Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agustina Eka Wardani

Menakar Efektifitas Pembatasan Media Sosial

Politik | 2025-12-25 06:18:17

Oleh : Agustina Eka Wardani, S.Pd

Pemerintah berencana melakukan pembatasan media sosial bagi anak, hal tersebut dipandang sebagai bentuk perlindungan dari pemerintah terhadap hak-hak anak. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menertibkan konten media sosial yang mengandung konten tidak baik bagi anak di antaranya konten yang mengandung unsur pornografi dan judi online, dengan fokus pada perlindungan kesehatan mental anak.

Namun aturan ini tidak secara spesifik mengecualikan game online. Hal ini mendapatkan kritikan keras karena game online juga beresiko membuat anak kecanduan dan masalah kesehatan mental lainnya.Negara lain yang telah melakukan pembatasan serupa di antaranya Australia, Denmark, dan Singapura juga melarang siswanya menggunakan smartphone dan smartwatch di lingkungan sekolah, serta beberapa negara lainnya.

Selain itu, akan ada sanksi bagi platform digital yang tidak mematuhi aturan negara dalam pembatasan terhadap pengguna usia anak.

Pembatasan medsos bukanlah solusi komperhensif, karena hanya bersifat administratif. Faktanya anak masih bisa mengakses medsos tanpa akun pribadi.

Misalnya dengan akun palsu atau menggunakan akun orang lain. Anak juga masih bisa mengakses game online yang jelas-jelas bisa menyebabkan kecanduan yang diakui WHO sebagai diagnosis gangguan Kesehatan mental yang dikelompokkan sebagai "Gaming Disorder" dalam ICD-11.

Peran Algoritma

Faktanya, dalam dunia digital, segala konten yang disajikan di sosial media atau di dunia digital ini, tidak diberikan secara acak. Semuanya dalam kendali mesin yang otomatis memprediksi apa yang kira-kira sesuai dengan minat penggunanya. begitulah algoritma bekerja.

Ketika sebuah gawai yang digunakan seseorang, melihat beberapa detik konten yang menarik perhatian atau atensinya, atau memencet tombol suka, atau bahkan berkomentar dan lain sebagainya, seperti konten hiburan romantis, konten flexing, bahkan juga konten kriminal. Maka algoritma akan membaca dan merekam hal tersebut untuk disuguhkan konten berikutnya yang serupa sehingga menyebabkan kecanduan walaupun kontennya tidak edukatif.

Melalui algoritma pula, saat ini ada figur-figur yang menikmati popularitas seolah perilakunya sudah pasti benar. Hanya dikarenakan viral dan tidak mesti memiliki nilai yang benar.

Algoritma memiliki sifat manipulatif dan adiktif demi menguntungkan raksasa digital. Bahkan saat ini, algoritma dianggap sebagai instrumen yang mengontrol perilaku penggunanya.

Masyarakat di negara-negara Eropa dan Amerika mulai kewalahan dengan dampak buruk dunia digital. Mereka mulai protes pada pemerintahnya. Tidak berbeda dengan yang terjadi di negeri kita. Kemudian pemerintah membuat regulasi. Padahal regulasi tersebut tidak mampu menghalangi keserakahan raksasa digital ini.

Pemerintah tersebut tidak akan optimal menghalangi raksasa digital ini dengan pengontrolan secara ketat untuk menghilangkan dampak buruk dunia digital. Hal ini dikarenakan para raksasa digital merupakan penyumbang pajak yang besar. Pemerintah tentu hanya bisa membatasi dan sedikit mengurangi dampak negatifnya dengan membuat regulasi. Terlebih ketika terdapat kepentingan tertentu, maka hal ini bisa disukseskan melalui algoritma yang disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Interaksi Digital, Dampak Buruk dan Solusi Komperhensif

Interaksi manusia dengan gadget dan dunia digital ini bukanlah interaksi dengan sekedar perangkat atau alat ataupun teknologi yang bebas nilai. Interaksi dengan dunia digital adalah interaksi dengan nilai, gaya hidup dan sistem hidup atau way of life yang sesuai dengan nilai sekulerisme – kapitalisme yang bertentangan dengan nilai – nilai Islam. Hal ini dikarenakan nilai – nilai Islam tidak mendapatkan ruang dalam algoritma.

Sehingga, kaum muslim saat ini juga terkena dampak buruk sebagaimana yang dialami oleh orang-orang Barat. Maka sudah semestinya kaum muslim lebih sadar bahwa pemikiran dan referensi mereka yang semakin negatif dan liberal, sesungguhnya buah dari lebih banyaknya interaksi di ruang digital dibandingkan dengan interaksi langsung dengan orang tua, guru dan orang-orang yang lebih senior. Ini berkorelasi pada makin jauhnya mereka dari pegangan syariat.

Raksasa digital yang mengusung standar dan nilai liberalisme, sekulerisme dan kapitalisme, saat ini mendominasi seluruh lini kehidupan manusia. Juga mencengkram kehidupan kaum muslimin karena negara-negara di dunia ini mengadopsi ideologi kapitalisme dan basis nilai-nilai sekularisme.

Sejalan dengan apa yang ditampilkan di media sosial atau di dunia digital. Sedangkan nilai-nilai Islam yang luhur, yang menjaga manusia dari kerusakan, menghindarkan manusia dari kebinasaan, justru dicampakkan dan dijauhkan. Bahkan tidak diberi panggung di dalam algoritma milik Kapitalis.

Hal ini dikarenakan kaum muslimin tidak memiliki kedaulatan digital. Sebab tidak ada sistem yang mempraktekkan Islam secara komperhensif yang memiliki power dan kedaulatan hakiki -termasuk di dunia digital- yang mampu menandingi hegemoni raksasa digital saat ini.

Padahal, adanya sistem yang menerapkan Islam secara komperhensif akan mewujudkan perlindungan nyata dari dampak buruk terhadap generasi. Selanjutnya, akan tercipta iklim yang kondusif bagi generasi. Hingga dapat mengantarkan pada tingginya peradaban dunia disebabkan tingginya kualitas generasinya. Dan itu bisa diwujudkan dengan mengarahkan perubahan ke arah Islam secara komperhensif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image