Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suci Nadlifatur Rizqiyah

Membaca Surabaya dari dalam Museum Siola

Sastra | 2025-12-18 10:13:32

Saya tidak langsung memikirkan teori atau istilah apa pun ketika memasuki Museum Siola. Yang pertama saya rasakan justru suasananya yang tenang, tertata, dan agak berbeda dari ruang publik lain di Surabaya yang biasanya riuh. Museum ini tidak menyambut pengunjung dengan suara keras atau visual yang berlebihan. Namun daya tariknya seperti mengajak pelan-pelan masuk, melihat, lalu membaca.

Pada bagian depan, saya berhenti cukup lama di hadapan relief besar yang membentuk tulisan “SUB”. Relief yang bukan hanya sekadar hiasan dinding itu tersusun dari potongan-potongan visual tentang Surabaya: makanan, pakaian adat, bangunan, ikon kota, hingga aktivitas masyarakat. Dari situ, saya menangkap kesan awal bahwa museum ini tidak sedang bercerita tentang satu hal besar, melainkan tentang banyak hal kecil yang bersama-sama membentuk Surabaya. Relief tersebut terasa seperti pengantar yang halus, bahwa kota ini adalah kumpulan pengalaman, bukan hanya rangkaian tanggal dan peristiwa.

Saat mulai berjalan ke dalam, saya menyadari bahwa museum ini sangat kaya informasi. Ruang-ruangnya dibagi dengan jelas, masing-masing menandai periode sejarah tertentu. Dinding berwarna netral, judul besar berwarna hitam, dan teks yang disusun rapi membuat saya merasa sedang membaca buku sejarah, perbedanya buku ini terasa bisa saya masuki secara nyata. Saya membaca, lalu berhenti. Melihat, lalu berpikir. Kadang saya hanya berdiri, menyerap suasana sebelum lanjut ke panel berikutnya.

Yang menarik, informasi di museum ini terasa sangat terkontrol. Tidak ada kesan acak. Semuanya disusun berurutan, seolah ingin memastikan pengunjung memahami Surabaya dengan alur tertentu. Dari sini, saya mulai menyadari bahwa museum bukan sekadar tempat menyimpan sejarah, namun tempat yang memilih cara bercerita. Apa yang saya pahami tentang Surabaya hari itu banyak dipengaruhi oleh bagaimana cerita itu disusun.

Saya termasuk pengunjung yang membaca hampir semua panel. Bukan karena terpaksa, tetapi karena informasinya terasa “mengundang”. Ada rasa ingin tahu yang terus muncul “oh, ternyata seperti ini” “oh, ternyata seperti itu yang sebenarnya”. Saya merasa mendapatkan banyak potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak saya sadari. Namun, di saat yang sama, saya juga mulai bertanya dalam hati. Apakah semua cerita tentang Surabaya bisa dirangkum dalam panel-panel ini? Atau ini adalah versi Surabaya yang ingin ditampilkan kepada pengunjung?

Pertanyaan itu semakin terasa ketika saya sampai pada bagian yang menampilkan artefak dan visualisasi nyata. Becak yang dipajang, panggung wayang, replika makanan khas, serta patung-patung aktivitas masyarakat membuat sejarah terasa lebih dekat. Saya tidak hanya membaca tentang kehidupan masyarakat Surabaya, tetapi melihat wujudnya. Di titik ini, museum terasa sangat efektif. Sejarah tidak lagi abstrak, tetapi hadir dalam bentuk yang bisa dikenali dan diingat.

Namun, justru di bagian ini pula saya merasa mulai berpikir lebih jauh. Artefak-artefak tersebut terasa sangat representatif, bahkan ikonik. Becak, wayang, makanan khas, semuanya seperti simbol yang langsung mengingatkan pada Surabaya. Saya merasa bangga melihatnya, tetapi juga sadar bahwa simbol-simbol itu menyederhanakan kenyataan. Budaya kota yang kompleks diringkas menjadi beberapa ikon yang mudah dikenali. Mungkin itulah cara museum bekerja, merangkum yang rumit agar bisa dicerna.

Pengalaman saya di museum ini diakhiri dengan sesuatu yang sederhana tetapi berkesan, yaitu dinding ucapan “terima kasih” dalam berbagai bahasa. Setelah melewati ruang-ruang penuh informasi dan visual sejarah, saya justru berhenti cukup lama di bagian ini. Ucapan terima kasih itu seperti penutup yang hangat, seolah museum ingin meninggalkan kesan ramah pada pengunjung. Di situ, Surabaya ditampilkan bukan hanya sebagai kota dengan masa lalu panjang, tetapi juga sebagai kota yang terbuka dan menyambut siapa saja.

Keluar dari Museum Siola, saya tidak membawa satu kesimpulan tunggal tentang Surabaya. Yang saya bawa justru banyak potongan pemahaman tentang kota, tentang sejarah, dan tentang bagaimana ingatan kolektif dibentuk. Museum ini membuat saya sadar bahwa memahami kota bukan hanya soal mengetahui apa yang terjadi, tetapi juga tentang bagaimana cerita itu disampaikan.

Bagi saya, Museum Siola adalah ruang yang mengajak pengunjung untuk membaca Surabaya bukan hanya dengan mata, tetapi juga dengan pikiran. Dikonesp untuk tidak sekadar menunjukkan masa lalu, tetapi mengarahkan cara kita memaknainya. Dan mungkin disitulah kekuatan museum ini hadir dengan membuat pengunjung pulang dengan rasa bangga, sekaligus dengan pertanyaan-pertanyaan kecil yang terus tertinggal di kepala.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image