Ketika Keselamatan Kerja Dianggap Sekadar Formalitas
Humaniora | 2025-12-16 18:09:08
Di banyak tempat kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) kerap dipahami sebatas kelengkapan formal. Helm, rompi, dan prosedur keselamatan tersedia, namun penggunaannya sering kali diabaikan ketika dianggap menghambat kecepatan kerja. Selama target tercapai dan pekerjaan selesai, praktik tidak aman pun dianggap sebagai hal yang lumrah.
Cara pandang semacam ini mencerminkan persoalan yang lebih dalam. K3 belum sepenuhnya dipahami sebagai budaya kerja, melainkan masih diperlakukan sebagai kewajiban administratif. Padahal, di balik setiap prosedur keselamatan yang dilanggar, terdapat risiko kecelakaan yang dapat berdampak panjang bagi pekerja. Ironisnya, kesadaran akan risiko tersebut sering kali baru muncul setelah insiden terjadi.
Fenomena meremehkan K3 bukanlah hal baru di dunia kerja. Dalam praktik sehari-hari, masih banyak pekerja yang mengabaikan prosedur keselamatan karena dianggap merepotkan, membuang waktu, atau tidak sejalan dengan tuntutan produktivitas. Kebiasaan ini perlahan membentuk pola perilaku tidak aman yang dinormalisasi, baik oleh pekerja maupun lingkungan kerjanya.
Situasi tersebut diperparah ketika pengawasan dan keteladanan dari pihak manajemen belum berjalan optimal. Ketika pelanggaran keselamatan dibiarkan tanpa konsekuensi yang jelas, pesan yang tersampaikan justru sebaliknya: keselamatan bukanlah prioritas utama. Akibatnya, K3 gagal dipahami sebagai kebutuhan bersama dan hanya dipatuhi sebatas formalitas.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kecelakaan kerja tidak semata-mata disebabkan oleh kurangnya peralatan keselamatan, melainkan lebih banyak dipicu oleh perilaku tidak aman dan lemahnya budaya keselamatan di tempat kerja. Ketika prosedur keselamatan diabaikan secara berulang dan dibiarkan menjadi kebiasaan, risiko kecelakaan meningkat secara signifikan, meskipun standar dan aturan K3 telah tersedia.
Temuan lain juga menegaskan bahwa efektivitas penerapan K3 sangat bergantung pada komitmen manajemen dan kesadaran pekerja. Tanpa pengawasan yang konsisten serta keteladanan dari pimpinan, penggunaan alat pelindung diri dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan cenderung bersifat sementara. Kondisi inilah yang membuat K3 kerap dipersepsikan sebagai beban administratif, bukan sebagai kebutuhan mendasar dalam melindungi keselamatan pekerja.
Meremehkan K3 tidak hanya berdampak pada meningkatnya risiko cedera dan kecelakaan kerja, tetapi juga membentuk sistem kerja yang tidak sehat. Pekerja menjadi pihak paling rentan karena harus berhadapan langsung dengan berbagai potensi bahaya di lapangan, sementara tekanan target dan tuntutan produktivitas terus berjalan. Dalam situasi seperti ini, keselamatan sering kali dikorbankan demi menyelesaikan pekerjaan lebih cepat.
Dampak dari pengabaian keselamatan kerja tidak berhenti di lokasi kerja. Ketika seorang pekerja mengalami kecelakaan, konsekuensinya turut dirasakan oleh keluarga yang bergantung pada keberlangsungan hidupnya. Cedera, cacat, bahkan kehilangan nyawa bukan hanya persoalan statistik, tetapi menyangkut keberlanjutan ekonomi dan kesehatan mental keluarga pekerja. Dalam konteks ini, keselamatan kerja seharusnya dipahami sebagai tanggung jawab sosial, bukan sekadar urusan internal perusahaan.
Di sisi lain, perusahaan juga menanggung konsekuensi jangka panjang dari budaya kerja yang tidak aman. Kecelakaan kerja tidak hanya menimbulkan kerugian materi, tetapi juga mengganggu keberlangsungan operasional, menurunkan produktivitas, serta menciptakan lingkungan kerja yang penuh risiko. Ketika insiden demi insiden terus terjadi, K3 baru disadari sebagai kebutuhan, padahal seharusnya menjadi bagian dari sistem kerja sejak awal.
Selama K3 masih dipahami sebagai kewajiban tambahan yang menghambat pekerjaan, persoalan keselamatan tidak akan pernah benar-benar selesai. Cara pandang ini perlu dikoreksi, karena K3 sejatinya bukan beban, melainkan investasi jangka panjang bagi pekerja dan perusahaan. Keselamatan kerja tidak seharusnya bergantung pada kepatuhan sesaat, tetapi dibangun melalui komitmen yang konsisten dari seluruh pihak.
Perubahan tidak cukup hanya mengandalkan pekerja di lapangan. Peran manajemen menjadi kunci dalam membentuk budaya keselamatan yang nyata, melalui pengawasan yang tegas, keteladanan pimpinan, serta penegakan aturan yang tidak kompromistis terhadap pelanggaran keselamatan. Ketika keselamatan ditempatkan sejajar dengan target dan produktivitas, K3 tidak lagi dipatuhi karena takut sanksi, melainkan karena kesadaran akan pentingnya melindungi nyawa dan kesehatan manusia.
Pada akhirnya, K3 bukan sekadar soal prosedur atau kelengkapan alat, melainkan tentang cara dunia kerja memandang nilai keselamatan manusia. Mengabaikan K3 berarti menerima risiko sebagai hal yang wajar, padahal setiap kecelakaan kerja menyisakan dampak yang tidak sederhana. Sudah saatnya keselamatan tidak lagi diperlakukan sebagai formalitas, melainkan sebagai fondasi utama dalam membangun lingkungan kerja yang berkelanjutan dan bermartabat.
Keisya Claresta Amelia
Mahasiswa Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
