Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kamaludin

Ekofeminisme dalam Membaca Banjir Sumatera

Lainnnya | 2025-12-27 18:39:02
Sumber: ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso

Banjir besar yang melanda Aceh, dan sebagian pulau Sumatera pada akhir November-Desember telah menelan lebih dari 1000 jiwa, melukai ribuan orang, dan memaksa hampir satu juta warga mengungsi. Dampak ekonomi juga sangat terasa dirasa oleh para warga, diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, dan hal ini bukan sebuah bencana yang tak bisa lagi dipandang sekadar fenomena cuaca ekstrem.

Jika kita membaca peristiwa ini hanya dari lensa meteorologi, narasi yang muncul biasanya tentang curah hujan tinggi atau siklon tropis langka. Kenyataannya, banjir ini adalah produk dari kerusakan ekologis yang sistemik, bukan sekadar “bencana alam.” Para peneliti dan jurnalis internasional, termasuk Mongabay, menegaskan bahwa deforestasi dan perubahan penggunaan lahan telah mengubah risiko banjir menjadi tragedi yang parah–hutan yang dulu menyerap hujan kini hilang dan digantikan oleh lahan sawit, pertambangan, dan proyek infrastruktur semua disetujui dan diatur lewat kebijakan yang cenderung mengabaikan resiko ekologis.

Ekofeminisme sebagai teori dan gerakan, menolak pemisahan antara isu lingkungan dan struktur sosial. Dalam ekofeminisme, patriarki dan kebijakan pembangunan yang dominan merupakan akar yang sama di balik eksploitasi alam dan marginalisasi kaum perempuan. Dalam konteks banjir Sumatera, pola ini menjadi jelas ketika melihat bagaimana keputusan politik selama puluhan tahun lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi melalui komodifikasi sumber daya alam, ketimbang menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi komunitas rentan. Ketika politik lingkungan bergeser ke logika kapitalisme ekstraktif, suara perempuan, terutama di komunitas adat dan kelompok marjinal, sering tidak terdengar dalam perumusan kebijakan mitigasi ataupun adaptasi bencana.

Kerusakan hutan dalam skala besar telah diperkuat oleh temuan media dan organisasi independen. Data menunjukkan bahwa ribuan hektar hutan di tiga provinsi terdampak lenyap dalam beberapa tahun terakhir, dan pemerintah telah mulai menyelidiki keterlibatan perusahan dalam deforestasi yang memperburuk banjir. Kebijakan tambahan yang memperparah situasi adalah kurangnya responsif gender dalam penanggulangan bencana.

Kebijakan tambahan yang memperparah situasi adalah kurangnya responsif gender dalam penanggulangan bencana. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menegaskan tentang pentingnya kebijakan responsif gender yang menempatkan perempuan sebagai agen utama dalam mitigasi dan pemulihan bencana. Pernyataan ini menyoroti bahwa perempuan bukan hanya korban, mereka justru sering menjadi pilar tangguh dalam proses pemulihan setelah bencana besar terjadi. Namun, rekomendasi kebijakan ini kerap kali hanya mengisi ruang diskusi tanpa memengaruhi kebijakan utama yang mengatur tata guna lahan, investasi industri besar, atau bahkan izin lingkungan yang lebih dulu menciptakan fragilitas ekologis.

Ekofeminisme lahir dan berangkat dari pertemuan dua gagasan besar, ekologi (ecology) dan feminisme (feminism). Secara etimologis, ekologi mempelajari relasi antar makhluk hidup, ataupun hubungan timbal baliknya dengan ekosistem, dan lingkungan. Ekologi menempatkan kehidupan sebagai satu kesatuan yang saling terhubung, di mana kerusakan pada satu unsur akan berdampak pada keseluruhan sistem. Sementara itu, feminisme lahir sebagai kesadaran, dan gerakan untuk melawan penindasan, subordinasi, dan eksploitasi terhadap perempuan yang dilegitimasi oleh struktur sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang patriarkal.

Dalam perkembangannya, feminisme tidak tunggal. Ia bergerak dinamis mengikuti realitas sosio-kultural masyarakat, mulai dari feminisme liberal, radikal, sosialis-Marxis, hingga teologi feminis. Namun, kritik internal muncul ketika feminisme modern dinilai terlalu menekankan kesetaraan formal dan rasionalitas maskulin, tanpa cukup menyentuh persoalan kelestarian lingkungan, kesejahteraan anak, dan etika perawatan kehidupan. Dari kegelisahan inilah ekofeminisme lahir sebagai kritik terhadap logika dominasi yang sama-sama menindas perempuan, dan mengeksploitasi alam.

Ekofeminisme berpijak pada asumsi bahwa penindasan terhadap perempuan dan perusakan alam berasal dari akar yang sama, yakni cara pandang dualistik dan hierarkis yang dibangun oleh sistem patriarki-modern: manusia atas alam, laki-laki atas perempuan, rasionalitas atas perasaan, produksi atas reproduksi. Cara pandang ini tidak hanya menciptakan ketimpangan gender, tetapi juga mendorong eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Alam direduksi menjadi objek, sebagaimana kerap direduksi menjadi pelengkap dan korban kebijakan.

Berbeda dengan feminisme modern yang menempatkan individu sebagai makhluk otonom dan terlepas dari lingkungan hidupnya. Ekofeminisme tidak bermaksud mengembalikan perempuan pada kodrat biologis, melainkan menekankan kesadaran politis atas relasi kuasa yang timpang–bahwa baik perempuan maupun alam sama-sama berada dalam posisi rentan akibat sistem yang menormalisasi dominasi, eksploitasi, dan kekerasan secara struktural.

Kerangka ekofeminisme menjadi sangat relevan ketika membaca rangkaian bencana banjir dan longsor yang menimpa Aceh, dan beberapa wilayah di Sumatera dalam waktu dekat ini. Bencana ini kerap dijelaskan secara sempit sebagai akibat curah hujan ekstrem atau krisis iklim. Namun, pembacaan semacam itu mengabaikan dimensi politik-ekologis yang lebih dalam seperti, deforestasi, alih fungsi lahan, ekspansi industri ekstratif, dan kebijakan tata ruang yang mengorbankan daya dukung lingkungan.

Dalam kacamata ekofeminisme, banjir di Aceh dan Sumatera bukan semata peristiwa alam, melainkan produk dari relasi kuasa yang timpang antara negara, modal, dan alam. Hutan yang semestinya berfungsi sebagai penyangga ekologis dibuka untuk kepentingan industri pribadi, sungai dipersempit oleh pembangunan, dan wilayah resapan air diabaikan demi investasi. Logika yang bekerja di balik kebijakan ini adalah logika patriarkal-modern yaitu, menaklukan alam, menguasai ruang, dan memaksimalkan produksi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan.

Dampak dari kebijakan tersebut tidak netral secara gender. Dalam situasi bencana, perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling terdampak, baik secara ekonomi, sosial, bahkan psikologis. Mereka memikul beban secara ganda, kehilangan sumber penghidupan, mengurus keluarga di tengah krisis, hingga menghadapi keterbatasan akses terhadap bantuan dan pengambilan keputusan. Namun ironisnya, suara perempuan, terutama perempuan adat, dan perempuan desa kerap dikesampingkan dalam perumusan kebijakan lingkungan dan mitigasi bencana.

Di sinilah ekofeminisme menawarkan cara baca yang lebih utuh dan bermakna–bahwa kerusakan yang terjadi di wilayah bencana seperti Aceh, dan Sumatera serta penderitaan perempuan yang mengikutinya bukanlah dua persoalan terpisah, melainkan saling terkait dalam satu sistem ketidakadilan struktural. Dengan menempatkan etika perawatan, keberlanjutan, dan relasi setara sebagai dasar kebijakan, ekofeminisme menantang paradigma pembangunan yang selama ini memproduksi bencana ekologis sekaligus ketimpangan sosial.

Pendekatan ini mengajak kita untuk melihat bencana bukan hanya sebagai kegagalan teknis, tetapi sebagai krisis nilai dan krisis politik, bahkan krisis akibat dominasi maskulin yang mengabaikan keseimbangan antara manusia dan alam. Dalam konteks banjir Aceh dan Sumatera, membaca bencana melalui ekofeminisme berarti mempertanyakan ulang araha kebijakan pembangunan, membuka ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, serta menempatkan kelestarian lingkungan sebagai prasyarat utama dari keadilan sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image