Gig Economy di Era Algoritma: Teknologi Mengatur Nasib Pekerja
Ekonomi Syariah | 2025-12-08 15:00:53
Di balik kemajuan teknologi yang memudahkan kehidupan sehari-hari, terdapat kisah-kisah sunyi yang jarang mendapat perhatian publik. Kisah para pekerja gig economy yang bekerja dari fajar hingga larut malam demi mengejar insentif yang terus berubah mengikuti algoritma pergerakan. Mereka tidak berhadapan langsung dengan atasan, melainkan dengan sistem otomatis yang menentukan arah hidup mereka. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai masa depan kemanusiaan dalam sistem ekonomi digital yang perlahan dapat menyakiti mereka yang bergantung padanya.
Pada konteks inilah prinsip muamalah dalam ekonomi Islam kembali menjadi relevan. Prinsip yang sering dianggap kuno tersebut justru muncul sebagai nilai alternatif di tengah perkembangan teknologi yang semakin tidak terkendali. Sebuah kaidah yang sederhana namun tegas, yakni “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ” atau “Tidak boleh ada bahaya, dan tidak boleh saling membahayakan,” menjadi pengingat bahwa ekonomi seharusnya tetap berpihak pada manusia, bukan sebaliknya.
Realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak praktik ekonomi digital yang berjalan bertentangan dengan kaidah tersebut. Tarif yang berubah tanpa penjelasan, komisi yang tak disebutkan, penggunaan data pribadi tanpa transparansi, hingga tekanan kerja yang kian meningkat menjadi bagian dari permasalahan yang dihadapi para pekerja digital. Gambaran tentang seorang pengemudi yang meninggalkan rumah sebelum matahari terbit dan kembali ketika anaknya telah tertidur menjadi cerminan nyata. Bukan atasan yang lawannya, melainkan sistem yang dingin dan tidak memiliki empati. Pertanyaan pun muncul mengenai apakah ekonomi modern harus terus menyisakan ruang yang seepi dan sesakit ini.
Dalam lanskap digital, data menjadi aset berharga. Namun, mereka yang menghasilkan data bukanlah pihak yang menguasainya. Platform besar memanfaatkan rute data, jam kerja, hingga kebiasaan pekerja untuk kepentingan bisnis, sementara para pekerja hanya menerima sebagian kecil dari nilai yang mereka ciptakan. Jika dulu riba tampil melalui bunga, kini ia berpotensi muncul melalui algoritma yang tidak transparan. Hal ini bertentangan dengan ajaran muamalah yang sejak dahulu menempatkan keadilan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai landasan utama.
Muamalah tidak hanya hadir sebagai aturan ekonomi, tetapi sebagai pengingat tentang pentingnya memanusiakan manusia dalam setiap transaksi. Prinsip ini menegaskan bahwa ekonomi bukan semata-mata urusan untung dan rugi, melainkan juga nilai dan keadilan. Teknologi idealnya menjadi alat untuk melayani, bukan menguras tenaga kerja. Bisnis seharusnya menjadi ruang untuk menjaga amanah, bukan sekadar mengejar keuntungan. Jika prinsip “tidak merugikan dan tidak saling dirugikan” diterapkan, maka ekonomi digital menuntut perubahan menyeluruh, mulai dari transparansi tarif, algoritma audit, hingga perlindungan data pekerja.
Di tengah perekonomian global yang semakin kompetitif dan keras, muamalah menawarkan kembali konsep keseimbangan yang semakin terlupakan. Prinsip ini mengingatkan bahwa ekonomi bukan perlombaan tanpa akhir, bisnis bukan arena peperangan, dan manusia tidak boleh direduksi menjadi angka statistik. Ketika ketidakadilan semakin terasa, muamalah hadir sebagai pengingat untuk kembali ke nilai dasar yang menempatkan manusia sebagai pusat dari setiap kegiatan ekonomi.
Pada akhirnya, permasalahan mendasar bukan terletak pada aplikasinya, tetapi pada nilai yang mendasari operasionalnya. Masyarakat tidak kekurangan teknologi, namun kekurangan hati nurani yang mengarahkannya. Muamalah mengingatkan bahwa ekonomi terbaik bukanlah ekonomi yang paling cepat, paling besar, atau paling canggih, namun paling manusiawi. Oleh karena itu, menghidupkan kembali prinsip muamalah bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak bagi sistem ekonomi global yang lebih adil dan berkelanjutan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
