sisi sebagai makhluk pun juga memiliki perananan alam semesta kecil di sisi yang lain, mikrokosmos (jagad cilik). Yang artinya ada kesinambungan semesta sebagai keluasan cakrawala dan komunikasi baik vertikal maupun horizontalnya.
Sehingga, untuk mencapai kesadaran dan kasunyatan tersebut perlu membangun kesadaran tentang pentingnya ilmu pengetahuan, dalam konteks ini pendidikan. Membaca bukan semata mampu membedakan huruf-huruf, menghitung angka dan meramu kalimat. Tetapi juga melatih kepekaan dan kedalaman berpikir yang pasti melalui proses pembacaan dari berbagai indera yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Dalam Serat Wulangreh dijelaskan bahwa; "Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita."
"Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira."
Bahwa dalam menjalani urip atau hidup perlu adanya kepekaan dan kedalaman berpikir yang dibangun, piranti utamanya adalah bahasa, yang dari bahasa itulah muncul pitutur, unen-unen, bahkan terbahasakannya gagasan serta uneg-uneg juga melalui bahasa. Oleh karena itu perlu mapan ewuh yen ora weruha (belajarlah jika memang tidak tahu). Pada konteks ini, pendidikan dengan prinsip membangun menjadi penting untuk dimunculkan kembali visi utamanya.
Pendidikan bukan semata meraih naik kelas, tingkat atau lulus S1 sampai S3, tetapi membangun perilaku dan perngejawantahan nilai-nilai itu sendiri. Baik dari pengetahuan kitab suci, pengetahuan sosial, sejarah dan pengetahuan tutur yang diajar-ajerkan di dalam kelas atau komunitas masyarakat. Jika pendidikan menjadi wadah untuk membangun manusia sebagai alam semesta yang perlu menampung segala macam rupa gagasan dan pengetahuan maka pendidikan tentu akan salah kaprah jika diperlakukan sepintas jasa. Jasa penitipan anak, jasa penerbitan sertifikat yang bernama ijazah, atau jasa pemulusan sertifikasi dan lain sebagainya.
Prinsip ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsha, tut wuri handayani hari ini semakin tak terlihat sebagai prinsip filosofis pendidikan; hubungan guru dan murid. Kalau serat wulangreh menegaskan agar mencari guru yang memiliki pengetahuan luas, tidak memiliki orientasi dunia dan jabatan, serta mendekati kondisi zuhud, tentu bukan tanpa alasan. Karena guru itu ketika di depan ia menjadi contoh, dan menjadi madya bagi para murid untuk membangun mental, moral dan merangkai ketegasan untuk memunculkan rasa tanggung jawab. Artinya, moral menjadi pendidikan utama baik bagi guru itu sendiri, pun murid secara khusus. Sedang pada praktiknya hari ini justru berbanding terbalik. Murid "dianggap" objek pembelajarannya, sedangkan guru justru "dianggap" pemegang otoritatif. Atau sebaliknya, Murid memiliki hak yang harus dipenuhi karena sudah menyelesaikan administrasinya terhadap lembaga untuk kepentingan peningkatan kapasitasnya, sedangkan guru adalah penyedia jasa itu.
Anggapan-anggapan ini muncul karena sistem yang kerap berubah-ubah. Kalimat Iqra' yang kerap dijadikan pembahasan akademis di meja-meja para akademisi dan elitnya perguruan tinggi, justru berbanding terbalik dengan kondisi dampak sistemik pendidikan di bawah. Kalau dulu, murid dan guru selalu waswas ketika menghadapi ujian akhir, karena tidak ada dispensasi nilai atau dispensasi keharusan lulus atau tinggal kelas. Sehingga "belajar" menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Lantas kini mengapa kog banyak toleransi dan dispensasi kelulusan yang membuat bapak/ibu guru sebagai pelayan pendidikan memutar otar untuk mengurus nilai yang akan dicantumkan dalam buku rapornya. Ibarat kata, ditinggal tiduran saja pasti lulus kog, ngapain sulit-sulit belajar. Pada level ini seharusnya monggo sama-sama fastabiqul khairat dengan berebut evaluasi, bukan saling menyalahkan ini dan itu. Karena memang sistem pendidikannya yang kurang disesuaikan dengan kondisi sosial saat ini. Kebutuhan utamanya tidak dipikirkan semesetinya, lebih-lebih jika orientasinya kerja, maka lembaga pendidikan tidak ubahnya seperti penyalur jasa saja.
Sedangkan lembaga pendidikan memiliki fungsi yang jauh dari pada hanya menyiapkan lulusan yang siap kerja. Seperti membangun mental, kesadaran untuk bersikap jujur, bertanggung jawab dan mandiri. Yang kemudian menggelitik adalah ketika sampai terjadi saling lapor antara guru dan wali murid, atau sebaliknya. Sehingga yang perlu dibahas bukan siapa yang salah, tapi monggo sami mapan ewuh yen ora weruha, ayo sama-sama untuk saling belajar mengevaluasi. Karena dengan begitu akan muncul kesadaran tentang arah dan gerak kedepan, bukan stagnan pada "ini salah, itu salah, ini benar dan itu benar".
Inklusifitas berpikir dan bertindak perlu dibangun kembali sebagai bentuk kesadaran musyawarah untuk mufakat. Bukan hanya atas kepentingan ini dan itu. Kemapakan kelompok sana atau kelompok sini. Semoga dengan kesadaran untuk berebut evaluasi, justru melahirkan keluasan berpikir atas pentingnya pendidikan dan makan substansi pendidikan itu sendiri. Sehingga terbangun sinergi antara guru, murid dan orang tua, sepeti halnya hubungan sosial yang saling memberi manfaat antar satu dengan lainnya.[]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.