Dari Kartun ke Krisis Akhlak: Penistaan Terhadap Agama di Ruang Digital Anak
Agama | 2025-12-16 11:00:07
Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia mengonsumsi hiburan, termasuk anak-anak. Film kartun yang dahulu identik dengan nilai edukatif, pesan moral, dan penguatan karakter, kini mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan. Di tengah derasnya arus konten digital, muncul fenomena film kartun anomali yang dikemas dalam bentuk animasi absurd, penuh kekacauan visual dan verbal, serta sarat dengan bahasa kasar dan simbol-simbol yang merendahkan nilai agama. Fenomena ini tidak lagi dapat dipandang sebagai sekadar hiburan ringan, karena dampaknya menjangkau aspek psikologis, moral, dan spiritual anak, serta berpotensi menggerus tatanan nilai sosial dan keagamaan, khususnya terhadap Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Kartun anomali sering kali tampil dengan warna mencolok, irama cepat, dan humor yang dianggap “tidak masuk akal”. Namun di balik kemasan tersebut, tersembunyi pesan-pesan bermasalah yang justru berbahaya ketika dikonsumsi oleh anak-anak. Salah satu bentuk paling serius adalah penggunaan kata-kata yang secara langsung melecehkan Tuhan dan agama Islam. Dalam beberapa video brain rot yang beredar luas, seperti “Tralalero Tralala”, terdapat lirik berbahasa asing yang menyandingkan kata babi dengan Tuhan dan Allah. Secara makna, frasa tersebut merupakan bentuk penghinaan yang nyata terhadap konsep ketuhanan dalam Islam, karena Allah yang Maha Suci disandingkan dengan simbol yang secara teologis dianggap najis dan haram. Ketika kalimat seperti ini diucapkan berulang-ulang dalam lagu kartun yang lucu dan viral, pelecehan agama tidak lagi terasa sebagai pelanggaran serius, melainkan dinormalisasi sebagai candaan.
Lebih jauh lagi, konten brain rot seperti “Bombardino Crocodilo” menampilkan narasi kekerasan yang tidak kalah bermasalah. Dalam liriknya digambarkan sosok buaya terbang yang membom anak-anak di Gaza dan Palestina. Tragedi kemanusiaan yang nyata, di mana anak-anak menjadi korban konflik bersenjata, justru direduksi menjadi hiburan absurd yang diiringi kata-kata kasar. Ini bukan sekadar persoalan empati yang hilang, tetapi juga bentuk kekerasan simbolik yang berbahaya bagi perkembangan psikologis anak. Anak yang terbiasa menonton konten semacam ini berisiko memandang penderitaan manusia sebagai sesuatu yang lucu, biasa, dan tidak perlu disikapi dengan rasa kemanusiaan.
Fenomena ini berkaitan erat dengan istilah brain rot, yaitu kondisi kemerosotan nalar dan kepekaan akibat konsumsi konten digital yang dangkal, repetitif, dan merusak. Anak-anak yang berada dalam fase perkembangan kognitif dan moral sangat rentan terhadap pengaruh visual dan audio yang mereka konsumsi. Ketika kartun yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran justru memuat pelecehan terhadap Tuhan, kekerasan verbal, dan trivialitas terhadap tragedi kemanusiaan, maka terjadi proses pembiasaan yang berbahaya. Nilai agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral, sementara kekerasan kehilangan dimensi etiknya.
Dari perspektif sosial dan keagamaan, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius. Islam menempatkan adab, penghormatan terhadap Allah, dan penjagaan lisan sebagai prinsip fundamental. Pelecehan terhadap Allah bukan hanya melukai perasaan umat, tetapi juga merusak fondasi moral yang menopang kehidupan bersama. Ketika anak-anak tumbuh dengan tontonan yang menertawakan Tuhan dan penderitaan manusia, maka yang terancam bukan hanya akidah individu, tetapi juga kualitas kemanusiaan dan peradaban itu sendiri.
Dalam konteks hukum nasional, fenomena ini sesungguhnya telah memiliki rambu-rambu yang jelas. Konstitusi Indonesia melalui Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Jaminan ini secara implisit mengandung kewajiban negara untuk melindungi agama dari penghinaan dan pelecehan di ruang publik. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 secara tegas melarang perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama. Konten kartun yang menyandingkan Allah dengan simbol hina dan menyebarkannya secara luas melalui media digital memenuhi unsur penodaan agama, terutama ketika dikonsumsi oleh masyarakat umum, termasuk anak-anak.
Selain perlindungan terhadap agama, aspek perlindungan anak juga menjadi landasan hukum yang sangat kuat. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari informasi dan media yang berdampak buruk bagi perkembangan moral, mental, dan spiritualnya. Negara, orang tua, dan masyarakat memiliki kewajiban bersama untuk memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan bermartabat. Kartun anomali yang memuat bahasa kasar, kekerasan simbolik, dan pelecehan agama jelas bertentangan dengan semangat undang-undang ini. Dalam ranah digital, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberikan dasar hukum untuk menindak penyebaran konten bermuatan penghinaan dan ujaran kebencian yang berpotensi merusak ketertiban umum.
Di tengah realitas tersebut, peran orang tua menjadi sangat krusial. Orang tua adalah benteng pertama dan utama dalam melindungi anak dari dampak negatif media. Pengawasan terhadap tontonan anak tidak lagi bisa diserahkan sepenuhnya kepada algoritma platform digital. Orang tua perlu aktif mendampingi, menyaring, dan mendiskusikan konten yang dikonsumsi anak. Ketika anak terpapar konten bermasalah, orang tua perlu menjelaskan dengan bahasa yang sesuai usia bahwa menghina Tuhan dan menertawakan penderitaan orang lain adalah perbuatan yang salah, baik menurut agama maupun nilai kemanusiaan. Keteladanan dalam bersikap santun, menghormati agama, dan berempati akan membentuk filter nilai yang kuat dalam diri anak.
Masyarakat secara kolektif juga memikul tanggung jawab moral. Sikap permisif terhadap konten anomali dengan alasan “sekadar hiburan” justru memperparah kerusakan nilai. Budaya saling mengingatkan, melaporkan konten bermasalah, dan tidak ikut menyebarkan video yang melecehkan agama merupakan bentuk partisipasi sosial yang penting. Dunia fashion dan industri kreatif, yang memiliki pengaruh besar terhadap gaya hidup anak dan remaja, juga perlu bersikap etis dan bertanggung jawab. Ekspresi kreatif seharusnya tidak dibangun di atas penghinaan terhadap agama atau normalisasi kekerasan, melainkan diarahkan pada nilai estetika yang selaras dengan moral dan budaya bangsa.
Dunia pendidikan memiliki peran strategis dalam membentengi generasi muda dari brain rot. Sekolah dan perguruan tinggi tidak cukup hanya mentransfer pengetahuan akademik, tetapi juga harus menanamkan pendidikan karakter, literasi media, dan penguatan nilai keagamaan. Peserta didik perlu dibekali kemampuan berpikir kritis agar tidak menerima mentah-mentah konten digital yang mereka konsumsi. Pendidikan agama harus mampu menjelaskan secara kontekstual mengapa penghormatan terhadap Tuhan dan kemanusiaan merupakan fondasi kehidupan bersama, bukan sekadar dogma normatif.
Pada akhirnya, tanggung jawab terbesar berada pada negara. Pemerintah memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi agama dan anak dari dampak negatif media. Pengawasan konten digital, penegakan hukum terhadap penodaan agama, serta kebijakan perlindungan anak di ruang siber harus dilakukan secara konsisten dan adil. Selain pendekatan represif, pemerintah juga perlu mendorong pendekatan preventif melalui literasi digital nasional, kerja sama dengan platform media, serta dukungan terhadap produksi konten anak yang edukatif, beretika, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.
Fenomena kartun anomali dan brain rot bukan sekadar persoalan selera hiburan, melainkan persoalan serius tentang arah pembentukan generasi masa depan. Ketika pelecehan terhadap Allah, agama Islam, dan tragedi kemanusiaan dinormalisasi sejak usia dini, maka yang dipertaruhkan adalah akidah, akhlak, dan kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dan tindakan nyata dari seluruh elemen bangsa agar ruang hiburan anak kembali menjadi ruang yang mendidik, memanusiakan, dan menghormati nilai agama serta martabat manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
