Makan Bergizi Gratis dan Perintah Qurani untuk Berpikir
Politik | 2025-12-23 13:41:53
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak awal dimaksudkan sebagai ikhtiar negara untuk menjamin hak dasar anak: pangan yang layak dan bergizi. Tidak ada yang menolak tujuan mulia ini. Namun dalam kebijakan publik, niat baik tidak pernah cukup. Ia harus diuji dengan akal sehat, data, transparansi, dan tanggung jawab moral. Di titik inilah kritik menjadi penting, bukan sebagai sikap anti-pemerintah, tetapi sebagai bentuk kepedulian terhadap amanah anggaran rakyat.
Pernyataan Wayudi Askar—Founder and Director of Public Policy at the Center of Economic and Law Studies (CELIOS)—di media sosialnya patut menjadi alarm publik. Ia mengajak kita berhenti sejenak, berpikir, dan menghitung. Sebuah ajakan yang sangat Qur’ani.
Dalam unggahannya, Wayudi menyampaikan ilustrasi sederhana namun menggetarkan: jika hak MBG per siswa adalah Rp10.000, tetapi yang benar-benar diterima hanya Rp6.000, maka terdapat selisih Rp4.000. Bila penerima mencapai 50 juta siswa, maka potensi selisih tersebut mencapai Rp200 miliar per hari. Ketika sekolah libur dua minggu, potensi dana “menghilang” bisa mencapai Rp2,8 triliun.
Angka ini tentu masih bersifat ilustratif, namun justru di situlah letak kekuatannya. Ia mengajukan satu pertanyaan moral: apakah negara sungguh-sungguh hadir untuk memastikan setiap rupiah anggaran sampai kepada anak-anak, ataukah kita sedang menyaksikan kebocoran sistemik yang dibiarkan?
Ironinya terasa semakin tajam ketika pada waktu yang sama, saudara-saudara kita di Sumatera dan wilayah lain yang tertimpa bencana masih harus mengetuk pintu empati negara. Ketika bantuan bencana sering kali tersendat, anggaran sosial justru berpotensi bocor dalam skala yang mencederai rasa keadilan publik.
Dalam konteks ini, Wayudi Askar mengingatkan dengan sangat tepat nilai-nilai Al-Qur’an. Terdapat setidaknya sembilan ayat yang diakhiri dengan kata “afalā”—seperti afalā ta‘qilūn (tidakkah kamu berpikir), afalā tatafakkarūn (tidakkah kamu merenung), dan afalā tubṣirūn (tidakkah kamu melihat). Ayat-ayat ini bukan sekadar retorika spiritual, tetapi perintah eksplisit agar manusia—terlebih pemimpin—menggunakan akal, nurani, dan tanggung jawab moralnya.
Ayat-ayat afalā sejatinya adalah kritik ilahiah terhadap kekuasaan yang berjalan tanpa refleksi. Dalam Islam, kebijakan publik bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga soal amanah (al-amānah) dan keadilan (al-‘adālah). Rasulullah SAW bahkan memperingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
Secara empiris, berbagai laporan audit dan kajian kebijakan menunjukkan bahwa program bantuan sosial di Indonesia kerap menghadapi persoalan klasik: ketidaktepatan sasaran, rantai distribusi yang panjang, lemahnya pengawasan, serta minimnya transparansi data. CELIOS sendiri dalam sejumlah risetnya menekankan bahwa problem kebijakan sosial bukan semata pada anggaran yang kurang, tetapi pada tata kelola yang rapuh.
MBG, sebagai program berskala raksasa dengan anggaran triliunan rupiah, semestinya menjadi etalase terbaik tata kelola negara. Digitalisasi penyaluran, keterbukaan biaya satuan, audit publik berkala, serta pelibatan masyarakat sipil adalah keniscayaan, bukan pilihan. Tanpa itu, MBG berisiko berubah dari program kesejahteraan menjadi ladang moral hazard.
Di sinilah relevansi seruan “afalā” menemukan momentumnya. Al-Qur’an tidak pernah memisahkan iman dari akal. Tidak cukup seorang pemimpin mengaku muslim, rajin beribadah, atau fasih berbicara tentang keberpihakan kepada rakyat kecil, jika kebijakannya menutup mata terhadap potensi kezaliman struktural.
Opini ini bukan ajakan untuk mencurigai tanpa dasar, tetapi seruan untuk membuka ruang evaluasi jujur. Anak-anak Indonesia tidak membutuhkan simbol kebijakan; mereka membutuhkan makanan yang benar-benar bergizi di piring mereka. Rakyat tidak membutuhkan slogan; mereka membutuhkan jaminan bahwa uang pajak dan utang negara dikelola dengan bersih.
Maka, harapan Wayudi Askar agar para pemimpin muslim membaca ayat-ayat afalā bukanlah nasihat moral kosong. Ia adalah pengingat keras bahwa kekuasaan, dalam Islam, selalu diawasi oleh dua mata: mata publik dan mata Tuhan. Dan kepada keduanya, setiap pemimpin kelak harus menjawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
