Olahan Sagu Khas Kepulauan Mentawai: Warisan Pangan Lokal yang Tetap Bertahan
Kuliner | 2025-12-08 18:17:36Oleh Ridwan Rizkyanto
Dosen Universitas Andalas
Sagu telah lama menjadi identitas pangan masyarakat Kepulauan Mentawai. Di tengah arus modernisasi yang mendorong masyarakat mengonsumsi pangan instan dan beras sebagai sumber karbohidrat utama, Mentawai tetap mempertahankan sagu sebagai fondasi budaya, ekonomi, dan ketahanan pangannya. Masyarakat Mentawai tidak hanya memanfaatkan sagu sebagai bahan baku pangan, tetapi juga sebagai bagian dari ritual adat, kegiatan gotong royong, serta simbol hubungan manusia dengan alam. Tradisi mengolah sagu yang diwariskan secara turun-temurun ini memperlihatkan bagaimana kearifan lokal mampu selaras dengan kebutuhan hidup sehari-hari, sembari tetap menjaga keberlanjutan lingkungan.
Salah satu olahan sagu paling dikenal di Mentawai adalah kapurut, makanan pokok yang menyerupai bubur padat. Kapurut diolah dari pati sagu yang direndam, lalu dimasak bersama air hingga membentuk tekstur kenyal, sering kali dipadukan dengan lauk lokal seperti ikan sungai, kelapa parut, atau sayuran hutan. Kapurut bukan sekadar makanan, tetapi juga medium cerita dan sejarah. Proses memasaknya yang dilakukan bersama-sama oleh perempuan Mentawai menciptakan ruang interaksi sosial yang memperkuat solidaritas komunitas. Selain itu, kapurut juga mencerminkan sistem pangan tradisional yang minim limbah, karena hampir seluruh bagian pohon sagu—mulai dari batang hingga daunnya—dapat dimanfaatkan.
Selain kapurut, Mentawai juga memiliki olahan sagu khas lain seperti lappet, bagas, dan keripik sagu. Lappet merupakan camilan berbahan sagu yang dicampur kelapa dan gula aren, dibungkus daun pisang, lalu dikukus hingga menghasilkan aroma khas yang harum. Sementara itu, bagas dikenal sebagai roti sagu tradisional yang dipanggang dengan teknik sederhana menggunakan batu panas. Keripik sagu Mentawai pun semakin populer sebagai produk UMKM lokal karena dinilai memiliki potensi pasar tinggi berkat teksturnya yang renyah dan cita rasa yang unik. Ragam olahan ini tidak hanya menunjukkan kekayaan kuliner Mentawai, tetapi juga kemampuan adaptasi masyarakat terhadap perkembangan selera dan kebutuhan ekonomi masa kini.
Potensi pengembangan olahan sagu Mentawai semakin besar ketika dikaitkan dengan isu ketahanan pangan nasional dan kebutuhan akan pangan lokal yang berkelanjutan. Berbeda dengan padi atau gandum, sagu mampu tumbuh subur tanpa perlu pupuk kimia, irigasi intensif, atau perawatan khusus. Penelitian mengungkapkan bahwa produktivitas sagu dapat mencapai 150–300 kg pati per pohon, menjadikannya salah satu tanaman sumber karbohidrat paling efisien di kawasan tropis. Keunggulan ini semakin relevan di tengah ancaman perubahan iklim dan degradasi lahan pertanian. Dengan demikian, revitalisasi konsumsi sagu di Mentawai bukan hanya strategi pelestarian budaya, tetapi juga upaya memperkuat ketahanan pangan Indonesia melalui diversifikasi sumber karbohidrat.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Modernisasi dan perubahan gaya hidup menyebabkan konsumsi sagu terus menurun, terutama di generasi muda Mentawai yang lebih akrab dengan roti, mie instan, dan beras. Selain itu, pengolahan sagu tradisional masih bergantung pada teknik manual yang memerlukan tenaga besar dan waktu panjang. Untuk menjembatani tradisi dan kebutuhan masa kini, dibutuhkan inovasi teknologi pengolahan yang tetap mempertahankan cita rasa lokal namun lebih efisien dan higienis. Pemerintah daerah, akademisi, dan pelaku UMKM perlu berkolaborasi dalam pengembangan produk turunan sagu seperti tepung sagu instan, snack modern berbasis sagu, hingga minuman fungsional yang memanfaatkan serat alami sagu. Jika strategi ini dilakukan secara berkelanjutan, maka sagu Mentawai berpeluang menjadi ikon pangan lokal yang tampil di pasar nasional bahkan internasional.
Referensi:
Flach, M. (2018). The Sago Palm: Domestication, Exploitation, and Emerging Markets. Tropical Agriculture Journal.
Ruddle, K., & Johnson, D. (2020). Traditional Sago Processing and Food Security in Indigenous Communities. Journal of Ethnobiology and Food Systems.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
