Hutan Runtuh, Negara Ghosting
Politik | 2025-12-19 16:35:58
Mochdar Soleman, S.IP., M.Si.
Akademisi Universitas Nasional/Sekjen GP Nuku
Refleksi itu kini menemukan konteks yang lebih tegas. Banjir bandang Sumatera telah memperlihatkan bahwa persoalan ekologis Indonesia tidak lagi berada dalam fase peringatan. Ia sudah memasuki fase krisis struktural, di mana negara bukan sekadar gagal mengendalikan hulu, tetapi perlahan menyusut dari fungsi paling dasarnya yakni menjaga keselamatan ekologis warganya.
Ribuan gelondongan kayu yang hanyut bukan fenomena alam semata, sebab potongannya rapi, ukurannya seragam, jumlahnya massif “terlalu sistematis untuk disebut kebetulan.” Kayu-kayu itu adalah dokumen ekologis yang ditulis oleh air bah, menceritakan apa yang negara tidak berani ucapkan bahwa hulu Sumatera telah lama diproduksi sebagai ladang ekstraksi, bukan ruang ekologis.
Ketika banjir menyeret kayu hingga hilir, ia menyeret pula seluruh kelalaian negara hal ini dikarenakan izin yang longgar, pembiaran yang kronis, dan serangkaian kompromi yang merusak integritas ekosistem. Banjir itu bukan sekadar membawa air, melainkan ia membawa daftar panjang kegagalan institusional.
Respons negara datang setelah kerusakan menjadi tontonan nasional, hal ini terlihat jelas ketika pemerintah bergegas memerintahkan investigasi, memanggil menteri, menggelar rapat darurat. Namun rangkaian tindakan pascabencana tersebut bukanlah tanda kesigapan. Ia adalah bukti bahwa negara tidak memiliki mekanisme pencegahan yang hidup, hanya reaksi spontan yang muncul setelah tekanan publik memuncak.
Pernyataan resmi bahwa kayu mungkin berasal dari hutan rakyat, pohon tumbang, atau sisa aktivitas lama sebenarnya adalah kalimat-kalimat tanpa data. Ketika lembaga kehutanan tidak dapat memastikan asal kayu di wilayah yang seharusnya diawasi negara, maka masalahnya bukan administrasi. Ini adalah tanda runtuhnya kedaulatan ekologis.
Negara tidak sedang kekurangan informasi; negara kehilangan pijakan.
Dalam analisis politik ekologi, kehancuran hutan tidak pernah terjadi oleh satu pelaku. Ia lahir dari jaringan aktor: perusahaan kayu berizin, operator pembalakan liar, pemilik alat berat, elite lokal, hingga oknum aparat yang merawat celah hukum sebagai ruang ekonomi. Semua bergerak simultan, saling melengkapi dalam satu sistem ekstraksi yang bekerja jauh sebelum banjir datang.
Negara menjadi bagian dari jaringan itu, bukan sebagai pengawas, tetapi sebagai pemberi izin dan penyedia legitimasi. Sistem perizinan yang terbuka tanpa pengawasan hanya melahirkan legalitas abu-abu—izin yang sah di atas kertas, tetapi melahirkan kejahatan ekologis di lapangan. Ketika gelondongan kayu bisa keluar dari hulu tanpa terekam sistem, itu berarti negara tidak mengatur; negara hanya mencatat.
Secara ekologis, Sumatera telah melewati titik ambang. Tutupan hutan menipis hingga kehilangan daya serap. Tanah tidak lagi memiliki kekuatan mengikat air. Sungai menyempit oleh sedimentasi. Kawasan penyangga hilang oleh ekspansi perkebunan dan konsesi kayu. Dalam kondisi seperti ini, hujan ekstrem bukan ancaman—ia hanya pemantik.
Di banyak literatur lingkungan global, situasi seperti ini disebut state-enabled disaster: bencana yang dimungkinkan oleh kebijakan negara. Istilah itu tepat untuk Indonesia.
Meski banjir menghantam lintas provinsi, memakan korban jiwa, dan menyingkap kejahatan lingkungan yang masif, pemerintah pusat masih ragu menetapkan status bencana nasional. Kegamangan ini bukan teknis; ia politis. Penetapan bencana nasional berarti membuka pintu:
1. Audit total konsesi hutan,
2. Penyelidikan rantai pasok kayu,
3. Evaluasi izin apl dan phat,
4. Hingga identifikasi aktor ekonomi dan politik yang menikmati rente.
Dengan kata lain, membuka kemungkinan bahwa negara harus melihat wajahnya sendiri di cermin kehancuran ekologis.
Kita tidak bisa lagi menunggu investigasi yang berakhir sebagai ritual birokrasi. Kita membutuhkan keberanian politik untuk membenahi hulu sebelum hilir kembali tenggelam. Keberanian untuk mengakui bahwa pembangunan yang meminggirkan ekologi adalah pembangunan yang membawa bencana sebagai konsekuensi logis.
Banjir kayu Sumatera adalah batas sejarah. Jika negara terus menyusut dari perannya, maka banjir berikutnya hanya menunggu jadwal. Dan ketika hulu runtuh, hilirlah yang akan terus membayar harga. “Hulu yang retak tidak bisa diperbaiki oleh negara yang tersesat. Dan negara yang tersesat adalah negara yang tak pernah hadir di tempat kerusakan dimulai.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
