Relawan Senja
Sastra | 2022-03-16 14:47:23Aku sangat bersyukur sudah diijikan pulang setelah koma selama dua bulan. Usai kepalaku terbentur batu ketika mobil putih itu menabrak motorku sehari setelah wisudaku di jurusan Arsitektur. Dugaanku benar, awalnya aku curiga kenapa perawat-perawat memakai baju serba putih itu.
“Terima kasih Sus, sudah merawat saya selama ini,” ucapku
“Sebelum keluar dari kamar ini, tolong maskernya dipakai dulu ya,” ucapnya dengan suara lirih, suaranya teredam oleh masker yang ia kenakan.
Mereka tak memberi tahuku. Dunia yang kulihat saat sebelum koma berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan sekarang. Jalanan Kota Metropolitan ini sekarang nampak sepi, tidak ada macet-macet lagi. Udara bersih. Semua orang menggunakan masker. Mal-mal sudah tutup. Sekolah dan Kampus sepi. Kabarnya pemerintah memberlakukan pembelajaran daring. Agak panik, kucari namaku di web kampus “Arya Pradana” ternyata aku bener-benar dinyatakan telah lulus.
Sebelum koma, aku tahu virus itu terjadi di Wuhan, China. Tapi tak kusangka kini menyebar dan menjadi pendemi di seluruh dunia, juga menjadi kabut pekat di bumi pertiwiku ini. Virus yang dulu kuketahui hanya puluhan ribu menginfeksi orang kini sudah jutaan.
***
Setiap orang memiliki alasan dan cara masing-masing menjadi pahlawan. Caraku ialah ingin membantu tenaga medis yang sudah merawatku. Sehari setelah diterimanya aku sebagai relawan corona dan bertugas di rumah sakit rujukan ini, aku mengenal beberapa relawan, ada puluhan. Tapi yang akrab dan kami tidur di ruang yang sama ialah Pak Prabto dan Faqih.
Pak Prabto merupakan seorang asli perawat yang sudah mengabdi pada bidang kesehatan selama 15 tahun. Ia jauh-jauh dari daerah Jember, Jawa Timur ke Jakarta meninggalkan istri dan 2 buah hatinya yang masih kecil. Awalnya aku heran dengan orang ini apa motivasinya menjadi relawan. Saat kutanya, ia bilang bahwa alasannya cukup sederhana karena ia ingin bersama-sana tenaga kesehatan lain memerangi virus ini. Pak Prabto cukup energik, meskipun usinya hampir mendekati kepala empat.
Satu orang lagi bernama Faqih, mahasiswa semester 6 jurusan Ekonomi dari kampus Yogyakarta. Jika dilihat dari barang-barangnya ia dari kalangan berada. Meskipun usianya masih sangat muda, ia nampak lebih dewasa dan lebih tenang dalam menghadapi situasi. Aku tak pernah melihat anak muda setulus itu dalam melakukan sesuatu sebelumnya.
Aku baru tahu jika Faqih merupakan anak orang penting di daerahnya. Alasan ia menjadi relawan karena dua orang tuanya meninggal gara-gara virus ini. Ia tak punya kakak maupun adik. Ia berkata tak ingin apa yang menimpanya dialami oleh anak-anak di seluruh Indonesia, menjadi yatim piatu.
***
Sudah sebulan rasanya aku menjadi relawan, tapi rasa gerah memakai Alat Pelindung Diri atau biasa disingkat APD ini tetap tidak pernah berkurang. Rasanya seperti berada di Gurun Sahara, meskipun di dalam ruangan ber-AC 16 derajat sekalipun. Menahan makan dan minum serta buang air kecil dan besar selama delapan jam merupakan tantangan yang harus kami lewati. Itu merupakan protokol yang harus kami taati. Karena kami tahu, APD itu terbatas, sekali pakai, dan harganya mahal.
Tak terasa sudah jam delapan malam dan sudah saatnya kami bertiga beristirahat. Tangan-tangan kering, keringat bercucuran, dan mata yang perih setelah membuka APD selalu berulang setiap harinya. Pak Prabto ialah orang yang tidak pernah mengeluh. Menurutnya memakai APD bagian dari ibadah karena berusaha melindungi diri dan menolong orang lain. Kulihat ia di pojok kamar seperti biasa menelfon anak dan istrinya usai bekerja.
Sementara Faqih selalu sibuk dengan smartphone dan laptopnya sembari mengecek tugas kuliah. Meskipun jadi relawan, ia tetap rajin mengikuti kuliah dengan adanya toleransi dari dosennya. Dosen dan teman-teman mahasiswanya sangat mendukung apa yang dilakukan Faqih.
Saat waktu pukul jam setengah sepuluh, tiba-tiba kami mendengar kabar jika ada pasien ingin periksa.
“Pak Prabto di lobi RS ada pasien yang hendak priksa, tapi tak ada orang di sana. Bagaimana ini pak?” ucapku. Pak Prabto masih terdiam.
“Apa kita ke sana saja Pak?” tanya Faqih.
“Baik, hak pasien ialah mendapatkan layanan, kita ke sana saja,”
“Tapi APD tidak tersedia sekarang pak, ini terlalu membahayakan diri kita,”
“Kalian dibelakangku saja, jangan terlalu dekat, biar aku yang memeriksa,” jawab pak Prabto.
Kami pun melangkah ke depan dengan menggunakan pakaian relawan tanpa APD. Karena aku dan Faqih tidak memiliki latar belakang kesehatan, maka tugas kami di sini bersifat umum seperti menyiapkan APD, mengantar obat dan makanan ke pasien, dan membantu persiapan kamar pasien. Pak Prabto-lah orang yang lebih banyak bersinggungan langsung dengan pasien.
Kami pun tida di lobi RS. Dari kejauhan kulihat seorang laki-laki paruh baya yang badannya menggigil, ia nampak demam dengan mata memerah.
“Kalian tunggu di sini ya!” suruh Pak Prabto.
“Baik pak,” jawabku.
Dari kejauhan pak Prabto mencoba menenangkan laki-laki paruh baya itu. Tak ada raut muka panik terpancar dari wajah pak Prabto. Setelah mengobrol kurang lebih satu jam, Pak Prabto kulihat melakukan rapid test kepada si pasien lalu memberinya obat. Ia kemudian menghubungi dokter Mery, ketua tim relawan dan meminta kami mengawasi pasien itu dari jauh.
“Ia hanya demam biasa,” sahut pak Prabto. Kemudian ia pergi.
Lalu kami melihat petugas medis rumah sakit dengan APD lengkap mendatangi pasien itu. Kami pun diminta kembali ke asrama oleh dokter Mery melalui telepon.
Ketika kami kembali, Pak Prabto sudah tidak ada di kamar yang sama dengan kami. Kami kini hanya berdua. Ia WA ke Faqih bahwa ia sudah pindah kamar. Semenjak kejadian itu, kami sudah jarang melihat pak Prabto lagi. WAnya pun sudah tidak aktif.
***
Hari kesepuluh sejak kejadian itu, kami baru tahu bahwa laki-laki paruh baya yang ditemuai pak Prabto itu setelah dilakukann tes Swab ternyata positif virus corona. Itu mungkin alasan pak Prabto pindah kamar. Dan benar, ketika kami mencoba mendekati ruang isolasinya, ternyata pria paruh baya itu diisolasi di dalam ruangan yang sama dengan pak Prabto. Dari kaca jendela pak Prabto tersenyum melihat aku dan Faqih. Ia tidak seperti orang yang sakit, wajahnya ceria. Ia menuliskan di kertas “tetap semangat Arya dan Faqih, saya istirahat sebentar dulu ya”. Faqih dan aku pun menjawab dengan tulisan kertas pula. “Cepat pulih Pak Prabto dengan gambar smile”.
Pak Prabto nampak akrab sekali dengan laki-laki paruh baya itu dan nampak mereka saling support. Padahal, laki-laki paruh baya itu yang tidak jujur sejak awal dan menularkan virus itu ke pak Prabto. Entah terbuat dari apa hati pak Prabto itu. Yang membuatku tercengang lagi ialah cerita dokter Mery. Dokter Mery bilang jika laki-laki paruh baya itu bekerja sebagai sopir angkutan umum yang awal waktu ditanya pak Prabto ia mengaku hanya sakit demam biasa dan ingin meminta obat. Setelah di desak pak Prabto ia mengaku jika memiliki gejala virus corona dan mau di-rapid test.
Yang membuatku kagum ialah Pak Prabto juga memberikan bantuan berupa sembako kepada keluarga laki-laki paruh baya itu. Laki-laki paruh baya itu punya istri dan 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Belakangan diketahui juga bahwa laki-laki paruh baya itu mau diisolasi karena pak Prabto yang memberikan jaminan keluarganya dapat makan selama isolasi itu berlangsung. Sungguh mulia. Ini ibarat air toba dibalas dengan air susu.
“Dokter Mery, gimana kondisi pak Prabto sekarang?” tanyaku.
“Kondisinya naik turun, tapi semoga bisa lekas pulih lagi,” jawabnya.
“Keluarga pak Prabto bagaimana Dok, apa sudah tahu?” tanyaku
“Pak Prabto tidak mengijinkan kami memberi tahu dulu keluargnya,” jawab dokter Mery.
“Sebelum pak Prabto masuk isolasi, ia sudah pamit kepada keluarganya agar tidak menghubunginya dulu,” imbuhnya.
***
Aku benar-benar rindu pak Prabto di asrama. Apalagi Faqih selama ini sering menyendiri dan sering keluar RS tanpa pamit padaku. Aku benar-benar curiga. Ia sering kulihat membawa kardus besar keluar dari RS menggunakan mobilnya. Hampir setiap hari. Ia tak pernah cerita apa yang ia lakukan. Sampai suatu ketika karena aku penasaan sekali. Kuikuti dia dari belakang. Mobilnya masuk ke perkampungan dengan jalan-jalan yang sempit.
Tiba disebuah lokasi terpencil, ia nampak memberikan bingkisan yang terlihat seperti sembako. Ketika kuamati dari jarak 30 meter yang terlihat beras dan mie instan. Ia membagikan kepada warga. Warga nampak senang sekali.
Melihat itu, aku benar-benar malu. Faqih tak pernah menceritakan kebaikannya kepadaku. Lalu kuputuskan kembali ke Rumah Sakit dan tidak menanyai apa-apa terhadapnya. Mungkin dia ingin menolong sesama tanpa diketahui siapa-siapa, tanpa pamrih.
***
Setelah pembagian sembako itu, Faqih nampak kelelahan.
“Faqih, ayuk kita jenguk pak Prabto,” ini sudah hari kedua puluh satu sejak ia dirawat.
“Ayuk,” jawabnya.
Ketika kami tiba di ruang isolasi, pak Prabto sudah tidak ada rupanya. Aku pun langsung inisiatif menelfun dokter Mery. Tapi dokter Mery pun tidak menjawab ke mana perginya pak Prabto. Seperti ada yang disembunyikannya dari kami. Langit pun kini nampah menjingga.
Deskripsi Singkat Penulis
Wildan Pradistya Putra kelahiran Kediri, Jawa Timur merupakan Guru Bahasa Indonesia di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) Malang. Ia sudah menjadi guru sejak delapan tahun yang lalu. Aktif menulis esai, cerpen, dan puisi. Selain mengajar, ia juga aktif membina siswa dalam menulis tulisan fiksi. Beberapa siswa yang dibina berhasil menjuarai kompetisi menulis cerpen tingkat kota/kabupaten hingga nasional.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.