Hilangnya Tradisi Maghrib Mengaji
Agama | 2025-12-26 20:19:12
Dulu, di desa saya, waktu maghrib memiliki suasana yang khas. Begitu azan selesai, semua anak dari yang masih kecil sampai yang sudah SMA pasti berangkat mengaji. Rumah guru ngaji selalu ramai, penuh suara anak-anak membaca iqra dan Al-Qur'an. Namun sekarang, suasananya hampir tidak ada lagi. Perkembangan zaman dan hadirnya HP membuat waktu maghrib yang seharusnya digunakan untuk belajar agama berubah menjadi waktu bermain game, scroll media sosial, atau menonton video. Anak-anak yang dulunya bersemangat, kini lebih sibuk dengan layar di tangan mereka.
Perubahan ini juga terjadi karena dukungan orang tua sudah tidak yakin dulu. Banyak orang tua sekarang merasa cukup jika anaknya diam di rumah dan tidak membuat masalah, meskipun hanya bermain HP sepanjang hari. Padahal, dulu orang tua benar-benar mendorong anak untuk mengaji, bahkan sering mengantar dan menjemput. Saat ini, sebagian besar membiarkan anak memilih sendiri, dan kebebasan itu malah membuat kegiatan mengaji semakin ditinggalkan.
Selain itu, ada perasaan malu yang tumbuh dalam diri anak-anak yang sudah mulai besar. Ketika tidak bisa membaca Al-Qur'an dengan baik, mereka merasa rendah diri. Semakin bertambahnya usia, rasa malu itu semakin kuat. Banyak yang menghindari akhirnya mengaji karena takut diejek atau merasa terlambat untuk belajar. Padahal justru di usia-usia itulah mereka membutuhkan bimbingan, supaya tidak tumbuh tanpa dasar agama yang kuat.
Masalah lain yang membuat tradisi ini semakin pudar adalah minimnya generasi yang mau menjadi guru ngaji. Dulu, ada banyak orang dewasa yang ikhlas mengajar tanpa berharap ketidakseimbangan. Tapi sekarang, hampir tidak ada yang mau mengajar kecuali ada bayarannya. Desa kami punya keterbatasan guru, dan tanpa orang yang mau mengajar, otomatis kegiatan mengaji jadi berhenti. Anak-anak yang ingin belajar pun tidak punya tempat untuk datang.
Tradisi maghrib mengaji yang dulu menjadi ciri kehidupan desa kini semakin hilang. Jika tidak ada upaya bersama dari keluarga, generasi muda, dan masyarakat, tradisi baik ini akan benar-benar punah. Padahal, mengaji bukan hanya soal membaca huruf Arab, tetapi juga membentuk karakter, akhlak, dan kedekatan dengan agama sejak kecil. Saya berharap suatu hari tradisi ini bisa kembali tumbuh, meskipun tidak seramai dulu. Setidaknya ada langkah kecil untuk memulai lagi, agar desa kami tidak kehilangan salah satu nilai terbaik yang pernah dimilikinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
