Ketika AI Mulai Berpikir, Kita Masihkah Menggunakan Nalar?
Iptek | 2025-12-01 23:55:33
Hari ini, hampir semua hal dalam hidup kita diatur oleh kecerdasan buatan. Dari rekomendasi lagu di Spotify sampai asisten digital yang bisa bantu bikin tugas kuliah. Teknologi ini luar biasa, tapi diam-diam juga membuat manusia semakin jarang berpikir.
Sekarang, kita terbiasa menerima jawaban instan tanpa bertanya dari mana asalnya. Mesin memberi hasil cepat, dan kita langsung percaya. Padahal, kemampuan berpikir logis adalah hal paling mendasar dari manusia. Kalau itu hilang, maka kita hanya menjadi pengguna yang pasif, bukan lagi pengendali.
AI memang bisa “belajar” dari data dan mengambil keputusan yang tampak rasional. Tapi ia tidak tahu nilai moral. Mesin tidak paham konteks sosial, apalagi empati. Ia hanya tahu apa yang sering muncul dalam datanya, lalu mengulanginya.
Pernah ada kasus menarik dari sebuah perusahaan besar yang memakai AI untuk menyeleksi pelamar kerja. Hasilnya? Kebanyakan yang lolos adalah laki-laki. Setelah ditelusuri, ternyata sistemnya belajar dari data lama yang memang didominasi pelamar laki-laki. Jadi, tanpa disadari, mesin ikut memperkuat bias yang sudah ada.
Masalahnya, banyak orang menganggap hasil dari AI pasti benar karena “berdasarkan data.” Padahal, justru disitulah letak bahayanya. Kalau manusia tidak berpikir kritis, maka keputusan yang tidak adil bisa dianggap normal hanya karena datang dari teknologi.
Kita sering menganggap logika itu rumit, padahal sebenarnya itu soal kebiasaan. Logika membuat kita tidak mudah tertipu oleh kemasan data atau tren. Ia mengajarkan kita untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana,” bukan hanya “apa.”
Sayangnya, di era serba cepat ini, kebiasaan berpikir pelan dan kritis terasa seperti kemewahan. Kita lebih suka hasil cepat daripada proses mendalam. Tapi kalau semua hal diserahkan ke mesin, lalu di mana tempat nalar manusia?
AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti otak dan hati kita. Mesin bisa menganalisis data, tapi manusialah yang memutuskan arah. Kita perlu terus menjaga kemampuan berpikir logis agar tidak hanyut dalam arus teknologi yang serba otomatis.
Karena pada akhirnya, kemajuan tidak hanya diukur dari seberapa pintar mesin bekerja, tapi seberapa sadar manusia berpikir.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
