Integritas vs Teknologi: Mampukah Etika Profesi Akuntan Bertahan?
Teknologi | 2025-11-16 13:53:57
Di era ketika teknologi berkembang lebih cepat dibandingkan kemampuan manusia untuk mengikutinya, profesi akuntan berada pada persimpangan yang krusial. Otomatisasi, artificial intelligence (AI), dan sistem akuntansi berbasis digital menawarkan kecepatan serta efisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, di saat yang sama, teknologi juga menggeser porsi peran manusia dalam proses pengambilan keputusan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: jika teknologi mampu menyelesaikan sebagian besar tugas akuntansi secara otomatis, mampukah etika profesi akuntan yang berlandaskan integritas, objektivitas, dan kerahasiaan bertahan dari badai digitalisasi? Sebagai mahasiswa S1 Akuntansi, Universitas Airlangga, saya melihat bahwa perkembangan teknologi justru membuat akuntan harus semakin tegas dalam menjaga integritas.
Profesi akuntan sejak lama berdiri di atas pondasi etika yang kuat. Kepercayaan publik terhadap laporan keuangan bergantung pada kemampuan akuntan menjaga integritas, objektivitas, serta kerahasiaan informasi. Etika profesi pada dasarnya adalah pedoman moral yang mengarahkan perilaku akuntan dalam menjalankan tanggung jawabnya, dengan tujuan memastikan bahwa informasi keuangan yang dipublikasikan benar-benar kredibel.
Menurut International Federation of Accountants (IFAC), terdapat lima prinsip dasar etika profesi akuntansi yang wajib dipegang teguh oleh setiap akuntan:
1. Integritas
Akuntan dituntut untuk bersikap jujur, tegas, dan tidak memanipulasi informasi. Mereka harus menyajikan laporan keuangan apa adanya, sesuai data dan fakta tanpa manipulasi data untuk kepentingan tertentu.
2. Objektivitas
Dalam menjalankan tugas, akuntan harus bebas dari bias, tekanan, maupun konflik kepentingan agar penilaiannya tetap independen. Independensi dalam memberikan penilaian menjadi kunci utama menjaga kepercayaan publik.
3. Kompetensi Profesional dan Kehati-hatian
Akuntan harus terus meningkatkan kompetensi profesional agar dapat memberikan layanan yang tepat dan sesuai perkembangan standar. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan tingkat kehati-hatian dan kualitas yang tinggi.
4. Kerahasiaan
Informasi yang diperoleh selama menjalankan tugas harus dijaga kerahasiaannya, kecuali jika ada kewajiban hukum atau profesional yang mengharuskan pengungkapan.
5. Perilaku Profesional
Akuntan wajib mematuhi hukum serta menghindari tindakan yang mencemarkan reputasi profesi, termasuk penipuan atau pelanggaran lain yang merugikan pihak tertentu.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan fondasi bagi kualitas profesi akuntansi. Etika tidak hanya melindungi reputasi individu maupun profesi, tetapi juga meningkatkan keandalan informasi keuangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Teknologi sering dipandang sebagai solusi atas berbagai permasalahan klasik akuntansi, seperti human error, ketidaktelitian, atau ketidakefisienan. Sistem digital dapat memproses data dalam jumlah besar dengan sangat cepat dan akurat. Bahkan, otomatisasi audit atau Computer-Assisted Audit Techniques (CAATs) telah mengubah cara auditor menguji bukti dan mendeteksi anomali.
Namun, di balik manfaat tersebut, teknologi juga menciptakan tantangan baru dalam penerapan etika.
1. Risiko Privasi dan Keamanan Data
Kemudahan dalam mengelola dan mendistribusikan data membuat potensi kebocoran informasi semakin besar. Jika sistem tidak aman atau akuntan kurang memahami perlindungan data, kerahasiaan informasi klien dapat terancam. Di era digital, pelanggaran etika sering kali muncul bukan karena niat buruk, tetapi karena kelalaian dalam menjaga keamanan sistem.
2. Ketergantungan pada Algoritma
AI sering bekerja layaknya “black box” memberikan hasil tanpa menjelaskan prosesnya. Jika akuntan menerima output AI tanpa melakukan pengecekan kritis, maka objektivitas dan skeptisisme profesional dapat hilang. Meski teknologi semakin canggih, tanggung jawab atas laporan tetap berada di tangan manusia, bukan mesin.
3. Tekanan untuk Serba Cepat
Digitalisasi membuat klien mengharapkan hasil yang instan. Dalam tekanan kecepatan, akuntan bisa saja tergoda untuk menyingkat prosedur verifikasi penting, yang pada akhirnya mengorbankan kualitas dan akurasi laporan.
4. Potensi Normalisasi Perilaku Tidak Etis yang “Tersamarkan”
Teknologi dapat mempermudah manipulasi data secara halus dan sulit dideteksi. Kompleksitas sistem digital kadang justru menyembunyikan jejak kecurangan, sehingga akuntan perlu memiliki kepekaan etika yang lebih tajam daripada sebelumnya.
Meskipun menghadirkan risiko, teknologi juga memiliki potensi memperkuat integritas profesi akuntansi. Audit trail digital, transparansi blockchain, dan sistem AI-based fraud detection dapat membantu akuntan meningkatkan akurasi dan mengurangi peluang manipulasi.
Untuk mengatasi berbagai tantangan etika di era digital, akuntan perlu memperkuat pengelolaan keamanan dan privasi data melalui penggunaan sistem yang aman, enkripsi, serta pemahaman yang baik tentang regulasi perlindungan data. Ketergantungan pada algoritma harus diseimbangkan dengan skeptisisme profesional, di mana akuntan tetap memverifikasi hasil AI dan tidak menyerahkan keputusan sepenuhnya pada mesin. Tekanan untuk bekerja cepat perlu diimbangi dengan komitmen menjaga ketelitian, memastikan bahwa kualitas laporan tidak dikorbankan demi kecepatan. Selain itu, potensi penyimpangan digital harus dilawan dengan penggunaan audit trail, deteksi anomali berbasis AI, serta budaya transparansi yang kuat. Dengan langkah-langkah ini, teknologi bukan menjadi ancaman, tetapi justru alat yang memperkuat integritas profesi akuntan.
Pada akhirnya, tanggung jawab kembali pada akuntan. Teknologi dapat menjadi alat untuk meningkatkan kualitas profesi atau sebaliknya, menjadi sarana penyimpangan yang semakin canggih. Mesin mampu menghitung, tetapi tidak mampu menilai moralitas. Integritas adalah sesuatu yang tidak dapat digantikan oleh algoritma.
Selama akuntan memegang teguh profesionalisme dan prinsip etis, teknologi justru berpotensi memperkuat praktik akuntansi. Namun ketika integritas goyah, teknologi dapat memperbesar dampak tindakan tidak etis dan membuatnya semakin sulit terdeteksi.
Oleh karena itu, keberlanjutan profesi akuntan di era digital tidak ditentukan oleh kecanggihan teknologi, tetapi oleh komitmen moral para akuntannya. Etika tidak hanya dapat bertahan, tetapi dapat berkembang, menjadi fondasi yang makin relevan di tengah transformasi digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
