Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image asilahhusain

Tauhid sebagai Rumah Pulang: Menemukan Tenang di Tengah Kekacauan Mental

Agama | 2025-12-12 14:04:24

Percakapan tentang kesehatan mental kini hadir di hampir setiap sudut media digital. Unggahan tentang overthinking, strategi mengatasi kecemasan, hingga tips membangun self-love muncul tanpa henti. Banyak orang mulai mengenal terapi, mindfulness, konseling, dan berbagai metode self-healing yang dianggap dapat merapikan pikiran. Namun di tengah melimpahnya metode itu, kegelisahan justru tetap menghantui. Seakan-akan semakin banyak yang dicoba, semakin sering kegelisahan itu Kembali lebih kuat, lebih sunyi, dan lebih sulit dijelaskan.

Fenomena ini menyingkap satu titik buta dalam diskursus kesehatan mental modern: ia banyak berbicara soal teknik, tetapi jarang mengulik makna. Banyak yang mencoba menenangkan pikiran tanpa benar-benar menjawab pertanyaan eksistensial yang jauh lebih mendasar: Untuk apa aku hidup? Apa arah perjalanan ini? Dan kepada siapa aku bersandar ketika dunia terasa berat? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak selalu muncul dalam ruang terapi, tetapi nyata di kamar tidur seseorang di tengah malam ketika pikiran sudah lelah, tetapi hati belum menemukan tempat pulang.

Pada saat banyak orang mencari pegangan dalam pencapaian, prestasi akademik, standar kecantikan, validasi publik, dan citra digital, ketidakstabilan justru semakin terasa. Mengapa? Karena semua itu adalah penopang yang berubah-ubah. Ketika manusia menjadikan hal-hal yang rapuh sebagai pusat hidupnya, jiwanya pun ikut menjadi rapuh. Ketika pujian naik, tenangnya ikut naik. Ketika kritik datang, hatinya runtuh. Ketika diri gagal tampil sempurna, ia merasa hancur seakan hidup kehilangan makna.

Dalam perspektif tafsir aqaidi, problem ini bukan sekadar isu mental. Ini masalah orientasi hidup. QS ar-Ra’d ayat 28 menyebutkan: “Ala bidzikrillahi tatmainnul qulub.” Artinya, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menjelaskan bahwa dzikrullah bukan hanya pengulangan lisan, tetapi kesadaran batin bahwa hidup ini berada dalam genggaman Allah. Kesadaran inilah yang menstabilkan jiwa. Sebab yang merusak ketenangan bukan sekadar beban hidup, melainkan perasaan bahwa beban itu harus ditanggung seorang diri.

Ketika seseorang merasa seluruh hasil hidup harus ia pastikan sendiri, seluruh rencana harus sempurna, dan seluruh potensi kegagalan harus ia hindari, ia sebenarnya sedang menempatkan dirinya pada posisi yang tidak realistis bahkan tidak manusiawi. Tauhid mengingatkan bahwa manusia bukan pengatur alam semesta. Manusia berusaha, tetapi Allah yang menentukan. Inilah yang membuat tauhid menjadi pilar ketenangan, bukan sekadar doktrin akidah.

Contoh paling sederhana dapat dilihat pada mahasiswa atau pekerja yang merasa hancur ketika gagal memenuhi targetnya. Tanpa fondasi tauhid, kegagalan kecil terasa seperti ancaman besar bagi nilai diri. Namun ketika ia memahami bahwa setiap hasil berada dalam qadar Allah, kegagalan tidak lagi menghancurkan mental. Ia tetap sedih, tetap kecewa, tetapi tidak runtuh. Tauhid memberi jarak antara musibah dan kehancuran batin. Musibah terjadi; batin tetap kokoh.

Fenomena modern juga melahirkan slogan seperti you are enough, trust yourself, atau love yourself first. Sekilas terdengar memotivasi. Namun jika dipahami secara ekstrem, slogan itu bisa menjerumuskan manusia pada pusat kesalahan yang sama: menjadikan diri sebagai sumber kekuatan mutlak. Padahal manusia memiliki keterbatasan yang tidak mungkin dihapus. QS al-An’am ayat 102 menegaskan: “Dzalikumullahu rabbukum la ilaha illa huwa khaliqu kulli syai’.” Artinya, Allah-lah Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Ibn Kathir menafsirkan bahwa ayat ini meneguhkan posisi manusia sebagai hamba, bukan penguasa tunggal atas kehidupan. Ketika manusia memaksa menjadi pusat segalanya, ia menanggung beban psikis yang tidak sanggup ia pikul.

Tauhid juga membentuk cara seseorang memandang ujian. QS al-Fajr ayat 27–30 menggambarkan an-nafs al-muthma’innah, jiwa yang tenang, bukan karena hidup tanpa masalah, tetapi karena ia mengenal Tuhannya dan mengetahui arah pulangnya. Dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn ‘Ashur menjelaskan bahwa ketenangan jiwa dalam ayat ini lahir dari keyakinan bahwa setiap kejadian berada dalam pengawasan Allah dan setiap takdir mengandung hikmah yang mendidik. Dengan perspektif ini, seseorang dapat menghadapi tekanan akademik, pekerjaan, atau keluarga tanpa merasa jiwanya tercerabut.

Metode kontemporer seperti terapi psikologi, konseling, olahraga, atau latihan mindfulness tetap penting. Islam tidak menolak sebab duniawi. Namun metode-metode itu bekerja pada lapisan teknis psikologis sedangkan tauhid bekerja pada akar eksistensial. Ketika manusia hanya memakai teknik tanpa menata orientasi hidup, hasilnya sering sementara. Ia tenang hari ini, cemas lagi besok. Sebab masalahnya bukan hanya bagaimana ia bernapas, tetapi apa yang ia yakini tentang hidup.

Pada titik ini, penting ditegaskan bahwa tauhid bukan “obat instan” bagi semua problem mental. Ia bukan pengganti psikoterapi atau intervensi medis. Namun ia memberi landasan batin yang membuat semua metode itu bekerja lebih stabil. Tauhid memberi rumah pulang bagi jiwa sebagai tempat jiwa kembali ketika dunia terlalu bising, ketika target tidak tercapai, ketika hubungan tidak berjalan, atau ketika masa depan terasa gelap.

Seseorang yang bertauhid tidak berarti bebas dari stres. Namun stres itu tidak menjadikannya hancur. Ia tetap bekerja, tetapi tidak diperbudak performa. Ia tetap berusaha, tetapi tidak tercekik perfeksionisme. Ia tetap bermimpi, tetapi tidak tenggelam dalam kecemasan jika harapan tidak sesuai kenyataan. Tauhid menata ulang pusat kontrol emosinya sehingga ia tidak hidup dalam ketakutan yang berlebihan.

Pada akhirnya, pertanyaan paling penting bagi manusia modern bukanlah: “Metode self-care apa yang paling ampuh?” tetapi “Apakah aku sudah menata tauhidku sebagai pusat hidup?” Sebab teknik dapat menenangkan, tetapi tauhidlah yang menegakkan. Teknik memberi jeda, tetapi tauhid memberi arah. Teknik meredakan, tetapi tauhid menguatkan.

Ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya berada di tangan Allah, ia menemukan titik paling stabil yang dapat dimiliki manusia. Titik yang tidak berubah oleh komentar orang, nilai ujian, gaji kerja, atau penolakan sosial. Titik itu bernama keyakinan. Dan dari keyakinan itulah hati menemukan rumah pulangnya yaitu tempat tenang yang tidak bisa diberikan dunia, sekeras apa pun dunia mencoba.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image