Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Drama Tumbler dan Rasionalitas yang Menguap

Humaniora | 2025-11-28 09:49:51
Gambar: AI

Ada banyak hal besar yang patut membuat bangsa ini marah sebetulnya, misal hutan yang digunduli, biaya hidup yang mencekik, sampai kebijakan publik yang kadang terasa seperti eksperimen sosial tanpa panduan. Tapi anehnya, yang berhasil meledakkan kemarahan kolektif justru sebuah tumbler yang hilang di kereta. Benda kecil yang mestinya hanya membuat kita menghela napas malah menjelma menjadi pusat gravitasi emosi nasional. Kita akhirnya menyaksikan satu tragedi psiko-sosial paling komikal yaitu drama tumbler.

Dalam pandangan psikologi sosial, fenomena ini bukan sekadar lucu. Ia adalah gejala. Sebuah gejala dari masyarakat yang lelah, jenuh, tertekan, dan akhirnya mencari tempat paling aman untuk melampiaskan frustrasi: kasus kecil yang tidak menyentuh siapa pun kecuali mereka yang kebetulan ikut menonton. Ini yang dalam literatur disebut displacement of outrage, yaitu mengalihkan kemarahan yang tak tertangani yang biasanya terkait isu besar yang terlalu rumit, ke objek yang jauh lebih mudah dibenci. Kalau memarahi korporasi besar terlalu berat, marahi petugas KRL saja. Kalau mengkritik negara membuat pusing, hujani penumpang yang panik dengan stigma.

Begitu satu unggahan Anita di media sosial muncul, publik bereaksi seperti bara yang ketumpahan bensin. Bukannya bertanya, “Apa benar kejadiannya seperti itu?”, respons yang muncul justru semacam hot cognition, di mana emosi berlari jauh mendahului nalar. Tumbler hilang menjadi simbol kesalahan, petugas KRL menjadi tersangka, dan publik berubah menjadi kerumunan yang merasa telah memegang kebenaran mutlak hanya dari satu paragraf curhat di Threads. Kita menyaksikan bagaimana logika terlipat rapi di belakang emosi dan internet menjadi panggungnya.

Kasus ini juga memperlihatkan apa yang disebut availability heuristic, dimana manusia cenderung percaya apa yang paling mudah diingat, bukan apa yang paling benar. Foto cooler bag? Ada. Cerita kehilangan? Ada. Bukti investigatif? Tidak ada. Tapi di mata publik, itu sudah cukup. Ini seperti membaca satu bab dari novel lalu mengklaim tahu keseluruhan ending-nya.

Yang lebih menarik atau menyedihkan adalah bagaimana publik digital memperkeras dirinya sendiri. Ketika satu orang mulai marah, marah itu menular, melebar, mengental. Fenomena ini dikenal sebagai group polarization, ketika opini yang tadinya cuma level gereget kecil berubah jadi kemarahan massal begitu didukung kerumunan. Orang-orang yang awalnya cuma penasaran akhirnya ikut menulis, mengkritik, dan menghujat, bukan karena mereka benar-benar peduli, tetapi karena berada di kerumunan membuat mereka merasa punya lisensi moral baru. Kehilangan tumbler akhirnya berubah menjadi kehilangan empati.

Setelah gelombang kemarahan itu membesar, terjadi babak selanjutnya: memetakan siapa yang paling mudah disalahkan. Di negara ini, pekerja lini depan adalah target favorit. Petugas KRL yang bekerja dengan gaji standar, jam kerja panjang, dan tekanan emosional tinggi mendadak menjadi tersangka nasional. Padahal bukti belum lengkap. Tapi begitulah pola scapegoating digital, siapa yang paling rentan, itulah yang paling cepat diserang.

Dalam sudut pandang psiko-sosial, konsumen modern juga membawa gejala baru yang disebut moral licensing. Ada anggapan bahwa karena kita membayar tiket atau belanja kopi, maka kita secara otomatis memiliki moral lebih tinggi daripada pekerja yang melayani. Kultur “customer always right” yang sebetulnya hanya slogan marketing dipraktikkan sebagai sikap hidup. Konsumen pun merasa bebas menuduh, menekan, atau memviralkan tanpa merasa bersalah. Namun ketika fakta berbalik, budaya maaf kolektif mendadak hilang. Yang tertinggal hanya rekam jejak digital yang menyisakan luka bagi yang dituding.

Drama ini juga mengungkap gejala klasik zaman digital: online disinhibition effect. Orang-orang yang biasanya sopan tiba-tiba berubah agresif begitu berada di balik layar. Ada jarak, ada anonimitas, ada keasyikan berpendapat tanpa konsekuensi langsung. Dulu, orang menulis amarah di buku diary. Sekarang, mereka menulisnya di Threads dengan tombol “post” yang bisa mengubah satu keluhan menjadi badai nasional.

Ketika kasus mulai dibongkar, ternyata petugas KRL tidak dipecat. Sebaliknya, Anita sendiri yang akhirnya kehilangan pekerjaannya. Ironi yang begitu pekat hingga sulit disebut satire. Inilah kondisi masyarakat yang disebut para psikolog sebagai collective fragility: rapuh secara emosional, cepat tersinggung, dan mudah terbakar oleh hal-hal kecil yang sebetulnya tidak mengubah hidup siapa pun. Namun pada saat yang sama, masyarakat ini justru semakin kebal terhadap masalah besar. Ketika hutan Tesso Nilo hilang, publik diam. Ketika biaya hidup naik, publik mengeluh sebentar lalu kembali gulir. Tetapi ketika tumbler hilang, publik memanas seperti wajan kosong.

Di titik ini, kita mesti bertanya: apa yang sebenarnya sedang hilang dari kita? Tumbler? Tidak. Yang hilang adalah kemampuan untuk menunggu fakta. Kemampuan untuk menahan emosi. Kemampuan untuk bertabayyun, seperti yang diajarkan agama dan etika sosial sejak dulu. Yang hilang adalah kemampuan sederhana untuk berpikir pelan sebelum menekan tombol kirim.

Kasus tumbler tidak penting. Tapi cara kita bereaksi adalah cermin yang sangat jujur. Dalam drama kecil itu, kita melihat betapa masyarakat hari ini hidup dalam kondisi psikologis yang letih dan reaktif. Kita tidak lagi marah pada hal yang penting. Kita marah pada hal yang paling mudah diakses.

Jika tumbler bisa membuat satu negara gaduh, bukan karena tumblernya istimewa. Itu karena bangsa ini sedang terlalu letih untuk menjadi waras, dan terlalu cepat untuk merasa benar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image