Dampak Cyberbullying terhadap Kesehatan Mental Remaja
Edukasi | 2025-12-07 17:58:23Luka yang Tak Terlihat: Dampak Cyberbullying terhadap Kesehatan Mental Remaja
Kemajuan teknologi digital membuat hidup remaja terasa semakin praktis seperti akses
informasi hanya sejauh sentuhan layar, pertemanan bisa terjalin lintas kota hingga negara, dan
media sosial menjadi panggung utama untuk berekspresi. Namun, dibalik keceriaan unggahan
dan fitur-fitur canggih, tersembunyi sisi gelap yang sering terabaikan yaitu cyberbullying.
Berbeda dari perundungan yang terjadi secara langsung di sekolah atau lingkungan sekitar,
cyberbullying bisa menyusul korban ke mana pun mereka pergi. Pelaku cukup bersembunyi di
balik akun dan layar, sementara korban hampir selalu membawa ponsel di genggaman. Alhasil,
banyak remaja memikul luka batin yang berat tanpa satu pun memar di tubuhnya.
Di Indonesia, masalah ini tidak lagi sekedar wacana. Survei Kementerian Komunikasi dan
Informatika tahun 2020 menunjukkan hampir separuh remaja pernah mengalami bentuk
kekerasan digital, mulai dari hinaan, penyebaran foto pribadi, sampai pembocoran identitas
atau data pribadi. Laporan UNICEF tahun 2021 juga menegaskan bahwa cyberbullying
berkaitan erat dengan meningkatnya kecemasan, depresi, dan kecenderungan menarik diri dari
pergaulan pada remaja. Pertanyaannya, mengapa bentuk kekerasan di dunia maya ini bisa
sedemikian merusak kesehatan mental remaja, dan bagaimana psikologi mampu menjelaskan
fenomena tersebut?
Cyberbullying: Kekerasan yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Secara sederhana, cyberbullying adalah tindakan menyakiti, merendahkan, atau
menyerang orang lain melalui sarana digital, misalnya lewat Instagram, WhatsApp,
TikTok, forum, atau permainan daring. Wujudnya bisa sangat beragam komentar penuh
hinaan, penyebaran gosip, pelecehan seksual berbasis online, body shaming, hingga
manipulasi foto atau video untuk mempermalukan korban.
Dibandingkan perundungan tatap muka, cyberbullying memiliki beberapa karakteristik
yang membuatnya lebih berbahaya:
- Serangan bisa terjadi kapan saja, tanpa jam istirahat. Remaja bisa saja diserang
bahkan saat berada di kamar tidur yang seharusnya menjadi tempat paling aman.
- Konten bernada merundung dapat menyebar sangat cepat dan menjangkau banyak
orang dalam waktu singkat.
- Pelaku kerap bersembunyi di balik anonimitas, sehingga korban tidak tahu siapa
yang menyerang, yang pada akhirnya meningkatkan rasa takut dan curiga.
- Jejak digital sulit dihapus sepenuhnya. Unggahan, komentar, atau gambar yang
memalukan bisa disimpan, dibagikan kembali, dan menjadi “rekam jejak” yang
menghantui.
Mengapa Remaja Sangat Rentan? (Perspektif Psikologi Perkembangan)
Masa remaja adalah fase ketika individu giat mencari jati diri. Mengacu pada Erikson,
ini adalah periode “pencarian identitas” ketika remaja membangun konsep diri,
mengevaluasi harga dirinya, dan sangat peduli pada penerimaan sosial. Media sosial
sering digunakan untuk menguji dan menampilkan identitas tersebut. Karena itu, ketika
serangan atau ejekan muncul di ruang yang sama, dampaknya terasa jauh lebih
menyakitkan. Ada beberapa alasan utama yang membuat remaja rentan terhadap
dampak cyberbullying.
- Emosi lebih dominan: otak emosional berkembang lebih cepat dibanding area
kontrol diri.
- Harga diri bergantung pada validasi online seperti like dan komentar.
- Strategi coping belum matang, sehingga mereka sering bingung bagaimana
merespons tekanan.
Situasi perkembangan yang sedang labil ini membuat serangan di dunia maya bukan
sekedar “candaan”, melainkan ancaman serius bagi kesehatan mental.
Dampak Cyberbullying terhadap Kesehatan Mental Remaja
a. Kecemasan dan pikiran berlebih
Notifikasi berubah menjadi sumber ketakutan. Remaja enggan membuka media
sosial dan terjebak pikiran berulang tanpa solusi.
b. Depresi dan merosotnya harga diri
Dalam kerangka Cognitive Model Beck, serangkaian pesan negatif dapat
memicu terbentuknya pikiran otomatis seperti “Aku memang tidak berguna”
atau “Tak ada yang menyukaiku”. Ketika pikiran semacam ini terus mengendap,
remaja dapat mengalami gejala depresi: kehilangan minat, perasaan hampa, dan
berkurangnya semangat menjalani aktivitas.
c. Menjauh dari pergaulan
Rasa malu, takut dihakimi, atau khawatir diejek, membuat korban menjauh dari
teman, aktivitas sosial, dan memperburuk isolasi.
d. Gangguan tidur dan kelelahan emosional
Tekanan psikologis yang berkelanjutan sering mengganggu kualitas tidur.
Kurang tidur lalu memperburuk kestabilan emosi, konsentrasi, dan prestasi
belajar.
e. Munculnya perilaku menyakiti diri dan pikiran bunuh diri
Penelitian Patchin dan Hinduja (2010) menunjukkan bahwa remaja yang
menjadi korban cyberbullying memiliki risiko tinggi untuk mengalami ide
bunuh diri. Serangan yang terus menerus dapat menumbuhkan perasaan tidak
berdaya dan keputusasaan ekstrem.
Bagaimana Teori Psikologi Membaca Fenomena Ini?
Beberapa teori psikologi dapat membantu memahami mengapa cyberbullying
berdampak begitu kuat pada remaja:
- Social Comparison Theory (Festinger, 1954)
Remaja cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain, terlebih di media
sosial yang dipenuhi tampilan “kehidupan ideal”. Ketika di saat bersamaan mereka
menjadi sasaran cemoohan, perbandingan ini menjadi makin tidak seimbang dan
menggerus kepercayaan diri.
- General Strain Theory (Agnew, 1992)
Teori ini menjelaskan bahwa tekanan sosial yang terus menerus termasuk ejekan,
ancaman, dan penghinaan online menciptakan ketegangan psikologis. Bila
dibiarkan, ketegangan tersebut dapat bermuara pada gangguan mental atau perilaku
bermasalah.
- Online Disinhibition Effect (Suler, 2004)
Faktor anonimitas dan jarak membuat pelaku merasa “terlepas” dari konsekuensi.
Mereka lebih berani mengatakan hal-hal yang mungkin tidak akan pernah
diucapkan secara langsung. Hal ini menjelaskan mengapa serangan di dunia maya
sering tampak jauh lebih kasar dan kejam.
Kesimpulan
Cyberbullying tidak bisa lagi dilihat sekadar “keributan di internet”. Ini adalah bentuk
kekerasan psikologis yang meninggalkan luka batin mendalam, memengaruhi perkembangan
emosi, konsep diri, dan kesehatan mental remaja. Di era ketika media sosial menjadi bagian
melekat dari kehidupan sehari-hari, perundungan di ruang digital bisa terjadi tanpa batas waktu
dan tempat, menjadikannya bahkan lebih mengancam daripada bullying konvensional.
Dari kacamata psikologi perkembangan, remaja yang sedang mencari jati diri berada dalam
posisi sangat rentan ketika menjadi sasaran serangan digital. Dampaknya menjalar luas: dari
kecemasan, depresi, dan pengasingan diri, hingga munculnya pikiran untuk menyakiti diri
sendiri. Karena itu, penanganan cyberbullying harus menjadi agenda bersama. Dengan
dukungan keluarga, sekolah, lingkungan sosial, dan pihak penyedia platform, remaja menjadi
tempat tumbuh dan belajar, bukan medan yang menorehkan luka-luka tak kasat mata yang
mengancam masa depan mereka.
Referensi
Agnew, R. (1992). Foundation for a general strain theory of crime and delinquency.
Criminology, 30(1), 47-88.
Beck, A. T. (1979). Cognitive therapy and the emotional disorders. Penguin.
Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human relations, 7(2), 117-140.
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2010). Bullying, cyberbullying, and suicide. Archives of suicide
research, 14(3), 206-221.
Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. Cyberpsychology & behavior, 7(3), 321-326
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
