Menghidupkan Nilai Pancasila dalam Identitas Digital Generasi Z
Teknologi | 2025-12-09 20:30:22
Daftar Referensi
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). (2021). Pancasila dan Tantangan Era Digital.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kominfo & Siberkreasi. (2023). Laporan Indeks Literasi Digital Nasional.
Mastuhu. (2020). Internalisasi Nilai dan Pendidikan Karakter Abad 21. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah menghasilkan perubahan signifikan dalam pola interaksi sosial, cara berpikir, serta proses pembentukan identitas manusia modern. Generasi Z yang lahir dan tumbuh dalam era digital menjadi kelompok yang paling terdampak oleh transformasi ini karena kehidupan mereka tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan berlangsung secara simultan di ruang digital. Media sosial, kecerdasan buatan, platform hiburan digital, serta gim daring telah menjadi ruang sosial baru yang membentuk cara generasi ini berkomunikasi, mengambil keputusan, dan memahami dunia di sekitarnya. Meski memberikan peluang besar bagi perkembangan kreativitas dan akses pengetahuan, ruang digital juga membawa tantangan berupa degradasi moral, polarisasi sosial, dan hilangnya orientasi nilai. Kondisi tersebut menegaskan kembali pentingnya menghadirkan nilai dasar negara, Pancasila, sebagai fondasi etik bagi generasi muda dalam mengarungi kompleksitas era digital.
Secara historis, Pancasila dirumuskan bukan sebagai dokumen normatif yang statis, melainkan sebagai ideologi terbuka yang mampu menjawab dinamika perubahan zaman. Kaelan (2013) menekankan bahwa sifat terbuka Pancasila memungkinkan nilai-nilainya untuk terus ditafsirkan sesuai konteks perkembangan masyarakat tanpa menghilangkan hakikat dan prinsip fundamentalnya. Dengan demikian, relevansi Pancasila tidak hanya terletak pada kedudukan formalnya sebagai dasar negara, tetapi juga pada potensinya sebagai paradigma etis dan filosofis yang dapat menuntun perilaku warga negara dalam berbagai situasi, termasuk dalam interaksi digital.
Tantangan utama yang muncul dalam ruang digital berkaitan dengan etika bermedia dan ketahanan moral generasi muda. Laporan Kominfo dan Siberkreasi (2023) menunjukkan peningkatan signifikan pada penyebaran hoaks, ujaran kebencian, radikalisme digital, dan tindakan perundungan siber, terutama di kalangan remaja. Fenomena ini memperlihatkan lemahnya literasi etika digital serta kecenderungan penggunaan teknologi tanpa kesadaran moral. Dalam konteks ini, sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dapat menjadi landasan etik bagi perilaku bermedia digital. Pemahaman bahwa di balik layar terdapat manusia dengan hak dan martabat yang patut dihormati merupakan prinsip penting yang harus diinternalisasi oleh Generasi Z dalam aktivitas digital mereka. Sementara itu, sila ketiga, Persatuan Indonesia, menjadi instrumen penting untuk mereduksi polarisasi dan retorika kebencian yang sering muncul dalam interaksi digital, terutama dalam isu-isu politik dan identitas.
Selain etika digital, tantangan lain yang dihadapi Generasi Z adalah tergerusnya identitas kebangsaan akibat arus globalisasi yang semakin masif. Paparan budaya asing melalui K-pop, film internasional, tren media sosial, hingga ideologi global seperti liberalisme dan kapitalisme digital, dapat menjadi ancaman apabila tidak diimbangi dengan kemampuan filtrasi nilai. Kehilangan orientasi budaya atau cultural disorientation menjadi risiko nyata ketika identitas nasional tidak dibangun secara kuat. Dalam hal ini, sila pertama dan kelima Pancasila memberikan kerangka filosofis untuk menyeimbangkan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Nilai gotong royong, toleransi, serta keadilan sosial tidak lagi harus dimaknai dalam wujud tradisional, tetapi dapat dimaknai ulang dalam bentuk praktik kolaboratif digital seperti crowdfunding, kampanye sosial daring, dan gerakan solidaritas berbasis komunitas online.
Nilai-nilai Pancasila juga memiliki fungsi strategis dalam membentuk karakter kepemimpinan Generasi Z sebagai calon pemimpin masa depan. Tuntutan terhadap pemimpin masa depan tidak hanya mencakup kecakapan teknologi, tetapi juga integritas moral, empati sosial, dan keadilan. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, memberikan paradigma kepemimpinan partisipatif yang sejalan dengan karakter Generasi Z yang cenderung terbuka, kolaboratif, dan komunikatif. Konsep musyawarah dan pengambilan keputusan berbasis kolektif relevan diterapkan dalam dunia pendidikan, organisasi, maupun dunia kerja melalui budaya diskusi terbuka, pemecahan masalah bersama, dan ruang aspirasi yang setara.
Untuk memastikan nilai Pancasila tidak berhenti pada tataran slogan, proses internalisasi nilai harus dilakukan secara kreatif, kontekstual, dan relevan dengan budaya digital tempat Generasi Z berkembang. Mastuhu (2020) menekankan perlunya pergeseran dari pembelajaran Pancasila yang bersifat tekstual menuju pendekatan kontekstual yang menekankan pengalaman, analisis kritis, dan penerapan nyata. Pendekatan berbasis proyek, digital storytelling, simulasi sosial, hingga produksi konten kreatif dapat menjadi strategi efektif untuk menanamkan nilai Pancasila dalam budaya digital. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram dapat dimanfaatkan sebagai media edukatif yang mampu menjangkau generasi muda secara lebih natural dan komunikatif.
Selain institusi pendidikan, keluarga dan lingkungan sosial memiliki kontribusi besar dalam proses pembentukan karakter digital yang berlandaskan nilai Pancasila. Keteladanan—baik dalam sikap toleransi, empati, disiplin, maupun tanggung jawab sosial—menjadi faktor yang menentukan berhasil tidaknya internalisasi nilai. Nilai moral tidak dapat tumbuh hanya melalui instruksi, tetapi berkembang melalui contoh nyata dan konsistensi dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, penguatan nilai Pancasila dalam identitas digital Generasi Z bukan hanya menjadi kebutuhan ideologis, tetapi juga kebutuhan strategis untuk memastikan ketahanan moral bangsa di tengah perubahan teknologi yang pesat. Ruang digital dapat menjadi lingkungan yang produktif, inklusif, dan beradab apabila diisi oleh generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga memiliki fondasi nilai yang kuat. Oleh karena itu, tantangan sesungguhnya bukan terletak pada apakah Generasi Z mengetahui Pancasila, tetapi pada sejauh mana mereka mampu menjadikannya kompas moral dalam menghadapi kompleksitas dunia digital. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam identitas digital, Generasi Z dapat menjadi pendorong terwujudnya masyarakat Indonesia yang lebih humanis, berkeadilan, dan adaptif terhadap perkembangan global.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
