Kini Satu Pekerjaan tidak Cukup untuk Penghasilan yang Stabil
Humaniora | 2025-12-15 12:12:33
Saya masih ingat betul ketika pertama kali menerima slip gaji sebagai guru honorer dikampung halaman. Dapat penghasilan sebesar Rp600.000 rasanya sudah senang sekali. Senang, tapi tidak cukup untuk mencukup kebutuhan keluarga.
Sebagai anak tentunya bukan berpikir tentang diri sendiri, tapi juga tentang orang tua, dan adik-adik yang masih sekolah. Singkat cerita, akhirnya memutuskan diri untuk menjadi karyawan dengan upah yang hampir UMR.
Ada rasa bangga karena akhirnya memiliki penghasilan sendiri. Namun rasa itu perlahan berubah menjadi perenungan panjang ketika dihadapkan pada realitas hidup sehari-hari. Gaji yang diterima setiap bulan terasa seperti lewat begitu saja, bahkan sering kali habis sebelum tanggal tua benar-benar datang.
Sebagai karyawan dengan gaji UMR, kebutuhan hidup bukanlah hal sederhana. Ada biaya makan, transportasi, pulsa dan internet, tempat tinggal, hingga kebutuhan tak terduga seperti kesehatan.
Belum lagi jika sudah berkeluarga atau memiliki tanggungan lain. Pada titik inilah saya mulai menyadari bahwa satu pekerjaan saja, di era sekarang, sering kali tidak cukup untuk menciptakan penghasilan yang stabil.
Hidup di desa dan hidup di kota memberikan pengalaman yang sangat berbeda. Saya lahir dan besar di desa, di mana banyak kebutuhan masih bisa dipenuhi tanpa harus selalu mengeluarkan uang.
Sayur bisa memetik di kebun, air bersih tersedia dari sumur, bahkan beternak ayam atau ikan masih memungkinkan karena lahan yang cukup. Biaya hidup terasa lebih ringan karena alam ikut membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun ketika merantau ke kota demi pekerjaan, semuanya berubah. Di kota, hampir semua hal memiliki harga. Sayur harus dibeli, air harus dibayar, listrik dan internet menjadi kebutuhan pokok, bukan lagi pelengkap.
Ruang hidup yang sempit membuat beternak atau bercocok tanam menjadi hal yang sulit dilakukan. Setiap hari terasa seperti perlombaan antara pemasukan dan pengeluaran.
Realitas inilah yang mendorong banyak karyawan, termasuk saya, untuk mencari penghasilan sampingan. Bukan karena gaya hidup mewah, melainkan demi bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup dengan layak.
Tidak heran jika kita melihat banyak pekerja kantoran yang selepas jam kerja berganti peran menjadi ojek online, kurir delivery, atau membuka usaha kecil-kecilan. Saya pun demikian, tetap mengerjakan usaha sampingan untuk mencukupi kebutuh dan mencapai impian yang masih masih banyak terwujud.
Saya bercerita dengan rekan kerja yang siang hari duduk di balik meja kantor, namun malam harinya jadi driver online mobil. Ada pula yang memanfaatkan akhir pekan untuk berjualan online, membuka jasa desain, menulis lepas, atau berdagang makanan rumahan. Semua dilakukan dengan satu tujuan yang sama: menambah penghasilan agar hidup lebih aman dan tidak selalu berada di ujung kekhawatiran.
Penghasilan sampingan bukan hanya soal uang, tetapi juga soal ketenangan batin. Ketika ada sumber pemasukan tambahan, tekanan psikologis sedikit berkurang. Kita tidak lagi sepenuhnya bergantung pada satu gaji bulanan. Jika terjadi hal tak terduga, setidaknya masih ada cadangan yang bisa diandalkan.
Tentu mencari penghasilan tambahan bukan tanpa tantangan. Waktu istirahat berkurang, tenaga terkuras, dan manajemen waktu menjadi ujian tersendiri. Namun bagi banyak karyawan UMR, pilihan ini sering kali bukan soal mau atau tidak mau, melainkan perlu atau tidak perlu. Dan jawabannya, bagi sebagian besar dari kami, adalah perlu.
Fenomena ini juga menjadi cerminan bahwa dunia kerja dan biaya hidup terus mengalami perubahan. Kenaikan harga kebutuhan sering kali tidak sebanding dengan kenaikan upah. Akibatnya, kreativitas dan kerja ekstra menjadi solusi yang diambil oleh banyak pekerja.
Menjalani dua peran sekaligus memang melelahkan, tetapi juga mengajarkan banyak hal: tentang disiplin, ketahanan, dan nilai sebuah usaha. Saya belajar bahwa bekerja keras bukan semata-mata demi angka di rekening, melainkan demi kehidupan yang lebih layak dan bermartabat.
Kini, satu pekerjaan memang sering kali tidak cukup. Namun dengan tekad, usaha tambahan, dan pengelolaan yang bijak, kita tetap bisa bertahan dan perlahan membangun kestabilan finansial di tengah realitas hidup perkotaan yang serba berbayar.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
