Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roro Gendis Ilalang

Budaya Diam di Kampus: Saat Suara Mahasiswa Tak Lagi Berani Bicara

Pendidikan | 2025-12-02 20:05:30
Sumber: dokumentasi pribadi

Oleh:

Roro Gendis Ilalang A.M

Mahasiswi Universitas Airlangga

Sejak memasuki dunia perkuliahan, saya mulai menyadari adanya fenomena menarik di lingkungan kampus, yaitu banyak mahasiswa memilih diam ketika diminta menyampaikan pendapat. Ruang kelas yang seharusnya menjadi ruang untuk menuntut ilmu dan bertukar gagasan justru dipenuhi keheningan yang terasa membebani. Ketika mahasiswa memasuki ruang diskusi, kesalahan terkadang dianggap sebagai suatu hal yang memalukan, bukan bagian dari proses belajar. Pengalaman mahasiswa melihat temannya ditertawakan dan disanggah tanpa empati membuat mereka ragu untuk membuka suara. Tidak jarang, ketika dosen meminta pendapat atau bertanya kepada mahasiswa tentang materi atau hal yang didiskusikan, mahasiswa memilih untuk diam karena takut salah ataupun dinilai tidak memahami materi. Banyak yang berpura-pura menyibukkan diri dengan membaca buku, membuka handphone, atau mengalihkan pandangan agar tidak ditunjuk. Berpendapat akhirnya dianggap sebagai risiko yang harus dihindari, menjadikan diam sebagai pilihan aman yang terpaksa diambil.

Fenomena ini tentu tidak muncul tiba-tiba, ada beberapa faktor yang membuat mahasiswa merasa bahwa menyampaikan pendapat justru lebih berisiko daripada diam. Salah satu yang paling menonjol adalah trauma akademik dan budaya perfeksionisme yang tumbuh di perkuliahan. Budaya ini membuat mahasiswa merasa bahwa setiap pendapat harus sempurna dan bebas dari kesalahan. Alih-alih melihat proses belajar sebagai ruang percobaan dan bereksperimen, mereka justru menganggap kesalahan sebagai ancaman diri. Kondisi tersebut yang menciptakan tekanan psikologis bagi mahasiswa, sebab merasa bahwa apa yang mereka pikirkan tidak pernah cukup baik untuk diutarakan. Perfeksionisme, sebagaimana diulas oleh Nisa, Roswiyani, dan Tasdin (2025), sering dikaitkan dengan kecemasan dan stres yang berujung pada perasaan tidak pernah cukup baik. Ketakutan inilah yang membuat mahasiswa memilih untuk diam daripada mengambil risiko dipandang keliru oleh dosen maupun teman sekelas.

Namun, tekanan untuk selalu benar bukan satu-satunya alasan mahasiswa memilih untuk bungkam. Dalam konteks pergaulan akademik, stigma sosial dipahami sebagai ketakutan mendalam terhadap penilaian negatif, terutama saat mahasiswa mencoba berpendapat atau menunjukkan kemampuan intelektualnya. Ketika mahasiswa merasa bahwa setiap ucapan dapat menjadi bahan evaluasi atau cibiran, muncul hubungan sebab-akibat berupa kecemasan sosial yang membuat mereka menilai berbicara di kelas sebagai aktivitas berisiko. Akibatnya, diam menjadi pilihan aman untuk menghindari kemungkinan salah, dianggap tidak cerdas, atau dipermalukan di depan teman sebaya. Penelitian Rakhmaniar (2023) menunjukkan bahwa individu dengan kecemasan social cenderung menjauhi partisipasi diskusi dan memilih diam sebagai bentuk perlindungan diri dari evaluasi sosial yang mengancam harga diri. Temuan ini menegaskan bahwa budaya diam di kalangan mahasiswa bukan hanya soal kurangnya keberanian, melainkan refleksi dari ketakutan mendalam akan stigma sosial yang terus membayangi proses belajar di ruang kelas.

Ketakutan akan stigma sosial ini tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi diperkuat oleh struktur dan budaya kampus yang terkadang masih menempatkan relasi kuasa secara hierarkis, sehingga tidak menyediakan ruang aman bagi mahasiswa dalam menyampaikan pendapat. Dalam sistem yang menempatkan dosen sebagai figur otoritas dan mahasiswa sebagai penerima pengetahuan, ruang dialog yang seharusnya egaliter berubah menjadi ruang yang sarat hierarki dan tekanan. Mahasiswa merasa bahwa pendapat mereka tidak memiliki bobot yang sama, sehingga mencoba berpendapat justru dianggap sebagai tindakan yang menantang hierarki. Kondisi ini membuat keberanian berpendapat tidak didukung, tetapi dipersepsikan sebagai ancaman terhadap tatanan akademik yang sudah mapan. Ini sejalan dengan temuan Lestari dkk. (2023), yang menegaskan bahwa lingkungan inklusif dan aman sangat krusial untuk menjamin setiap individu merasa bebas berpendapat dan menghargai perbedaan pandangan. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa ketakutan mahasiswa untuk berpendapat tidak akan pernah hilang tanpa adanya ruang aman yang melindungi hak mereka untuk berpikir, berbicara, dan didengar. Dengan demikian, jelas bahwa budaya hierarkis dan kurangnya ruang aman bukan hanya memperkuat budaya diam, tetapi juga menghalangi terbentuknya ekosistem akademik yang sehat.

Budaya diam yang terus bertahan di lingkungan kampus membawa dampak serius bagi perkembangan mahasiswa maupun kualitas pendidikan tinggi itu sendiri. Ketika mahasiswa enggan mengemukakan pendapat, mereka kehilangan kesempatan untuk melatih keberanian intelektual, keterampilan komunikasi, serta kemampuan berpikir kritis kompetensi yang menjadi inti pembelajaran di perguruan tinggi. Ruang kelas yang seharusnya menjadi arena pertukaran gagasan berubah menjadi lingkungan pasif, di mana proses belajar hanya berlangsung satu arah dan kreatifitas terhambat karena tidak adanya gagasan yang dipertanyakan, diuji, atau diperdalam melalui dialog. Dalam jangka panjang, budaya diam menghasilkan lulusan yang lebih cenderung patuh daripada berpikir mandiri, lebih mahir mengikuti instruksi daripada berinisiatif, dan lebih nyaman menjadi penonton daripada agen perubahan. Akibatnya, kampus gagal menjalankan perannya sebagai kawah candradimuka pencetak intelektual yang kritis dan progresif. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, bukan hanya mahasiswa yang dirugikan, tetapi juga masyarakat yang nantinya menerima generasi yang unggul dalam kepatuhan, namun rapuh dalam menghadapi tantangan diskusi, perbedaan pendapat, serta pengambilan keputusan.

Fenomena budaya diam yang tampak sepele pada awalnya ternyata menyimpan persoalan mendalam yang tidak hanya berkaitan dengan cara mahasiswa belajar, tetapi juga bagaimana cara mereka memaknai keberanian intelektual. Dari trauma akademik dan budaya perfeksionisme yang membuat mahasiswa merasa takut salah, kecemasan akan stigma sosial yang mengekang kebebasan berbicara, hingga struktur kampus yang hierarkis dan kurang menyediakan ruang aman, semua faktor tersebut saling memperkuat terciptanya pola diam yang mengakar. Konsekuensinya pun tidak sederhana, seperti mahasiswa kehilangan kesempatan untuk berpikir kritis, ruang kelas menjadi pasif, dan perguruan tinggi gagal menjalankan fungsinya sebagai arena dialog yang sehat. Namun, menyadari penyebab dan dampaknya bukan berarti kita harus menyerah pada keadaan. Budaya diam tidak akan lenyap jika kita pasif menunggu lingkungan menjadi ideal. Perubahan justru dimulai dari keberanian mengambil langkah kecil dengan mencoba berbicara meski suara bergetar, menyampaikan pendapat meski tidak sempurna, dan menerima kesalahan sebagai bagian inheren dari proses tumbuh. Kampus tentu perlu menciptakan ruang yang inklusif, tetapi mahasiswa juga perlu melatih kepercayaan diri agar tidak terjebak dalam ketakutan kolektif. Pada akhirnya, suara mahasiswa hanya akan hilang jika kita memilih untuk membiarkannya diam. Sebaliknya, ketika satu suara mulai berbicara, suara lain akan menyusul. Dari sana budaya diam berubah bukan oleh sistem semata, tetapi oleh keberanian individu untuk memulai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image