Redenominasi Rupiah: Merapikan Nol, Merapikan Persepsi Publik
Info Terkini | 2025-12-10 14:36:49
Wacana redenominasi Rupiah kembali mencuat ke permukaan, seolah bangun dari tidur panjang. Rencana penyederhanaan nominal mata uang, di mana Rp1.000 akan menjadi Rp1, kini tengah diupayakan kerangka regulasinya oleh pemerintah melalui peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70 Tahun 2025, dengan target RUU tuntas pada 2027. Langkah ini merupakan kebijakan yang ambisius, menjanjikan efisiensi dan citra mata uang yang lebih sehat dari dunia. Namun, keberhasilannya tidak hanya diukur dari kesiapan infrastruktur moneter dan fisikal, melainkan juga dari kesiapan psikologis dan “memori kolektif” masyarakat.
di Kalangan Ritel Modern Reaksi paling gesit dan responsif datang dari gerai ritel modern, sebagaimana diwakili oleh Ketua Umum Hippindo. Dukungan ini beralasan. Secara teknis tumpukkan nol pada harga barang, terutama yang bernilai jutaan (seperti perangkat elektronik), sering kali menyulitkan dalam penulisan label harga (price tag), print out struk kasir, dan pembukuan.
“Nol itu dibuang, nggak perlu juga” ujar ritel
Redenominasi menawarkan solusi kosmetik yang instan: merapikan deretan angka. Harga PlayStation yang sebelumnya tertera Rp5.500.000 menjadi Rp5.500, atau bahkan Rp5.5. Kemudahan visual ini diharapkan dapat mengurangi potensi kesalahan administrasi dan mempercepat transaksi di gerai-gerai modern. Dari sudut pandang efisiensi ekonomi mikro, alasan ini patut diberi dukungan.
Menjaga Nilai, Menangkal Inflasi
Meskipun demikian, setiap kali isu redenominasi diangkat, kekhawatiran klasik akan lonjakan inflasi selalu membayangi. Ketakutan terbesar adalah praktik pembulatan harga ke atas (rounding up) oleh pelaku usaha. Dalam transisi, harga barang yang semula Rp8.750 berpotensi dibulatkan menjadi Rp9 alih-alih menjadi Rp8.75 atau Rp8.8. Jika ini terjadi secara masif, daya beli masyarakat akan tergerus.
Pihak ritel modern telah menanggapi kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi, karena sistem baru harus mengakomodasi uang pecahan yang setara dengan sen atau pecahan 50 sen. Ini berarti, agar redenominasi tidak menjadi inflasi terselubung, Bank Indonesia harus memastikan ketersediaan mata uang logam atau uang kertas bernilai sangat kecil (seperti Rp0.5 atau Rp1 yang baru).
Tantangannya adalah memastikan kepatuhan harga ini tidak hanya terjadi di ritel modern yang terkomputerisasi, tetapi juga di sektor informal dan pasar tradisional, di mana sistem pembukuan masih bersifat manual dan kasual. Otoritas moneter wajib bekerja keras untuk menjamin bahwa penyederhanaan nominal ini betul-betul bernilai netral terhadap harga.
Tantangan Memori Kolektif: Menjembatani Rp1 Lama dan Rp1 Baru
Di luar aspek teknis dan ekonomi, ada tantangan yang lebih mendasar, yaitu aspek sosial dan memori kolektif masyarakat Indonesia terhadap nilai uang.
Saat ini, uang Rp1 atau Rp50 adalah koin yang nyaris tak bernilai dan sulit digunakan dalam transaksi sehari-hari. Ia sering terlupakan di laci atau menjadi sisa kembalian yang diabaikan. Redenominasi akan mengubah Rp1 yang "sepele" itu menjadi Rp1 yang "berharga," setara dengan Rp1.000 saat ini.
Memori kolektif kita tentang uang didasarkan pada jumlah nol. Orang Indonesia sudah terbiasa dengan mata uang bernilai besar (jutaan, bahkan milyaran) untuk aset biasa (rumah, mobil). Melalui proses sosialisasi yang panjang, otak kita telah "memprogram" bahwa Rp100.000 adalah uang besar, dan Rp1.000 adalah uang kecil.
Ketika Rp100.000 menjadi Rp100, diperlukan pendidikan dan adaptasi massal agar masyarakat tidak panik atau, sebaliknya, tidak menganggap enteng nilai Rp100 yang baru tersebut. Pengalaman pribadi yang emosional, seperti saat berbelanja dan tiba-tiba melihat label harga yang "terlalu murah," bisa memicu kebingungan dan ketidakpercayaan publik terhadap nilai mata uang.
Oleh: Keisha Septiani Evangeline Rahardja dari Fakultas Psikologi Prodi Psikologi Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
