Kartu Kredit Syariah: Problematika Implementasi di Perbankan Syariah
Bisnis | 2025-12-11 07:43:18
Penggunaan kartu kredit telah menjadi bagian dari sistem transaksi modern di berbagai negara, termasuk dalam perkembangan industri perbankan syariah. Fasilitas ini menawarkan kemudahan pembayaran tanpa uang tunai, sehingga memudahkan proses belanja, pembayaran tagihan, maupun transaksi daring. Dalam kerangka keuangan Islam, penggunaan kartu kredit diperbolehkan selama mekanismenya tidak mengandung unsur riba, gharar, ataupun praktik yang dilarang.
Penilaian syariah terhadap kartu kredit berlandaskan pada firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Penjelasan singkat: ayat ini menetapkan perbedaan antara transaksi pertukaran yang sah dan tambahan nilai atas utang yang dilarang. Model kartu kredit syariah harus bebas dari unsur bunga yang termasuk kategori riba.
Sunnah Nabi juga memberikan landasan etika pembayaran. Dalam HR. Bukhari dan Muslim disebutkan:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah kezaliman.” Penjelasannya, Islam mengajarkan agar seseorang tidak menunda pelunasan utang tanpa alasan yang dibenarkan. Karena itu, sistem kartu kredit syariah harus mengatur penagihan secara adil dan tidak menjadikan denda sebagai sumber keuntungan.
Dalam fiqh, terdapat kaidah yang menjadi fondasi hukum utang-piutang:
قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang yang mendatangkan manfaat (bagi pemberi utang) adalah riba.” Penjelasan: kaidah ini mengharuskan bank syariah untuk tidak mengambil keuntungan dari akad qardh. Keuntungan hanya boleh diperoleh melalui akad jasa yang sah.
Kaidah fiqh lainnya adalah:
الْغُنْمُ بِالْغُرْمِ
“Keuntungan harus sejalan dengan risiko.” Penjelasannya, syariah hanya memperbolehkan keuntungan jika pihak penyedia jasa menanggung risiko yang diakui syariat. Dalam kartu kredit syariah, risiko tersebut berada pada akad kafalah atau ijarah, bukan pada qardh.
Selain itu, fiqh menolak ketidakjelasan dalam transaksi melalui kaidah:
الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan tidak hilang karena keraguan.” Penjelasan: seluruh biaya layanan, struktur akad, dan mekanisme penggunaan kartu harus disampaikan dengan jelas agar tidak mengandung gharar.
Kerangka operasional kartu kredit syariah di Indonesia diatur melalui Fatwa DSN-MUI No. 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card. Fatwa ini menetapkan bahwa kartu kredit syariah harus menggunakan kombinasi akad kafalah, qardh, dan ijarah, di mana setiap akad harus berdiri sendiri tanpa saling tercampur.
Akad-Akad yang Digunakan dalam Perbankan Syariah pada Produk Kartu Kredit
- Akad Kafalah (Penjaminan): Bank bertindak sebagai penjamin pembayaran nasabah kepada merchant. Bila nasabah bertransaksi, bank menanggung pembayaran terlebih dahulu. Penjelasan: akad ini menempatkan bank sebagai penanggung risiko jaminan, sehingga menjadi dasar utama kartu kredit syariah.
- Akad Qardh (Pinjaman Tanpa Tambahan): Jika nasabah melakukan penarikan tunai, hubungan antara bank dan nasabah berupa pinjaman. Tidak boleh ada tambahan apa pun dari akad qardh. Penjelasan: qardh hanya berfungsi sebagai fasilitas, bukan sumber pendapatan bank.
- Akad Ijarah (Biaya Jasa Layanan): Bank memperoleh pendapatan melalui biaya yang dikenakan atas layanan kartu, seperti biaya tahunan atau biaya administrasi. Penjelasan: ijarah merupakan akad jasa yang sah sebagai sumber pendapatan karena tidak terkait dengan penambahan atas utang.
- Akad Ujrah (Imbalan Jasa Tetap): Dalam standar internasional, biaya kartu kredit syariah dapat dikategorikan sebagai ujrah, yaitu imbalan jasa atas fasilitas tertentu. Penjelasannya, ujrah tidak boleh dihitung berdasarkan nilai pinjaman tetapi berdasarkan jasa nyata.
- Pembatasan Transaks: Perbankan syariah juga menerapkan penyaringan transaksi. Kartu tidak dapat digunakan untuk aktivitas non-halal seperti perjudian, alkohol, transaksi bunga, atau produk yang bertentangan dengan syariat. Penjelasan: penyaringan ini merupakan implementasi prinsip larangan tolong-menolong dalam dosa.
Dalam sistem global perbankan syariah, ketiga akad utama kafalah, qardh, dan ijarah ditetapkan agar tidak bercampur dan tidak melahirkan syarat tambahan yang mendekati riba. Persyaratan ini juga sejalan dengan standar internasional seperti AAOIFI yang menegaskan pemisahan akad sebagai syarat kesesuaian syariah.
Dengan penerapan prinsip-prinsip hukum Islam tersebut, kartu kredit di lembaga keuangan syariah dapat berfungsi sebagai alat pembayaran modern yang tetap berada dalam batas syariat, melalui kejelasan akad, transparansi biaya layanan, dan penghindaran dari segala bentuk riba serta transaksi yang dilarang.
Refleksi
Keberadaan kartu kredit syariah menunjukkan bahwa inovasi sistem keuangan modern dapat selaras dengan nilai-nilai Islam selama prinsip-prinsip muamalah dijadikan fondasinya. Kemudahan transaksi yang dihadirkan oleh instrumen ini tidak hanya berbicara soal kepraktisan, tetapi juga menuntut kesadaran bahwa setiap aktivitas finansial memiliki dimensi etis dan spiritual. Seorang Muslim diharapkan mampu memanfaatkan fasilitas tersebut tanpa menyimpang dari ketentuan syariah yang menjaga keadilan dan kehati-hatian.
Fatwa-fatwa DSN-MUI menjadi pedoman penting dalam memastikan bahwa produk kartu kredit syariah bebas dari unsur riba, gharar, maupun praktik yang merugikan. Meskipun lembaga keuangan syariah telah merancang mekanisme kartu kreditnya agar sesuai dengan akad yang sah dan transparan, kontrol diri tetap merupakan faktor utama. Tanpa kedisiplinan, kemudahan transaksi dapat berubah menjadi pemicu perilaku konsumtif atau pembentukan kebiasaan berutang yang tidak sehat, sehingga menjauhkan pengguna dari tujuan syariah dalam bermuamalah.
Dengan menempatkan nilai-nilai Islam sebagai dasar penggunaan kartu kredit syariah, seorang Muslim dapat membangun pola konsumsi yang lebih terukur dan bertanggung jawab. Kartu kredit termasuk yang berbasis prinsip syariah selayaknya dipahami sebagai sarana pendukung, bukan simbol gaya hidup atau alat untuk memperbesar keinginan. Ketika digunakan dengan bijaksana, jujur, dan proporsional, setiap transaksi bukan hanya sah menurut hukum syariah, tetapi juga diharapkan mendatangkan keberkahan dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan finansial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
