Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Revalina Amanda Safira

Peran AI dalam Mendorong Produktivitas atau Membentuk Ketergantungan Baru

Teknologi | 2025-11-16 09:15:57

Artificial Intelligence (AI) kini telah berkembang menjadi lebih dari sekadar teknologi canggih yang menghiasi berita atau presentasi perusahaan. Di dunia kerja modern, AI mulai hadir sebagai “rekan kerja” baru yang menemani aktivitas sehari-hari para karyawan, mulai dari menyusun laporan, menjadwalkan rapat, hingga merangkum informasi dalam hitungan detik. Banyak pekerja kantoran yang mengandalkan AI untuk membantu mereka menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, mengejar tenggat waktu, atau mengurangi beban tugas yang berulang. Namun di balik kemudahannya, muncul pertanyaan penting: apakah kehadiran AI benar-benar meningkatkan produktivitas manusia, atau justru membuat kita semakin bergantung pada alat hingga melupakan kemampuan berpikir kita sendiri?

AI mempercepat, manusia menentukan. Sumber: Desain Canva diolah penulis (Revalina Amanda Safira)

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025 mencatat, 27,34 persen responden telah menggunakan AI, naik dari 24,73 persen pada tahun sebelumnya. Fenomena meningkatnya penggunaan AI sebagai penopang produktivitas dan ritme kerja harian tidak dapat dilepaskan dari pola kerja modern yang serba cepat, menuntut ketepatan, dan membutuhkan efisiensi tinggi.

Dalam hal ini, kecerdasan buatan berfungsi sebagai alat analisis dan otomatisasi yang dapat merangkum data, mempercepat berbagai prosedur, dan memberikan rekomendasi instan yang mendukung konsentrasi serta efisiensi dalam bekerja. Secara fungsi, sistem ini jelas meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek, menyelesaikan tugas lebih cepat dan membuat beban kerja karyawan terasa lebih ringan. Namun di balik manfaat tersebut, muncul dinamika yang lebih kompleks mengenai ketergantungan pada teknologi dan dampaknya terhadap kualitas kerja maupun kemampuan manusia dalam jangka panjang.

Salah satu masalah signifikan yang sering terabaikan adalah adanya ketergantungan kognitif pada AI. Di awal, AI berperan dalam memudahkan tugas seperti pembuatan laporan atau analisis data. Namun, seiring berjalannya waktu, baik individu maupun organisasi bisa mengalami penurunan semangat dan kemampuan berpikir kritis karena terlalu mengandalkan saran dari sistem. Ketika AI menjadi sumber utama untuk menemukan jawaban, kemampuan internal dalam menilai, memahami, dan membuat keputusan dapat berkurang.

Fenomena ini mirip dengan apa yang disebut sebagai “penurunan toleransi kognitif”: aktivitas yang dulunya bisa dilakukan secara mandiri kini menjadi lebih sulit tanpa bantuan AI. Ketergantungan ini tidak hanya mengurangi kemampuan manusia untuk berpikir secara mendalam, tetapi juga menciptakan risiko automation complacency keyakinan yang berlebihan terhadap hasil teknologi meskipun tidak selamanya benar.

Di sisi lain, budaya kerja saat ini yang mengedepankan cepat dan tepat juga memperkuat pandangan bahwa AI adalah alat yang esensial untuk mencapai tingkat produktivitas yang maksimal. Alih-alih menjadi pembantu dalam pekerjaan, penggunaan AI yang berlebihan justru dapat membuat orang mengesampingkan kemampuan berpikir manusiawi seperti insting, imajinasi, dan pengalaman.

AI sering digunakan untuk “mengatasi” isu-isu produktivitas yang sebenarnya berasal dari pengelolaan waktu yang kurang baik, kerjasama tim yang tidak efisien, atau distribusi beban kerja yang tidak merata. Dalam situasi seperti ini, AI tidak lagi berfungsi sebagai alat bantu, melainkan sebagai cara untuk menutupi sumber masalah dalam organisasi.

Akibatnya, organisasi berisiko terjebak pada pemahaman semu bahwa peningkatan produktivitas semata-mata berasal dari penggunaan teknologi. Padahal, kualitas kerja tidak hanya ditentukan oleh seberapa cepat tugas diselesaikan, tetapi juga oleh kedalaman analisis, ketepatan keputusan, serta kemampuan manusia dalam beradaptasi dan menilai situasi secara kritis. Ketika AI dijadikan solusi utama tanpa membenahi akar masalah, efektivitas kerja hanya meningkat di permukaan.

Pada akhirnya, penerapan AI dalam dunia kerja bukanlah hal yang perlu ditakuti, tetapi juga tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Teknologi ini dapat berfungsi sebagai alat yang sangat berguna, asalkan manusia tetap memegang kendali sebagai pengambil keputusan utama. Tantangan kita tidak hanya untuk memanfaatkan AI seoptimal mungkin, tetapi juga memastikan bahwa kemampuan berpikir, berinovasi, dan naluri manusia tetap menjadi dasar utama dalam melakukan pekerjaan.

AI seharusnya bertindak sebagai pendukung, bukan sebagai pengambil keputusan. Apabila organisasi dapat menempatkan teknologi dengan proporsional diiringi manajemen kerja yang baik, pembagian tugas yang tepat, serta pengembangan keterampilan karyawan, maka hasil yang diperoleh tidak hanya akan cepat, tetapi juga berkualitas. Di sinilah keseimbangan antara teknologi dan kemampuan manusia dapat terwujud: AI berfungsi sebagai alat bantu yang efektif, sementara manusia tetap menjadi fokus utama dalam inovasi, pemikiran kritis, dan pengambilan keputusan strategis.

Dengan demikian, masa depan dunia kerja bukanlah tentang manusia yang digantikan oleh AI, melainkan bagaimana kedua elemen ini dapat saling melengkapi. Kuncinya terletak pada cara kita memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan identitas sebagai manusia yang mampu berpikir, menilai, dan menciptakan hal-hal baru.

Revalina Amanda Safira, mahasiswa D4 Manajemen Perkantoran Digital Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image