Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nafisa Roslania

Roblox Kini Tak Lagi Menjadi Medium Aman Bagi Anak-Anak

Edukasi | 2025-11-18 07:44:16
Foto: Roblox
Foto: Roblox

Kasus predator seksual yang menyasar anak-anak melalui platform permainan daring seperti Roblox bukan hanya sekadar fenomena digital, tetapi juga krisis sosial yang mendesak untuk ditangani. Roblox, yang awalnya dirancang sebagai ruang bermain interaktif berbasis user-generated content, kini justru menjadi lahan empuk bagi pelaku dengan modus manipulatif. Anak-anak dengan rasa ingin tahu yang besar seringkali kurang menyadari risiko komunikasi daring, apalagi ketika berhadapan dengan sosok yang berpura-pura sebaya. Hal ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara pesatnya inovasi teknologi dengan kemampuan masyarakat, regulator, dan penyedia platform untuk menjamin keamanan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak.


Fenomena ini menegaskan kerentanan anak di dunia maya. Secara psikologis, anak-anak mudah percaya pada orang lain, terlebih jika pendekatan dilakukan secara halus lewat perhatian, hadiah virtual, atau sapaan akrab. Predator seksual memanfaatkan celah ini melalui teknik grooming, di mana anak perlahan dibuat nyaman dan percaya sebelum diminta melakukan hal-hal yang merugikan. Dalam konteks Roblox, fitur chat dan ruang interaksi virtual menjadi medium utama untuk manipulasi tersebut. Saat anak merasa hanya sedang bermain “game biasa”, sebenarnya ada dinamika berbahaya yang tidak mereka sadari. Maka, kasus ini bukan sekadar tentang individu jahat, melainkan juga struktur sistem digital yang gagal memberi perlindungan.


Di sisi lain, Roblox sebenarnya sudah memiliki mekanisme keamanan seperti filter kata, pembatasan konten, dan parental control. Namun, laporan menunjukkan sistem ini mudah ditembus. Verifikasi usia sering hanya bergantung pada input manual tanpa validasi lanjut, sehingga anak bisa mengakses fitur dewasa. Moderasi konten juga kerap terlambat mendeteksi aktivitas mencurigakan. Kontradiksi pun muncul, perusahaan meraup keuntungan dari basis pengguna anak, namun tidak memberi perlindungan maksimal yang sepadan dengan risiko. Di sinilah tanggung jawab etis dan sosial perusahaan teknologi patut dipertanyakan.


Selain itu, literasi digital orang tua sangat menentukan. Banyak orang tua menganggap Roblox aman hanya karena tampilannya ramah anak, bahkan lebih aman dibanding media sosial populer. Persepsi ini membuat pengawasan longgar, anak berinteraksi tanpa arahan, bahkan ada yang menggunakan akun bersama tanpa menyadari chat tetap terbuka. Literasi digital seharusnya tidak berhenti pada aturan waktu bermain, tetapi juga mencakup pemahaman privasi, potensi interaksi berbahaya, hingga keberanian anak untuk bercerita. Kurangnya komunikasi terbuka dengan orang tua justru membuat anak memilih diam, memberi ruang leluasa bagi predator.


Dari sisi regulasi, pemerintah memang sudah memberi peringatan soal Roblox dan permainan digital sejenis, bahkan muncul wacana pembatasan di sekolah. Namun kebijakan ini cenderung reaktif, baru muncul setelah ada kasus besar yang viral. Padahal, pemerintah seharusnya proaktif menyusun standar keamanan digital anak. Misalnya, mewajibkan audit keamanan independen bagi platform populer, serta penerapan verifikasi identitas yang sulit dipalsukan. Tanpa langkah konkret, kasus predator seksual online akan terus terulang, hanya berganti platform.


Masalah ini juga erat dengan kesenjangan pemahaman antara generasi digital native dan digital immigrant. Anak-anak lahir di era serba digital, sementara banyak orang tua dan guru masih gagap menghadapi kompleksitas ruang daring. Jika jarak ini tidak dijembatani, anak akan mencari cara sendiri untuk menjelajah dunia maya tanpa perlindungan. Karena itu, pendidikan literasi digital di sekolah harus dipandang serius. Bukan hanya sekadar mengenalkan teknologi, melainkan juga keterampilan kritis seperti mengenali tanda interaksi berbahaya, mengelola privasi, hingga melaporkan konten mencurigakan. Sekolah perlu bekerjasama dengan orang tua agar pengawasan berjalan berlapis.


Dampak predator seksual daring terhadap anak tidak bisa diremehkan. Secara psikologis, anak bisa mengalami rasa malu, trauma, kehilangan kepercayaan diri, hingga depresi. Beberapa mungkin enggan bersosialisasi karena merasa dikhianati oleh teman virtual. Risiko yang lebih serius adalah eksploitasi berkelanjutan, misalnya sextortion, di mana pelaku mengancam menggunakan data pribadi atau gambar korban. Dampak sosialnya juga meluas, menciptakan ketidakpercayaan terhadap teknologi, bahkan stigma negatif terhadap seluruh ruang digital. Jika hal ini dibiarkan, bukan hanya rasa aman yang hilang, tetapi juga kesempatan anak untuk berkembang melalui teknologi.


Menurut saya, isu ini mencerminkan kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat digital. Platform tidak serius melindungi pengguna, pemerintah lambat mengantisipasi, orang tua kurang terlibat, dan akhirnya anak-anak yang menjadi korban. Ironisnya, kita lebih fokus pada sisi hiburan teknologi daripada keselamatan penggunanya. Kita senang ketika anak bisa kreatif membuat dunia virtual, tetapi lupa ada predator yang mengintai di balik layar. Karena itu, solusi tidak bisa setengah hati. Kita butuh paradigma baru, bukan sekadar bertanya apakah game ini berbahaya atau tidak, melainkan bagaimana memastikan anak bisa aman sekaligus berkembang di ruang digital.


Ke depan, pendekatan kolaboratif harus dijalankan. Pemerintah perlu regulasi tegas yang memaksa platform memprioritaskan keamanan anak, bukan hanya profit. Roblox dan platform serupa wajib meningkatkan sistem dengan teknologi mutakhir seperti AI pendeteksi grooming, verifikasi identitas yang lebih ketat, serta moderasi percakapan real-time. Orang tua perlu lebih aktif mendampingi anak, bukan hanya membatasi waktu bermain. Sekolah juga harus mengajarkan literasi digital sebagai bagian dari kurikulum inti.


Jika hal-hal ini tidak dilakukan, predator akan terus menemukan celah. Mereka selalu adaptif, berpindah ke platform apa pun yang populer. Jadi, ini bukan sekadar soal Roblox, melainkan soal struktur budaya digital kita. Anak-anak perlu diajarkan bahwa teknologi menyenangkan, tapi ada batasan yang harus dijaga. Mereka harus merasa percaya diri untuk melawan jika ada pihak yang melanggar batas tersebut.


Akhirnya, kasus ini menjadi pengingat bahwa keamanan digital anak adalah tanggung jawab bersama. Dunia maya bukanlah ruang netral dan aman, ia perpanjangan dunia nyata yang penuh risiko. Jika kita gagal melindungi anak-anak hari ini, generasi masa depan bisa tumbuh dengan luka yang tidak terlihat, tetapi sangat dalam. Karena itu, solusi harus diimplementasikan segera dengan kolaborasi, keberanian, dan keseriusan. Hanya dengan cara itu, ruang digital bisa kembali menjadi arena bermain dan belajar yang sehat, bukan ladang perburuan predator.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image