Persepsi Mahasiswa terhadap Perundungan di Lingkungan Pendidikan
Eduaksi | 2025-12-29 18:39:17
Perundungan sering kali tersembunyi di balik dalih "sekadar bercanda", padahal tindakan ini merupakan bentuk tekanan berulang yang merusak mental dan kepercayaan diri serta rasa aman seseorang. Secara psikologis, perundungan bukanlah perilaku tunggal, melainkan hasil interaksi emosi dan lingkungan sosial yang saling mempengaruhi. Berdasarkan teori behavioris, ada hubungan antara stimulus dan respons yang mempengaruhi tindakan pelaku bullying kepada korban. Oleh karena itu, penanganannya memerlukan langkah aktif untuk korban dan juga pelaku.
Langkah nyata ini harus dimulai dari lingkungan institusi, seperti sekolah, melalui sistem pelaporan yang aman dan terbuka. Idealnya, siswa memiliki ruang untuk melapor kepada seseorang yang mereka percayai tanpa rasa takut. Namun, tantangan terbesarnya adalah melawan stigma "cepu" dan kekhawatiran akan aksi balas dendam. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, pihak sekolah harus mampu menciptakan ruang aman bagi siswa. Validasi terhadap perasaan korban dan apresiasi atas keberanian mereka untuk bersuara menjadi langkah awal. Selain itu, sangat penting untuk tidak mempertemukan pelapor atau korban dengan pelaku di waktu yang sama guna melindungi kondisi psikologis korban.
Penanganan yang efektif juga harus berjalan dua arah dengan cara memberikan sanksi tegas (punishment) bagi pelaku sebagai bentuk pertanggungjawaban, serta dukungan pemulihan (reward) bagi korban. Jika pendekatan awal tidak memberikan efek jera, institusi harus berani mengambil tindakan disiplin yang lebih berat guna menjamin keadilan. Ketegasan ini bukan sekadar soal hukuman, melainkan pernyataan sikap bahwa lingkungan pendidikan harus tetap menjadi ruang aman bagi setiap individu.
Dukungan terhadap isu perundungan saat ini juga semakin ramai disuarakan melalui media sosial. Munculnya dukungan publik di media sosial terhadap korban perundungan memiliki sisi positif dalam meningkatkan kesadaran mengenai dampak bullying serta sekaligus memberikan dukungan kepada korban. namun kita harus tahu batas agar dukungan tersebut tidak berubah menjadi pemanfaatan cerita korban demi konten semata. Kita perlu lebih bijak dalam menyebarkan informasi dengan mengutamakan privasi dan kesiapan mental korban. Pada akhirnya, membantu korban perundungan bukan berarti membuatnya semakin terekspos, melainkan memastikan ia kembali mendapatkan ruang amannya tanpa harus menanggung beban trauma baru akibat publikasi yang berlebihan.
Menurut pandangan kami, perundungan tidak akan pernah tuntas jika institusi hanya bersikap reaktif atau menunggu adanya laporan. Kami melihat adanya kebutuhan mendesak bagi institusi atau sekolah untuk membangun budaya empati secara proaktif, bukan sekadar menjalankan prosedur administratif saat masalah sudah membesar. Penanganan perundungan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, di mana setiap orang di institusi atau sekolah mampu menjadi ruang aman, tanpa harus memaksa korban bertemu langsung dengan pelaku sebelum mereka benar-benar siap secara psikologis.
Di samping itu, kami merasa bahwa dukungan di media sosial perlu disertai dengan rasa empati yang nyata. Sering kali, banyak orang terjebak dalam keinginan untuk memviralkan sebuah kasus tanpa menyadari bahwa hal itu justru memanfaatkan trauma korban demi konten atau sekadar menghakimi pelaku di internet. Menurut kami, cara seperti itu justru berisiko memicu trauma baru yang tidak menyelesaikan masalah utamanya. Kepedulian yang tulus seharusnya tidak diukur dari seberapa viral sebuah cerita, melainkan dari sejauh mana kita menghargai privasi dan ketenangan korban.
Pesan untuk korban bullying: “Kalau memang suatu hal tersebut tidak sesuai dengan kamu, jangan biarkan hal tersebut merusak harga diri dan kepercayaan diri kamu”. Hentikan perundungan atau bullying, tindakan ini tidak hanya merusak citra diri seseorang, tetapi juga menimbulkan kerusakan serius pada kesehatan mental dan psikologis korban. Dampak perundungan sangatlah serius dan merusak."
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
