Kopi dan Kita: Tentang Rindu yang Diseduh Perlahan
Sastra | 2025-12-24 18:30:22
Ada hal-hal yang tak perlu banyak kata, seperti kopi. Ia hadir dalam diam, mengepul pelan, lalu menyisakan rasa yang tinggal lama. Di setiap cangkirnya, kopi selalu membawa cerita—tentang pagi yang sepi, sore yang sendu, dan malam yang penuh rindu.
Kopi mengajarkan kita untuk menunggu. Air panas tak pernah langsung menyatu dengan bubuknya, semuanya butuh waktu. Sama seperti perasaan. Diseduh perlahan, diaduk pelan, lalu dibiarkan meresap. Dari situ lahir rasa pahit yang jujur, hangat yang menenangkan, dan aroma yang diam-diam membuat hati luluh.
Ada momen ketika kopi terasa seperti kamu. Pahit di awal, tapi bikin candu. Diminum pelan-pelan, bukan untuk dihabiskan, tapi untuk dinikmati. Di sudut kafe atau di meja kecil dekat jendela, kopi menemani percakapan yang sederhana—tentang hari ini, tentang mimpi, atau tentang hal-hal yang tak berani diucapkan.
Saat dunia terasa terlalu bising, kopi menjadi tempat pulang. Dalam heningnya, kita belajar berdamai dengan diri sendiri. Menyesapnya sambil mengenang, sambil berharap, atau sekadar membiarkan waktu berjalan tanpa perlu dikejar. Kopi tidak menuntut apa-apa, ia hanya ingin dinikmati dengan sepenuh rasa.
Dan mungkin, seperti cinta, kopi tak selalu manis. Tapi justru di pahitnya, kita belajar bertahan. Karena pada akhirnya, bukan tentang seberapa manis rasanya, melainkan tentang siapa yang menemani kita menghabiskannya—atau siapa yang kita ingat di setiap tegukan terakhir.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
