Ketika Dunia Diam, Palestina Berteriak
Humaniora | 2025-11-17 16:38:59Rakyat Palestina telah mengalami penjajahan dan kekerasan selama lebih dari 70 tahun. Mereka bangun di tengah suara ledakan dan sirene yang menggantikan kicau burung pagi setiap hari. Anak-anak putus asa sekolah dan belajar mengenali rasa ketakutan dan ketidaknyamanan yang ada dalam kehidupan sejak lahir. Begitu pula nasib orang tua yang harus mencari buah hati yang tertimbun di antara bangunan hingga mengantar anaknya ke sekolah dengan senyuman dan doa. Mereka hanya hidup dalam ketakutan yang tak berujung di tanah yang seharusnya mereka sebut rumah. Semuanya dapat dilihat oleh dunia, dan kita juga dapat melihatnya, tetapi mengapa dunia lebih suka diam?
Pada 10 Oktober 2025, gencatan senjata antara Israel dan Palestina akhirnya terjadi. Warga Palestina juga berbahagia atas berita tersebut. Terlebih lagi, Pada tanggal 24 Oktober 2025, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun sampai mendesak Israel agar perbatasan Rafah dibuka, karena bantuan yang masuk masih jauh dari cukup. Namun, gencatan senjata tersebut hanya berlangsung singkat. Sejak terjadinya kesepakatan, menurut Majalah Al Jazeera pada 23 Oktober 2025, Di Gaza, setidaknya 42.792 orang terbunuh dan 100.412 orang terluka akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 Diperkirakan 1.139 orang terbunuh di Israel selama serangan yang dipimpin Hamas dan lebih dari 200 orang ditawan.
Pada tanggal 16 Oktober, Majalah Al Jazeera juga melaporkan bahwa sejak dimulainya perjanjian gencatan senjata bulan lalu, sedikitnya 266 orang terbunuh dan 635 orang terluka akibat serangan Israel, menambah jumlah korban terbunuh yang kini mendekati 70.000. Meskipun kesepakatan gencatan senjata masih ada secara resmi, serangan udara dan tembakan langsung terhadap warga sipil terus terjadi. Angka-angka itu adalah kisah yang tidak berujung dari anak-anak, ibu, ayah, dan orang-orang yang mungkin hanya ingin hidup tenang di tempat mereka dibesarkan. Setiap ledakan bukan hanya meruntuhkan bangunan, tapi juga harapan. Dunia mungkin berbicara tentang kemajuan peradaban, tetapi apa artinya jika manusia bisa hilang hanya karena politik dan kepentingan?
Selain itu, laporan yang disiarkan oleh Majalah Al Jazeera pada tanggal 9 November 2025 menunjukkan bahwa meskipun terdapat kesepakatan gencatan senjata, Pasukan Israel terus menyerang warga Palestina di Gaza. Laporan tersebut menunjukkan dua orang di kamp pengungsi Bureij tengah dan satu lainnya di wilayah utara dan selatan Gaza. Selain itu, seorang pria Palestina telah dibunuh oleh pasukan Israel di kamp pengungsi Far'a di tepi barat yang diduduki, Tubas selatan. Sementara itu, pemukim Israel terus menyerang petani Palestina di seluruh wilayah tersebut. Ironisnya, gencatan senjata yang seharusnya menjadi waktu yang aman bagi rakyat sipil untuk bersantai, malah berubah menjadi waktu yang penuh dengan ketakutan. Tidak ada hari tanpa kesedihan, dan malam tanpa ketakutan. Sampai kapan dunia akan memperhatikan dan memberikan janji kosong kepada rakyat Palestina?
Blokade yang terus diberlakukan oleh Israel membuat hidup di Palestina seperti berjalan di ujung napas. Air bersih sulit didapat, listrik hanya menyala beberapa jam bahkan terkadang tidak menyala sama sekali, dan rumah sakit berjuang dengan alat seadanya. Anak-anak tumbuh tanpa tahu seperti apa masa kecil yang seharusnya, sementara orang tua hanya bisa berdoa agar keluarga mereka bertahan satu hari lagi. Resolusi PBB Nomor 242 dan 338 menegaskan bahwa hak rakyat Palestina atas tanah mereka terdengar indah di atas kertas, tapi di lapangan, itu hanya kata-kata yang tak pernah menjadi nyata. Topik mengenai pemberantasan warga palestina masih marak dan semakin jadi.
Tanggal 16 Oktober 2025, Majalah Al Jazeera kembali melaporkan bahwa tiga warga sipil tewas akibat serangan Israel, sementara itu hujan dan banjir merendam tenda-tenda yang cenderung rapuh tempat ribuan keluarga berlindung. Data PBB menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen bangunan dan unit perumahan di Gaza telah rusak atau hancur sejak awal perang. Namun, Tamara Alrifai, direktur komunikasi UNRWA, mengatakan banyak orang menghadapi musim dingin tanpa perlindungan layak, apalagi Israel masih membatasi masuknya tenda dan rumah mobil.
Sebagai bangsa yang sejak awal menolak segala bentuk penjajahan, Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk berdiri bersama Palestina. Semangat itu sudah tertulis jelas pada Pembukaan UUD 1945 dan sudah terbukti dalam sejarah bahwa Indonesia selalu berpihak pada yang tertindas. Namun, dukungan itu tidak cukup jika hanya berhenti di forum-forum beasiswa. Kita perlu langkah nyata dengan memperluas kerja sama kemanusiaan, membuka ruang bagi bantuan publik, dan terus menyuarakan Penderita Palestina agar dunia tidak berubah dan terus membuka mata.
Perjuangan ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga kita sebagai masyarakat biasa. Kita bisa berbuat banyak, dari sekedar menyebarkan informasi yang benar, berdonasi, sampai mendoakan mereka yang sedang berjuang di sana. Hal-hal kecil itu mungkin tampak sepele, tapi bagi mereka yang kehilangan segala-galanya, setiap bentuk perhatian tampak sangat berarti. Solidaritas bukan tentang seberapa besar kita memberi, tapi seberapa tulus kita peduli kepada sesama.
Palestina bukan sekedar konflik, tapi cermin bagi kita semua. Ia memperlihatkan sejauh mana kita benar-benar menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ketika kita membela Palestina, sebenarnya kita sedang membela kemanusiaan itu sendiri. Karena diam di hadapan ketidakadilan bukanlah sikap netral dan itu berarti kita sepakat bahwa berbohong boleh dibiarkan. Dunia tidak akan pernah berubah jika semua orang menunggu orang lain untuk bersuara.
Mungkin suara kita kecil, mungkin tindakan kita terasa tak seberapa, tapi di tengah kegelapannya penderitaan, bahkan cahaya sekecil apa pun tetap berarti. Palestina telah mengajarkan dunia tentang keteguhan dan keberanian untuk tetap berdiri meski dunia tampak tak peduli. Dan ketika hari itu tiba —saat mereka akhirnya merdeka dan bisa hidup tanpa rasa takut — itu bukan hanya kemenangan mereka, tapi juga kemenangan bagi seluruh umat manusia. Karena pada saat itu, hati nurani dunia akhirnya ikut merdeka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
