Angka Bunuh Diri Melonjak: Empati Berbicara
Gaya Hidup | 2025-11-19 17:17:44
Dalam beberapa waktu terakhir, kasus bunuh diri di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan lonjakan yang mengkhawatirkan. Fenomena ini berakar dari permasalahan mental yang diabaikan, gangguan mental yang tidak ditangani dapat berdampak negatif kepada penderitanya, baik dari segi psikis maupun fisik. Ketika seseorang tidak memiliki tempat aman untuk meluapkan masalah yang dihadapi, ia hanya bisa memendam masalah tersebut dan menjadi beban berat di pundak. Penumpukan permasalahan ini bisa menjadi bom waktu yang akan meledak pada puncaknya.
Fakta dan Stigma di Lapangan
Dalam kalangan global, data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa lebih dari 1 miliar orang di dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Selain itu, penelitian WHO juga menyebutkan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua tertinggi di kalangan anak muda sedunia. Lebih dari sekadar angka, fenomena ini menunjukkan bahwa isu kesehatan mental merupakan masalah kemanusiaan yang mendesak. Dibutuhkan empati dan kesadaran dari publik untuk merangkul para korban agar tidak merasa sendirian.
Ironisnya, di tengah meningkatnya kesadaran publik, stigma terhadap gangguan mental masih bertahan keras. Banyak anak muda yang memilih diam daripada mencari bantuan karena khawatir dicap lemah, tidak bersyukur, atau dramatis. Inilah yang membuat mereka memilih untuk memendam permasalahannya sendiri.
Ketika seseorang berjuang dengan kondisi mentalnya, yang dibutuhkan bukanlah penghakiman, tetapi ruang aman untuk didengar dan dipahami. Kritik dan stereotip justru membuat korban merasa terkucilkan, seolah perasaannya tidak valid. Pada akhirnya, kita akan kehilangan nyawa yang sebenarnya bisa kita selamatkan jika sejak awal ada tangan yang mau menggenggam, bukan jari yang menuding.
Kasus di Indonesia Akhir-Akhir Ini
Di Indonesia, dalam kurun waktu beberapa bulan ini, sejumlah kasus bunuh diri terjadi di beberapa wilayah, seperti Bandung, Jawa Barat; Sawahlunto, Sumatra Barat; Sukabumi, Jawa Barat; dan Denpasar, Bali. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa ada 25 kasus bunuh diri pada anak selama periode Januari-Oktober 2025.
Angka ini tampak kecil jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, tetapi faktanya setiap kasus merepresentasikan kegagalan dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
Tidak hanya pada kalangan remaja, fenomena ini juga terjadi pada orang dewasa. Kasus menyayat hati yang terjadi baru-baru ini adalah kasus bunuh diri seorang Ibu dan dua orang anak yang terjadi di Bandung, Jawa Barat.
Motif di balik kematian mereka, berdasarkan surat wasiat yang ditulis sang Ibu, diduga kuat adalah tekanan ekonomi akibat terlilit utang, hasil perbuatan sang suami yang terjerumus judi online.
Tekanan sosial dan ekonomi yang berat membawanya ke jalan buntu, membuat ia memilih jalan keluar tersebut. Sebab, ia pun tak ingin kedua anaknya menjalani kehidupan sengsara di tengah kekacauan hidup yang mereka miliki.
Hal tersebut membuktikan bahwa siapa saja dapat mengalami gangguan mental akibat permasalahan yang dihadapi, tidak mengenal usia, latar belakang, atau status sosial. Siapa pun dapat terjebak dalam tekanan hidup yang terasa tak tertahankan.
Faktor yang melatarbelakangi gangguan kesehatan mental hingga berujung pada bunuh diri pun beragam, mulai dari tekanan sosial ekonomi, maraknya perundungan, kekerasan dan pelecehan, masalah pribadi, dan lain sebagainya.
Namun, kasus perundungan (bullying) masih menjadi penyebab dominan dari kasus bunuh diri pada remaja, baik pada lembaga pendidikan sekolah menengah maupun perguruan tinggi.
Maraknya Perundungan di Lembaga Pendidikan
Banyak institusi pendidikan di Indonesia belum memiliki sistem perlindungan yang memadai untuk menanggapi perundungan. Laporan korban seringkali tidak ditindaklanjuti, pengaduan korban dianggap sebagai angin lalu, sebatas “konflik biasa antarteman” yang berujung pada pelaku hanya diberi teguran ringan, sedangkan korban dibiarkan memikul trauma sendirian sepanjang hidupnya.
Di tingkat perguruan tinggi pun, dinamika sosial yang kompleks dan tekanan akademik membuat kasus-kasus perundungan semakin sulit terdeteksi. Rata-rata pelaku bersembunyi di tameng kata “bercanda” untuk menormalisasikan tindak bullying yang dilakukan.
Bentuk bullying semakin beragam, mulai dari ejekan langsung, pengucilan sosial, kekerasan fisik, hingga melalui layar gawai (cyberbullying). Mirisnya, beberapa kasus bullying baru mendapatkan perhatian ketika kasus tersebut telah viral di media sosial atau bahkan terlambat, ketika telah merenggut nyawa.
Salah satu kasus yang menggemparkan belakangan ini adalah kasus bunuh diri seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Kasus ini terjadi akibat perundungan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa terhadap korban. Bahkan, sampai akhir hayatnya, sang pelaku masih menjadikan korban bahan candaan di grup Whatsapp.
Isu ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan seminar kesehatan mental, imbauan moral, atau kampanye sesaat. Dibutuhkan strategi yang berkelanjutan dengan aksi nyata untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Empati yang Berbicara
Dibutuhkan kerja sama dari berbagai belah pihak untuk menciptakan dunia ini menjadi tempat yang aman untuk ditinggali, tanpa membuat seseorang merasa takut dalam menjalani hidupnya.
Upaya paling sederhana yang dapat diterapkan untuk memanusiakan manusia, baik dari segi individu maupun bagian dari masyarakat, ialah menanamkan rasa empati yang tinggi.
Empati mendorong seseorang untuk peduli dan peka antarsesama, mendengar tanpa menghakimi, merangkul tanpa menusuk, dan bergerak sebelum terlambat.
Oleh karena itu, empati menjadi fondasi dari terciptanya dinamika sosial yang harmonis dan damai. Memungkinan tiap individu untuk terhubung dan menjadi kunci perubahan dalam menggerakan kehidupan menuju arah yang lebih baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
