Sumatera Menangis: Kala Alam Murka Akibat Rakusnya Manusia
Kolom | 2025-12-07 22:20:25
Hujan yang turun dari langit seharusnya menjadi rahmat, pembawa kehidupan bagi bumi yang tandus. Namun, hari ini, bagi saudara-saudara kita di tanah Sumatera, hujan telah berubah wajah menjadi air mata dan petaka. Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara kini sedang menangis. Banjir bandang meluluhlantakkan desa-desa, memutus jalan, dan yang paling menyayat hati, merenggut lebih dari 600 nyawa. Ratusan lainnya masih hilang, tertimbun di bawah lumpur dingin atau hanyut entah ke mana.
Melihat visual yang beredar, hati siapa yang tidak teriris? Rumah-rumah yang dibangun dengan keringat bertahun-tahun, hancur dalam hitungan jam. Kita mungkin mendengar bahwa ini adalah dampak dari siklon tropis Senyar dan Koto. Sebuah fenomena langka yang tumbuh di Selat Malaka. BMKG menyebutnya sebagai anomali cuaca yang ekstrem. Benar, curah hujan memang di luar kendali kita. Namun, apakah banjir yang menenggelamkan ribuan harapan ini murni "salah" hujan?
Rasanya terlalu naif jika kita hanya menyalahkan langit. Menyalahkan hujan yang turun dari langit, sama saja menyalahkan Allah Swt.
Jejak Kehancuran di Tangan Manusia
Jika kita menelusuri lebih dalam, bencana ini sejatinya adalah akumulasi dari kerusakan di bumi. Hutan-hutan di Pegunungan Bukit Barisan yang selama ini menjadi pasak bumi dan penyerap air, kini telah botak. Data WALHI menunjukkan angka yang mengerikan: sepanjang 2016 hingga 2025, deforestasi di tiga provinsi tersebut mencapai 1,4 juta hektare.
Bayangkan, jutaan hektar hutan yang seharusnya menjadi benteng alami, kini beralih fungsi menjadi lubang tambang, perkebunan sawit monokultur, dan proyek energi yang dikuasai segelintir korporasi. Ada lebih dari 600 perusahaan yang mengantongi izin di sana. Belum lagi praktik pembalakan liar (illegal logging) yang seolah dibiarkan merajalela. Ribuan batang kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir bandang kemarin adalah saksi bisu; bukti nyata bahwa hutan kita sedang dijarah habis-habisan.
Inilah wajah asli dari penerapan sistem kehidupan yang memisahkan aturan agama dari pengelolaan alam. Kebijakan pro-kapitalis telah menempatkan profit di atas keselamatan rakyat. Alam dieksploitasi tanpa ampun demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi, sementara fungsi ekologisnya diabaikan. Akibatnya, ketika hujan ekstrem datang, tanah tak lagi mampu mendekap air.
Mitigasi yang Gagap
Di tengah duka ini, kita juga dihadapkan pada kenyataan pahit tentang ketidaksiapan negara. Indonesia yang jelas-jelas berada di ring of fire dan kawasan tropis, seharusnya memiliki sistem mitigasi bencana kelas wahid. Namun, peringatan dini dari BMKG seolah tak sampai menjadi aksi preventif yang nyata di lapangan. Respons yang lambat, bahkan sempat adanya penyangkalan dengan menyebut kepanikan di media sosial berlebihan, menambah luka bagi para korban.
Hingga kini, banyak daerah masih terisolir. Warga yang kelaparan terpaksa melakukan hal-hal nekat demi bertahan hidup. Di sinilah kita melihat betapa rapuhnya perlindungan negara terhadap rakyatnya dalam sistem hari ini.
Muhasabah: Kembali pada Sang Pemilik Semesta
Sebagai seorang Muslim, tentu kacamata kita tidak boleh lepas dari akidah. Musibah ini adalah ketetapan Allah Swt. yang wajib kita terima dengan sabar. Allah berfirman dalam TQS At-Taubah ayat 51, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah Allah tetapkan bagi kami. Dialah Pelindung kami ’”
Namun, Islam juga mengajarkan kita untuk cerdas membaca tanda-tanda. Tidak semua takdir adalah qadha yang tak bisa dihindari; ada kausalitas (sebab-akibat) yang melibatkan tangan manusia. Allah Swt. telah memperingatkan dengan sangat gamblang dalam surah Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini adalah teguran keras. Bencana ekologis ini adalah buah dari "tangan-tangan manusia" yang menerapkan kebijakan rusak. Hutan yang seharusnya menjadi milik umum (milkiyah ammah), sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa kaum Muslim berserikat dalam air, padang rumput, dan api, justru di privatisasi.
Dalam Islam, negara (Khilafah) berfungsi sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (perisai). Pengelolaan sumber daya alam tidak boleh diserahkan pada swasta jika itu membahayakan rakyat. Prinsip “La dharara wa la dhirara” (jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain) menjadi landasan utama. AMDAL dalam Islam bukan sekadar formalitas administratif di atas kertas, melainkan wujud pertanggungjawaban di hadapan Allah. Negara wajib menjaga keseimbangan ekosistem, melakukan reboisasi, dan menindak tegas siapa pun yang merusak alam, bukan malah memberi karpet merah pada oligarki.
Khatimah
Sumatera yang menangis adalah alarm bagi kita semua. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam menjaga harmoni antara manusia dan lingkungan.
Sudah saatnya kita menyadari, bahwa solusi tuntas dari semua carut-marut ini adalah kembali pada aturan Sang Pencipta. Kita membutuhkan tata kelola negara yang amanah, yang memandang alam sebagai titipan Allah yang harus dijaga, bukan komoditas yang harus dihabiskan. Semoga musibah ini menjadi momentum bagi kita untuk bermuhasabah dan berjuang lebih keras lagi untuk menegakkan syariat-Nya di muka bumi, agar rahmat-Nya kembali menaungi negeri ini, bukan murka-Nya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
