Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Linda Indrayani

Pelari Culture: Tren atau Revolusi Gaya Hidup Sehat?

Gaya Hidup | 2025-11-19 12:13:53
Sumber : netral news.com

Setiap akhir pekan, jalanan kota-kota di Indonesia disulap menjadi arena lari massal. Ribuan pelari dengan kostum warna-warni, nomor dada terpasang, dan gadget di pergelangan tangan memadati rute yang telah ditentukan. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat—maraton dan event lari telah menjelma menjadi gaya hidup baru yang mengubah cara masyarakat urban mendefinisikan kesehatan, komunitas, dan bahkan status sosial.Dulu, maraton identik dengan atlet profesional dan pelari hardcore rela bangun pagi buta untuk latihan. Kini, siapa pun bisa jadi "runner"—dari ibu rumah tangga, karyawan kantoran, hingga selebriti. Pergeseran ini dimulai sekitar pertengahan 2010-an ketika event lari mulai menjamur dengan konsep yang lebih fun dan accessible.Event organizer pun makin kreatif mengemas event. Tak melulu soal kecepatan dan jarak, kini ada color run dengan ledakan bubuk warna-warni, night run dengan konsep pesta neon, hingga themed run dengan kostum superhero atau karakter kartun. Maraton tidak lagi menakutkan—ia menjadi pesta jalanan yang seru.

Jujur saja, berapa banyak pelari yang langsung posting foto dengan medal finisher begitu menyentuh garis finish? Hampir semua. Media sosial memainkan peran krusial dalam mempopulerkan budaya lari ini. Instagram dan TikTok dipenuhi foto-foto aesthetik: sepatu lari kekinian, smartwatch yang menampilkan statistik lari, hingga selfie berkeringat dengan latar belakang matahari terbit.Hashtag seperti #RunnerLife, #MarathonTraining, atau #InstaRunner menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi dan juga menjadikan motivasi.Melihat teman atau figur yang diidolakan menyelesaikan half marathon bisa memicu seseorang untuk mulai berlari. FOMO (Fear of Missing Out) bekerja dengan baik di sini.Salah satu daya tarik terbesar dari demam maraton adalah aspek sosialnya.

Berbagai running club bermunculan mulai dari yang serius sampai yang santai. Ada yang fokus pada pencapaian waktu dan performa, ada pula yang hanya sekadar jalan-jalan sambil ngobrol.Komunitas lari kini menjadi ruang baru untuk bersosialisasi, khususnya bagi masyarakat urban yang sulit menemukan waktu untuk berkumpul. Weekend run session diikuti dengan kopdar (kopi darat), sharing pengalaman, bahkan jadi wadah networking profesional. Tak jarang, deal bisnis atau kolaborasi kerja justru lahir dari obrolan santai setelah lari pagi.Meningkatnya tren lari tentu tidak lepas dari keberhasilan industri.Merek sepatu olahraga saling bersaing untuk meluncurkan teknologi terbaru: sepatu dengan bantalan khusus,bahan yang breathable, hingga desain yang Instagram-worthy. Harganya pun bervariasi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Gadget fitness seperti smartwatch dan fitness tracker jadi barang wajib. Data seperti jarak, kalori yang terbakar, detak jantung, bahkan kualitas tidur bisa dicatat secara detail. Aplikasi seperti Strava, Nike Run Club, atau Runkeeper menjadi katalog digital yang bukan hanya mencatat keberhasilan tetapi juga memungkinkan pengguna membandingkan diri dengan pelari di seluruh dunia.Bahkan industri fashion ikut kebagian rezeki. Pakaian olahraga, yang bisa dipakai sehari-hari, kini menjadi tren fashion sendiri. Tidak heran banyak orang menggunakan celana legging dan sepatu sneakers untuk pergi ke mall atau kafe.

Kesehatan atau Gengsi?Pertanyaan yang sering muncul: apakah orang berlari karena benar-benar peduli kesehatan, atau sekadar ikut-ikutan tren? Jawabannya mungkin campuran keduanya, dan itu tidak sepenuhnya buruk.


Dr. Fitri, dokter spesialis olahraga, berpendapat bahwa motivasi awal tidak terlalu penting. "Yang penting adalah mereka mulai bergerak. Awalnya mungkin karena FOMO atau ingin pamer medal, tapi kalau sudah rutin, manfaat kesehatannya nyata. Tubuh akan merasakan sendiri: tidur lebih nyenyak, mood lebih baik, stamina meningkat.Memang, ada risiko cedera jika tidak dilakukan dengan benar seperti shin splints, runner's knee, atau masalah pada tendon. Namun dengan edukasi yang tepat tentang teknik lari, pemanasan, dan recovery, risiko ini bisa diminimalkan.


Seperti tren lainnya, budaya lari juga punya sisi gelap.Ada tekanan untuk terus meningkatkan performa, yang kadang membuat pelari memaksakan diri melebihi kemampuan. Cedera karena overtraining bukan hal langka.Aspek kompetitif juga bisa jadi toxic. Beberapa pelari merasa tidak "valid" jika belum menyelesaikan full marathon, atau merasa minder karena pace-nya lebih lambat dari teman. Media sosial yang tadinya jadi motivasi, bisa berubah jadi sumber insecurity.

Pandemi COVID-19 pernah membuat industri acara lari terhenti.Tapi justru di masa itu banyak orang menemukan lari sebagai olahraga yang lebih aman—bisa dilakukan sendiri, di luar ruangan, tanpa perlu ke gym. Solusi yang muncul adalah virtual run: peserta lari di rute masing-masing, catat waktu, unggah bukti, dan medali dikirim ke rumah.Sekarang, dengan pembatasan yang dilonggarkan event lari kembali booming bahkan lebih besar dari sebelumnya.Orang-orang kangen dengan pengalaman berlari bersama ratusan orang lain, merasakan euforia di garis start, dan suasana penuh semangat di sepanjang jalur lari.

Bagi yang tertarik terjun ke dunia lari, berikut beberapa tips dari para pelari berpengalaman:

1.Mulai dari yang kecil: Jangan langsung mendaftar full marathon kalau baru pertama kali lari.

2.Mulai dari 5K atau 10K :rasakan dulu bagaimana tubuh bereaksi.

3.Investasi pada sepatu yang tepat:Tidak harus yang termahal, tapi pastikan nyaman dan sesuai dengan bentuk kaki. Banyak toko olahraga kini menyediakan gait analysis untuk menentukan sepatu yang cocok.

4.Dengarkan tubuh: Jangan memaksakan diri jika merasa sakit atau terlalu lelah. Rest day sama pentingnya dengan training day.

5.Temukan komunitasLari bersama :tidak hanya lebih menyenangkan, tapi juga lebih aman dan memotivasi

6.Jangan terlalu serius: Ingat, lari harusnya fun. Kalau sudah jadi beban, ambil jeda dan temukan kembali alasan kenapa kamu mulai lari.

Kesimpulannya Demam maraton mungkin tampak seperti tren sementara, tapi dampaknya terhadap gaya hidup masyarakat cukup besar.Ia mendorong orang untuk lebih aktif, membangun komunitas dan terlepas dari motivasi awal memberikan manfaat kesehatan nyata.
Ya, mungkin ada elemen gengsi dan eksistensi di media sosial. Tapi jika itu membuat lebih banyak orang bergerak dan meninggalkan gaya hidup sedentary, bukankah itu hal yang positif?Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban yang stressful, lari menawarkan kesederhanaan yang melegakan. Tidak perlu peralatan mahal atau fasilitas khusus—cukup sepatu dan tekad untuk melangkah keluar pintu. Dan siapa tahu, dari langkah pertama yang ragu-ragu itu, lahir seorang marathoner sejati.


Jadi, kapan kamu mulai lari?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image