Persahabatan di Bawah Langit Gaza
Sastra | 2025-11-21 14:31:34
Di tengah hamparan puing yang dulunya adalah rumah-rumah penuh tawa dan suara azan yang dahulu mengalun seperti bisikan langit dari masjid kecil di sudut kamp, hiduplah dua sahabat bernama Yusuf—seorang pemuda Muslim yang sejak kecil tumbuh dengan keinginan melindungi siapa pun di sekitarnya setelah ayahnya gugur ketika mengevakuasi warga dari gedung yang runtuh—dan Bilal, teman masa kecilnya yang memilih menjadi relawan medis setelah menyaksikan ibunya wafat dalam perjalanan menuju rumah sakit yang tak pernah mereka capai, sehingga keduanya membangun persahabatan yang lebih kuat daripada batu bata yang kini berserakan di setiap sudut Gaza, dan sepanjang masa tumbuh mereka berjanji bahwa apa pun yang terjadi mereka tidak akan membiarkan perang memisahkan mereka, sebab hanya dengan saling menjaga mereka mampu bertahan dari kenyataan pahit bahwa masa remaja mereka direnggut oleh dentuman-dentuman yang tak pernah berhenti, dan setiap sore ketika matahari tertutup asap yang menggumpal seperti selimut kelabu, mereka duduk di tangga sekolah lama yang kini setengah runtuh sambil mengenang masa kecil ketika mereka bermain gundu dan berlari di antara pohon zaitun yang kini tinggal tunggul hitam, lalu berbagi sepotong roti tipis sambil membicarakan hal-hal yang hanya bisa dibicarakan oleh dua sahabat yang sama-sama memahami bahwa harapan adalah hal paling mahal di Gaza, sehingga hubungan mereka menjadi seperti akar pohon yang menembus tanah keras: tertanam dalam dan mustahil dicabut oleh perang sebesar apa pun.
Suatu hari ketika langit tampak kuning pucat dan udara dipenuhi debu halus yang membuat tenggorokan terasa perih, suara peringatan terdengar memekakkan telinga, lalu disusul ledakan besar dari arah pasar tua, membuat Yusuf berlari bersama beberapa penjaga kamp lain menuju lokasi itu sambil meneriakkan perintah agar warga berlindung, sementara Bilal yang baru saja selesai menjahit luka seorang anak laki-laki langsung melempar sarung tangan ke meja kayu dan mengambil tas medis lusuh yang selalu ia bawa, dan ketika mereka bertemu di tengah jalan yang dipenuhi batu, logam panas, dan bau menyengat yang sulit dijelaskan, mereka saling bertukar pandang singkat penuh kesadaran bahwa apa pun yang akan mereka temui di depan tidak boleh membuat mereka berhenti bergerak, lalu bersama-sama mereka mencapai reruntuhan kios roti tempat puluhan orang biasanya berkumpul, dan dari balik tumpukan beton mereka mendengar suara lirih meminta tolong yang terdengar seperti daun kering tersapu angin, membuat Yusuf berlutut tanpa ragu sambil mengangkat balok demi balok dengan tangan yang bergetar oleh adrenalin, sementara Bilal masuk ke celah sempit sambil menyalakan senter kecil yang cahayanya memantul pada debu beterbangan seperti ribuan bintang patah, dan mereka menemukan seorang ibu bernama Amal terjepit bersama kedua anaknya, sehingga Bilal memeriksa napas mereka sambil memberi instruksi cepat pada Yusuf untuk menahan dinding miring yang sewaktu-waktu bisa runtuh, dan Yusuf—meski punggungnya seperti ditusuk ribuan jarum karena beratnya bebatuan—tetap menahan posisinya sambil memikirkan bagaimana andai ia melepaskan beban itu sedetik saja, maka keluarga itu mungkin tidak akan selamat, dan setelah upaya panjang yang penuh ketegangan akhirnya mereka berhasil menarik keluarga itu keluar dari reruntuhan, namun belum sempat mereka bernapas lega suara ledakan lain mengguncang tanah dan membuat Yusuf terlempar beberapa meter sementara Bilal jatuh tersungkur sambil memeluk anak yang baru saja ia selamatkan, lalu debu menyelimuti mereka seperti kabut tebal yang membuat dunia terasa menghilang untuk sesaat.
Ketika debu mulai mereda dan udara kembali bisa dihirup meski penuh partikel halus yang menyesakkan, Bilal merangkak menuju Yusuf yang terbaring dengan wajah tertutup debu dan darah dari pelipisnya, lalu ia memanggil-manggil nama sahabatnya dengan suara panik yang jarang ia tunjukkan, namun Yusuf membuka mata perlahan dan menunjukkan senyum tipis seakan ingin menenangkan Bilal, mengatakan bahwa ia hanya sedikit pusing, sementara Bilal menahan napas lega sambil menahan air mata, kemudian memeriksa kondisinya dengan gerakan cekatan sambil teringat semua kenangan mereka sejak kecil—dari pertama kali belajar shalat bersama di masjid yang kini hanya menyisakan satu tembok berdiri seperti saksi bisu, hingga malam-malam ketika mereka membicarakan masa depan yang mungkin tidak pernah mereka capai tetapi tetap mereka impikan—lalu memapah Yusuf menuju klinik kecil yang mereka dirikan dari sisa bangunan sekolah, di mana lampu petromaks menggantung dan generator kecil mengaum pelan, dan malam itu Bilal duduk di samping ranjang Yusuf sambil merendam perban dalam air panas, membersihkan luka sahabatnya, memastikan tidak ada serpihan logam tertinggal, sementara Yusuf yang biasanya keras kepala kini hanya terdiam sambil memperhatikan Bilal, merasa bersyukur bahwa Allah masih mengizinkan mereka bersama, dan selama beberapa hari Yusuf terbaring lemah sementara Bilal menjaga klinik, merawat puluhan korban, mengangkat tubuh-tubuh lemah dengan tangan yang mulai memar karena bekerja tanpa henti, namun setiap kali ia kembali ke sisi Yusuf ia tersenyum sambil berkata bahwa dunia masih butuh mereka berdua, dan kata-kata itu menjadi obat yang membuat Yusuf perlahan pulih meski perang tak memberi kesempatan mereka beristirahat dengan tenang.
Ketika Yusuf kembali bisa berjalan meski sedikit pincang, mereka melanjutkan rutinitas yang melelahkan namun penuh makna: Yusuf menjaga gerbang kamp bersama beberapa pemuda yang memegang senjata tua peninggalan perang sebelumnya, sementara Bilal bertugas dari pagi hingga malam merawat korban yang datang tanpa henti, mulai dari bayi yang sesak napas karena debu hingga orang tua yang terluka akibat reruntuhan, tetapi meski hari-hari mereka dipenuhi kelelahan, setiap malam mereka menyempatkan diri duduk bersama di halaman belakang klinik yang dipenuhi potongan batu, di mana mereka menatap langit yang sesekali dihiasi cahaya merah dari rudal seperti kilatan amarah di cakrawala, sambil membicarakan harapan kecil seperti makanan yang ingin mereka makan suatu hari nanti atau doa-doa yang mereka panjatkan agar Gaza kembali tenang, hingga suatu hari seorang relawan asing membawa kabar bahwa bibit-bibit pohon zaitun berhasil masuk ke Gaza sebagai simbol kehidupan baru, dan ia memberikan satu bibit kecil kepada Bilal, yang langsung memanggil Yusuf dan mengajaknya menanam bibit tersebut di halaman klinik yang gersang, membuat anak-anak kamp berkumpul dan membantu menggali tanah yang keras, dan ketika bibit kecil itu akhirnya berdiri tegak, Yusuf menatapnya lama sekali sambil mengatakan bahwa pohon itulah janji mereka bahwa kehidupan tidak akan menyerah, sementara Bilal menepuk bahunya sambil berkata bahwa jika pohon kecil itu bisa bertahan, maka mereka pun bisa, dan anak-anak kecil berlari mengelilinginya sambil tertawa, suara yang begitu langka namun begitu berharga di tengah perang.
Namun perang tidak pernah memberi jeda, dan beberapa hari kemudian serangan terbesar sejak awal bulan menghantam Gaza dengan intensitas yang membuat tanah seperti bergetar sepanjang malam, sehingga klinik mereka dipenuhi korban sampai Bilal tidak sempat mengangkat kepalanya dari meja operasi darurat, sementara Yusuf dan para penjaga kamp terus mengevakuasi warga dari rumah-rumah yang terbakar, lalu suatu ketika Bilal menyadari bahwa Yusuf tidak terlihat sejak ledakan besar terakhir, membuatnya panik dan keluar dari klinik meski para relawan lain memintanya tinggal, dan ia menemukan Yusuf terbaring tidak jauh dari sebuah kendaraan yang hancur, tubuhnya penuh debu dan darah sementara dadanya naik turun perlahan seakan menahan rasa sakit yang luar biasa, sehingga Bilal berlari dan memeluknya sambil memanggil namanya dengan suara bergetar, namun Yusuf tetap tersenyum kecil sambil berkata bahwa ia hanya jatuh saat menyelamatkan seorang anak, meminta Bilal agar tidak menangis, menyuruhnya tetap kuat karena Gaza membutuhkan mereka berdua, dan Bilal mengangkat tubuh Yusuf sambil menahan tangis yang ingin pecah, membawanya kembali ke klinik, membersihkan lukanya dengan tangan yang lelah namun penuh kasih, menatap wajah sahabatnya sambil berdoa agar Allah memberinya kekuatan untuk terus menjaga orang yang telah menjadi seperti saudaranya sendiri, sementara di luar klinik pohon zaitun kecil mereka bergerak pelan diterpa angin malam, seakan ikut berdoa untuk keselamatan keduanya, dan Yusuf—meski lemah—mengatakan bahwa pohon itu adalah bukti bahwa harapan tidak bisa dihancurkan bahkan oleh perang, bahwa persahabatan mereka akan tetap berdiri seperti akar pohon itu yang akan terus tumbuh menembus tanah Gaza, dan bahwa suatu hari nanti, entah kapan, mereka akan melihat anak-anak bermain di bawah daun-daunnya tanpa rasa takut, sehingga malam itu, di antara kepedihan, doa, dan cinta yang begitu besar antara dua sahabat, mereka kembali menyadari bahwa persahabatan yang dibangun di tengah perang bukanlah sekadar ikatan, tetapi cahaya yang menolak padam, sekecil apa pun, dan selama cahaya itu hidup, Gaza tidak pernah benar-benar kalah.
Dan ketika subuh tiba dengan cahaya pucat yang menembus celah-celah bangunan runtuh, Bilal yang semalaman tidak tidur kembali duduk di samping Yusuf sambil menggenggam tangan sahabatnya yang masih lemah namun mulai menunjukkan tanda-tanda pulih, lalu mereka berbicara pelan tentang masa depan yang hanya bisa mereka bayangkan dalam bentuk bayangan samar—tentang keinginan Yusuf untuk kembali mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an seperti dulu ia lakukan sebelum perang menjadi semakin brutal, tentang impian Bilal untuk menjadi dokter sungguhan jika suatu saat perbatasan dibuka dan ia bisa menempuh pendidikan, tentang bagaimana suatu hari nanti mereka akan berjalan bersama di sepanjang jalan-jalan Gaza yang tidak lagi dipenuhi puing melainkan toko roti yang kembali buka, pasar ikan yang ramai, serta masjid-masjid yang berdiri kokoh dengan kubah berkilau—dan ketika mereka berbicara, Bilal memandang pohon zaitun kecil di luar jendela yang sekarang memiliki daun baru, membuatnya berkata bahwa mungkin Allah sedang menunjukkan tanda-tanda kecil dari rahmat-Nya meski dunia tampak begitu gelap, sementara Yusuf mengangguk dan tersenyum sambil mengatakan bahwa selama pohon itu hidup, selama mereka terus menjaga satu sama lain, selama doa-doa mereka terus naik ke langit tanpa henti, maka mereka pasti akan melihat hari di mana anak-anak Gaza bisa berlari tanpa ketakutan, dan percakapan itu—meski hanya berlangsung beberapa menit—menghangatkan hati mereka lebih dari api kecil yang menyala di sudut ruangan, sebab mereka tahu bahwa harapan, betapapun kecilnya, adalah bahan bakar yang membuat mereka mampu bertahan melewati hari-hari berikutnya yang belum tentu lebih mudah, hingga akhirnya Yusuf memejamkan mata bukan karena lemah, melainkan karena merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian banyak malam gelap, sementara Bilal duduk di sampingnya sambil memandang langit yang mulai berubah warna, menyadari bahwa persahabatan mereka bukan hanya menyelamatkan hidup satu sama lain, tetapi juga menjadi alasan mengapa mereka terus memilih hidup di tengah keadaan yang seolah merenggut setiap alasan untuk tetap kuat, dan dengan itu mereka berdua kembali bersiap menghadapi hari lain di Gaza—hari yang mungkin penuh luka, namun juga penuh keyakinan bahwa selama mereka berjalan bersama, tidak ada kekuatan apa pun yang dapat memadamkan cahaya kecil di hati mereka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
