Ketika Obat Berubah Menjadi Racun dan Hak atas Kesehatan Terabaikan dalam Tragedi Gagal Ginjal
Eduaksi | 2025-12-10 18:22:20Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kasus Peningkatan Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal pada Anak Akibat Mengonsumsi Obat Sirup Berbahaya
Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) yang mencuat pada pertengahan tahun 2022 menjadi salah satu tragedi kesehatan paling memilukan dalam sejarah Indonesia. Ratusan anak tiba-tiba mengalami kerusakan ginjal akut setelah mengonsumsi obat sirup yang ternyata mengandung cemaran beracun berupa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Dua zat ini lazim dipakai dalam produk industri seperti cairan pembersih, bukan untuk dikonsumsi oleh manusia—apalagi oleh anak-anak.
Hingga akhir 2022, lebih dari 190 anak meninggal dari lebih dari 300 kasus. Banyak keluarga kehilangan anak secara tiba-tiba, sementara sebagian korban yang selamat mengalami gangguan kesehatan jangka panjang. Fakta ini menegaskan betapa berbahayanya cemaran EG/DEG yang dikonsumsi melalui obat sirup yang diproduksi pada 2022 dan sebelumnya.
Peristiwa ini mengguncang rasa aman masyarakat. Obat yang seharusnya menyembuhkan justru berubah menjadi racun mematikan. Orang tua yang awalnya hanya ingin meredakan demam atau batuk anak, tidak pernah menyangka bahwa obat-obatan tersebut dapat merenggut nyawa. Lonjakan kasus antara Agustus hingga Oktober 2022 membawa ketakutan besar di tengah masyarakat. Banyak orang tua mulai ragu memberikan obat sirup, bahkan terhadap produk yang sebenarnya aman.
- Dari sudut pandang etika dan hukum kesehatan dan HAM, tragedi yang sangat memilukan ini termasuk dalam kategori pelanggaran HAM BERAT, terutama:
· Hak untuk hidup, sebagaimana dijamin UUD 1945 dan UU HAM.
· Hak atas kesehatan, yaitu hak untuk memperoleh obat dan pelayanan kesehatan yang aman.
· Hak anak, kelompok paling rentan yang seharusnya mendapat perlindungan ekstra.
· Hak konsumen terhadap informasi yang benar dan jujur, yang tidak terpenuhi karena nyatanya obat berbahaya tetap beredar di pasaran.
- Tragedi GGAPA memberi pelajaran besar bahwa hak atas kesehatan bukan sekadar slogan, tetapi amanat konstitusi. Pemerintah perlu:
1. Menguatkan pengawasan obat, terutama pre- dan post-market.
2. Menjamin transparansi dan respons cepat dalam kasus obat berbahaya.
3. Memberikan kompensasi yang adil bagi keluarga korban.
4. Melakukan reformasi sistem kesehatan dan farmasi untuk mencegah kejadian serupa terjadi kembali.
5. Melibatkan Komnas HAM secara penuh dalam investigasi.
Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi orang tua yang kehilangan anak, maupun bagi anak-anak yang harus hidup dengan dampak jangka panjang dari kerusakan ginjal. Namun lebih dari itu, kasus ini menjadi pengingat bahwa keamanan obat bukan sekadar urusan teknis, melainkan isu kemanusiaan.
Kasus GGAPA bukan sekadar kegagalan teknis di industri farmasi—melainkan tragedi kemanusiaan yang mencerminkan lemahnya perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Ketika obat yang seharusnya menyembuhkan justru membunuh, maka negara wajib mempertanggung jawabkannya dan menjamin bahwa tragedi serupa tidak pernah terulang. Setiap anak berhak tumbuh sehat, aman, dan terlindungi — bukan justru menjadi korban dari obat yang seharusnya menyembuhkan. Perlindungan kesehatan adalah hak dasar setiap warga negara, terutama anak-anak yang merupakan masa depan bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
