Inflasi dalam Perspektif Rasional: Mengapa Kenaikan Harga Tidak Selalu Buruk
Info Terkini | 2025-12-17 10:35:28Inflasi hampir selalu menjadi kata yang menimbulkan keresahan. Ketika harga kebutuhan pokok meningkat, masyarakat cenderung menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi tidak baik-baik saja. Massa media pun sering membingkai inflasi sebagai ancaman yang harus ditekan secepat mungkin. Pola pikir ini wajar, mengingat inflasi secara langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, jika ditelaah melalui pendekatan logika dan pemikiran kritis, inflasi tidak selalu identik dengan krisis.
Dalam batas tertentu, inflasi justru dapat menjadi sinyal bahwa perekonomian sedang bergerak dan berkembang secara aktif. Cara memandang yang mengapresiasi inflasi sebagai sesuatu yang sepenuhnya negatif berpotensi menghibur. Pemikiran kritis menuntut kita untuk tidak hanya berhenti pada dampak yang terlihat, namun juga memahami sebab, konteks, dan fungsi suatu fenomena ekonomi. Inflasi merupakan bagian alami dari sistem ekonomi modern yang berbasis pertumbuhan.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai inflasi perlu ditempatkan dalam kerangka rasional, proporsional, dan berbasis data, bukan sekadar pada persepsi ketidaknyamanan akibat naiknya harga. Secara kontekstual, inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa umum secara dan berkelanjutan dalam periode tertentu. Kata “umum” dan “berkelanjutan” menjadi kunci penting dalam memahami inflasi secara kritis. Kenaikan harga pada satu komoditas saja tidak sertamerta dapat disebut sebagai inflasi.
Begitu pula kenaikan harga yang bersifat sementara akibat gangguan distribusi atau faktor musiman. Dengan memahami definisi ini, masyarakat diharapkan tidak terburu-buru menarik kesimpulan bahwa setiap kenaikan harga merupakan pertanda buruk bagi perekonomian. Inflasi yang dikendalikan justru sering dianggap sebagai kondisi ideal dalam ekonomi makro. Banyak negara menetapkan target inflasi tahunan pada kisaran tertentu, umumnya sekitar 2–4 persen. Angka ini dipandang cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa menggerus daya beli secara berlebihan.
Inflasi moderat mencerminkan adanya permintaan yang sehat, aktivitas produksi yang berjalan, serta perputaran uang yang dinamis. Dalam kondisi ini, inflasi berfungsi sebagai indikator bahwa perekonomian tidak stagnan. Sebaliknya, ketiadaan inflasi atau inflasi yang terlalu rendah justru dapat memicu masalah lain, misalnya deflasi. Deflasi ditandai dengan penurunan harga secara terus-menerus, yang dapat mendorong masyarakat menunda konsumsi karena berharap harga semakin murah.
Jika konsumsi melemah, produsen akan mengurangi produksi, investasi menurun, dan penurunan berpotensi meningkat. Dengan demikian, dari sudut pandang logika ekonomi, inflasi pada tingkat tertentu justru lebih diinginkan dibandingkan deflasi yang berkepanjangan. Dari perspektif dunia usaha, inflasi juga memiliki peran penting. Kenaikan harga yang wajar memungkinkan pelaku usaha menyesuaikan biaya produksi, termasuk bahan baku dan upah tenaga kerja. Tanpa adanya inflasi, ruang bagi perusahaan untuk meningkatkan pendapatan dan melakukan ekspansi menjadi terbatas.
Hal ini dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan sektor riil. Oleh karena itu, inflasi tidak hanya berdampak pada konsumen, tetapi juga mempengaruhi keputusan investasi dan keinginan usaha. Dalam konteks ketenagakerjaan, inflasi sering kali berkaitan dengan peningkatan pendapatan nominal. Ketika perekonomian tumbuh dan permintaan meningkat, perusahaan cenderung membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Kondisi ini dapat membuka lapangan kerja baru dan mendorong kenaikan upah.
Meski demikian, pemikiran kritis mengharuskan kita membedakan antara kenaikan upah nominal dan upah riil. Inflasi yang terkendali memungkinkan keseimbangan antara kenaikan harga dan peningkatan pendapatan, sehingga kesejahteraan masyarakat tetap terjaga. Namun, pernyataan pro terhadap inflasi tidak berarti menafikan risiko yang menyertainya. Masalah inflasi menjadi serius ketika melampaui kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan pendapatan. Inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat menurunkan daya beli, memperlebar kesenjangan sosial, serta meningkatkan angka kemiskinan. Oleh karena itu, dukungan terhadap inflasi harus selalu disertai dengan penekanan pada pengelolaan yang efektif dan kebijakan yang tepat sasaran. Diangkatnya peran pemerintah dan bank sentral menjadi krusial. Melalui kebijakan moneter dan fiskal, inflasi dapat diarahkan agar tetap berada pada tingkat yang sehat. Mengendalikan inflasi bukan berarti menekan harga secara ekstrem, melainkan menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan yang terlalu keras terhadap inflasi berisiko menurunkan aktivitas ekonomi, sementara pendekatan yang terlalu longgar dapat memicu kenaikan harga. Dalam kerangka logika dan pemikiran kritis, inflasi seharusnya dipahami sebagai fenomena yang kompleks dan multidimensi. Penilaian terhadap inflasi tidak cukup hanya berdasarkan pengalaman individu saat berbelanja, tetapi harus dilihat dalam konteks makro yang lebih luas. Dengan pemahaman ini, masyarakat dapat membuat pernyataan yang lebih rasional dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi-narasi kekhawatiran yang berlebihan. Inflasi bukanlah fenomena yang sepenuhnya harus ditakuti, melainkan realitas ekonomi yang perlu dipahami dan dikelola dengan bijak. Inflasi yang terkendali dapat menjadi penanda ekonomi yang sehat, dinamis, dan produktif. Melalui pendekatan logika dan pemikiran kritis, inflasi tidak lagi dipandang sebagai ancaman mutlak, tetapi sebagai bagian dari mekanisme ekonomi yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan. Sikap rasional inilah yang dibutuhkan agar masyarakat mampu melihat inflasi secara lebih obyektif dan berimbang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
