Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image yemima ariani

Batik Okra: Dari Kampung Kecil yang Menghidupkan Tradisi Besar

Kultura | 2025-12-02 02:07:36
Gambar 1. Kampung Wisata Batik Okra

Siapa sangka sebuah kampung kecil yang terletak di Jl. Kranggang Gg. VII, Bubutan, Kec. Bubutan, Surabaya, bisa menjadi pusat pelestarian batik yang kini dikenal hingga luar negeri? Inilah kisah Batik Okra yang melahirkan gerakan budaya bukan dari hal besar, melainkan dari kepedulian seorang ketua RW terhadap warganya di tengah pandemi COVID-19. Berawal dari kegelisahan seorang RW sekaligus pendiri Batik Okra, di masa sulit tersebut Bapak Ridi Sulaksono selaku pensiuan dari TNI AU pada tahun 2019 berusaha keras untuk mencari cara agar tetap menjaga kesejahteraan warganya. Dengan dukungan dana dari APBN kota Surabaya, dilaksanakan pelatihan membatik yang melibatkan 25 ibu-ibu warga Kranggan mulai dengan belajar mendesain, mencanting, dan memproduksi batik tulis hingga pada akhirnya Kampung Wisata Batik Okra diresmikan pada 28 Desember 2022.

Keunikan Batik Okra terletak pada konsepnya sebagai batik bercerita, di mana setiap lembar kain bukan sekadar pola berulang tetapi memuat narasi dan filosofi tertentu. Motif utamanya terinspirasi dari tanaman okra, yang secara simbolis menggabungkan makna “orang Kranggan” (Okra = O: orang, Kra: Kranggan) dengan bentuk-bentuk organik seperti bunga, daun, dan buah tanaman okra itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, kreativitas pembatik semakin berkembanng, termasuk menciptakan batik khusus Universitas Airlangga, dan membuka ruang bagi inovasi desain sesuai dengan selera generasi muda.

Gambar 2. Batik Universitas Airlangga

Meski tujuan awalnya digunakan sebagai alternatif kesejahteraan, Batik Okra kini berkembang menjadi upaya pelestarian budaya. Proses membatik yang memakan waktu lama dan tidak selalu menghasilkan keuntungan besar justru menjadikan batik ini sebagai karya yang dikerjakan dengan sepenuh hati dan bukan semata-mata untuk bisnis. Agar pelestarian tetap berkelanjutan, Batik Okra membuka workshop membatik seharga Rp50.000. Hal ini dilakukan bukan untuk mencari untung, tetapi untuk memastikan bahan dan peralatan tetap dapat digunakan bagi peserta berikutnya dengan menggunakan dana tersebut.

Menariknya, Bapak Ridi Sulaksono menyatakan bahwasanya hampir seluruh pengunjung dan peserta workshop Batik Okra berasal dari generasi muda, baik dari Surabaya maupun luar negeri. Hal ini selaras dengan strategi pendiri yang menggunakan konsep “Marketing 2M” yaitu Mahasiswa dan Media. Mahasiswa, terutama dari Universitas Airlangga berperan besar dalam membantu mengembangkan akun Google, Instagram, TikTok, hingga website, sehingga Batik Okra viral dan dikenal luas hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun. Dukungan generasi muda juga membuat Batik Okra terus beradaptasi, mengikuti selera warna dan desain modern tanpa kehilangan identitas tradisionalnya. Pendekatan ini menjadikan Batik Okra bukan hanya ruang belajar batik, tetapi juga ruang kolaborasi antara warga kampung dan generasi muda.

Selain melesetarikan budaya, Batik Okra membawa dampak positif bagi warga sekitar. UMKM kecil seperti penjual jajanan, pedagang es krim, hingga tukang parkir ikut merasakan rezeki dari kunjungan wisatawan. Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, Batik Okra diharapkan dapat berkembang menjadi destinasi wisata budaya yang lebih lengkap apabila mendapatkan dukungan mitra dan sponsor.

Batik Okra merupakan bukti nyata bahwasanya pelestarian budaya tidak selalu harus dimulai dari tempat besar. Dari gang sempit dan rumah-rumah sederhana di Kranggan, tumbuh semangat warga untuk menjaga warisan leluhur, sekaligus mengajak generasi muda agar bangga memakai batik. Kisah inilah yang mebuktikan bahwa kreativitas, kerjasama, dan demangat masyarakat mampu menghidupkan kembali tradisi besar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image